Ketika Anda mendorong bawahan untuk melakukan brainstorming ide-ide kreatif, sebagian besar diam membisu. Mengapa? Padahal, sebagai pemimpin, Anda merasa sudah melakukan banyak hal untuk memotivasi dan memberdayakan mereka, tetapi ternyata tak mendapatkan hasil seperti yang Anda harapkan.

Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kesuksesan seorang pemimpin tergantung dari kemampuannya untuk melihat dirinya secara jelas. Mereka yang memiliki kesadaran diri yang tinggi, cenderung lebih percaya diri dan kreatif. Mereka dapat membangun hubungan yang lebih kuat dan berkomunikasi dengan lebih efektif. Tim kerjanya pun menunjukkan tingkat kepuasan dan kesuksesan yang lebih tinggi.

Sesungguhnya, efektivitas pemimpin memang selalu terukur dari kesuksesan anak buah. Keahlian atasan dalam melakukan coaching terbukti ketika anak buah yang paling sulit pun dapat berkembang menjadi lebih baik.

Dalam situasi kerja hibrida ini, self awareness menjadi semakin penting. Dengan kontak yang semakin terbatas, kesadaran diri perlu semakin diperkuat. Jangan sampai pemimpin terlambat menyadari jarak yang memisahkan antara dirinya dengan anak buah sudah sedemikian jauh sehingga sulit untuk disatukan kembali.

Bukan sekadar introspeksi diri

Banyak individu yang merasa dirinya sudah cukup self aware. Ia sadar bahwa bicaranya sering kali terlalu kasar. Namun, apakah kesadaran semacam ini sudah cukup bagi pengembangan dirinya ke depan? Apakah kesadaran ini dapat mendorong perubahan perilakunya?

Kalau kita lihat, ada dua sisi kesadaran diri yang harus digarap oleh setiap individu. Pertama, kesadaran diri internal, bagaimana kita melihat nilai-nilai diri kita sendiri, passion kita, aspirasi, reaksi-reaksi, hingga kecocokan kita dengan orang lain dan lingkungan di sekitar kita.

Kedua, kesadaran diri eksternal, yang menjelaskan bagaimana orang lain melihat diri kita.  Contoh, individu yang berbicara kasar. Tidak cukup ia tahu bahwa ia berbicara kasar, tetapi bagaimana kekasarannya itu telah menyebabkan orang lain merasa terpukul dan tidak nyaman  sehingga menjaga jarak dengannya.

Adakalanya sekadar kesadaran diri internal malah membuat kita mencari alasan pembenaran tindakan tersebut. “Saya bicara kasar untuk menyadarkan mereka agar mereka benar-benar terbuka pandangannya dan berubah.” Kesadaran bahwa ternyata caranya itu tidak efektif, alih-alih membuat orang lain sadar, ternyata ia malah membuat orang lain menjauhinya. Ia tidak mengubah cara atau mencari perilaku lain yang lebih efektif untuk mencapai tujuannya.

Dr Tasha Eurich, psikolog organisasi, membuat kombinasi kesadaran diri internal dan eksternal ini dalam empat kuadran.

Kuadran pertama, individu dengan kesadaran diri internal dan eksternal yang sama-sama rendah. Mereka disebut sebagai the seekers. Individu tipe ini mengalami kesulitan untuk mengenal dirinya sendiri: apa yang penting baginya, apa yang membuatnya bahagia, apa potensi yang dimilikinya, dan ia pun tidak dapat menggunakan masukan orang lain untuk mengembangkan dirinya.

Kuadran kedua diisi individu dengan kesadaran eksternal yang tinggi, tapi rendah kesadaran internalnya. Mereka disebut sebagai the pleasers karena mereka begitu sibuk untuk menyenangkan orang lain, tapi lupa untuk memedulikan kebutuhan dan prinsip hidupnya sendiri.

Sebaliknya, individu dalam kuadran ketiga punya kesadaran internal yang tinggi tapi rendah kesadaran eksternalnya, sulit untuk menerima masukan, dan cenderung sakit hati ketika mendapat kritik. Mereka disebut sebagai introspectors.

Terakhir adalah tipe aware yang memiliki kesadaran diri internal dan eksternal yang sama-sama kuat sehingga mereka tahu apa yang mereka inginkan, bagaimana orang lain memandang mereka, dan bagaimana mereka dapat memperbaiki dirinya dengan efektif.

Jadi, sinkronisasi antara kesadaran diri eksternal dan internal ini sama-sama penting bagi kita untuk dapat berkembang lebih efektif. Yang satu aktif melihat keluar, berinteraksi dengan orang luar, sementara bagian yang lain terus-menerus mengobservasi dan melakukan perbaikan diri.

Gunakan “apa”, bukan “mengapa”

Banyak yang berpikir bahwa introspeksi diri merupakan langkah jitu untuk meningkatkan kesadaran diri. Namun, banyak yang tidak menyadari bahwa cara introspeksi yang salah justru membuat kita jalan di tempat.

Bertanya “mengapa” pada diri sendiri yang memotret ke belakang hanya merangsang rasionalisasi dan kecenderungan kita untuk membela diri. Sementara itu, pertanyaan “apa” akan mengarahkan kita pada langkah-langkah perbaikan pada masa depan. Jangan bertanya mengapa orang sering sakit hati kepada saya, tetapi bertanya apa yang harus saya ubah agar orang tidak lagi sakit hati dengan kita.

Ada tiga data yang harus kita kumpulkan agar kesadaran diri terus terjaga.

Pertama, mood atau suasana hati. Emosi diri kita biasanya terlalu luas sehingga sulit dirabarasakan. Para ahli mengatakan, ada lebih dari 850 macam suasana hati. Namun, ada orang yang hanya memiliki tabungan mood terbatas. Tidak ada salahnya kita mulai menginventarisasi keadaan suasana hati kita, dan berusaha memberinya nama yang tepat. Dengan demikian, kemampuan kita untuk mengenali diri juga meningkat.

Kedua, keadaan fisiologis kita. Kita sebenarnya bisa mendeteksi ketegangan dari keadaan tubuh kita. Kita bisa melakukan body scan dan merasakan apakah ada bagian badan yang tegang ataupun sakit. Kepekaan terhadap keadaan fisik ini akan membuat kesadaran diri kita juga semakin meningkat.

Ketiga, pemikiran kita. Pemikiran kita adalah pengendali respons dan reaksi kita. Dari pemikiran ini, kita juga bisa mengenali pola-pola kebiasaan yang kita lakukan. Bagaimana reaksi kita pada orang tertentu, apakah kita sudah bersikap obyektif terhadap seluruh anak buah kita atau cenderung memiliki sikap like and dislike pada orang-orang tertentu.

Dalam sehari, ada kurang lebih 6.000 pemikiran yang terjadi dalam benak kita. Bayangkan kalau sebagian besar adalah pemikiran negatif, bagaimana dampaknya pada kehidupan kita.

Semakin banyak data yang kita kumpulkan, semakin tinggi kesadaran diri kita untuk semakin mendekatkan antara ideal dan real self kita. Self awareness doesn’t stop you from making mistakes, it allows you to learn from them.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Baca juga : Karakterisik SDM Indonesia

Kerendahan Hati Pemimpin

Berpikir Strategis

Manajemen Talenta Masa Kini