Seorang pimpinan perusahaan yang merasa bahwa ia cukup terbuka dan memiliki hubungan yang baik dengan para bawahannya, terperanjat ketika membaca hasil survei karyawan. Butir:“saya merasa aman mengutarakan pendapat di tempat kerja ini” mendapatkan angka terendah. Lebih dari separuh karyawan organisasi memilih opsi tidak setuju dan sangat tidak setuju untuk butir ini. Hal ini berarti, meskipun pimpinan merasa diri sebagai orang yang terbuka, ternyata mayoritas anak buahnya berpandangan lain. Mereka merasa berbicara jujur mengenai pemikiran ataupun perasaan mereka dapat membawa dampak buruk bagi keberadaan mereka dalam organisasi. Padahal, kita semua tahu bahwa ide kreatif membutuhkan masukan dari banyak pihak, khususnya pandangan dari mereka yang sehari-hari berada di garis depan organisasi dan berurusan langsung dengan masalah-masalah operasional.

Pimpinan pun sadar bahwa mereka perlu meningkatkan simpati pihak eksternal pada organisasi dengan menunjukkan bahwa organisasi ini dapat memberikan rasa aman bagi para karyawannya tidak hanya dari segi finansial, tetapi juga emosional. Citra tentang budaya organisasi seperti ini juga sangat penting bagi talenta-talenta baru.

Adanya pimpinan organisasi yang terlalu dominan dan sulit dibantah akan membuat talenta baru yang potensial mundur teratur karena khawatir dengan tekanan emosional yang mungkin dihadapinya bila ia bergabung dalam perusahaan dengan budaya seperti itu.

Sayangnya, isu-isu seperti ini sering kali tidak disadari semenjak dini. Pada saat pimpinan mulai merasakan produktivitas yang menurun, motivasi dan engagement yang rendah dari para anak buahnya, upaya perbaikan akan membutuhkan daya yang lebih besar lagi karena “kerusakannya” bisa jadi sudah terlalu “dalam”. Banyak pimpinan yang baru merasakan dampaknya ketika ia merasa bahwa perusahaan hanya berjalan di tempat dan sulit mendapatkan inovasi dan ide-ide segar dari para karyawannya.

Oleh karena itu, mendorong kesediaan para karyawan untuk buka mulut perlu digarap dengan sangat serius oleh pimpinan organisasi.

Psychological safety

Sebenarnya, banyak upaya yang dilakukan organisasi untuk mendapatkan informasi dari karyawan. Misalnya, sistem kotak suara, baik anonim maupun berhadiah. Namun, dalam kenyataannya, tidak banyak perusahaan yang berhasil memotivasi karyawan untuk bersuara. Kebanyakan tetap merasa tidak nyaman memberi komentar secara terbuka. Apalagi ketika HR dipandang sebagai kaki tangan manajemen semata.

Dari 1.000 orang yang diwawancarai dalam suatu penelitian, 25 persen responden pernah menyaksikan adanya diskriminasi, pelecehan, dan bias, tetapi tidak melaporkannya dengan alasan bahwa mereka tidak yakin kalau manajemen akan bertindak segera menanggapi laporan mereka.

Bahkan, beberapa korban yang pernah mengalami pelecehan sendiri, diminta untuk move on oleh atasannya dan melupakan peristiwa tersebut. Mereka bahkan khawatir akan mengalami nasib yang lebih buruk lagi bila membuat laporan sehingga akhirnya banyak yang memilih untuk diam.

Jadi, sementara pimpinan dan organisasi mengatakan, “ Our speak-up culture begins today. We need your voice. We need your opinions. We need your honest feedback.”, karyawan merasa tindakan speaking up ini sangat berisiko.

Memperkuat psychological safety

Mendorong karyawan untuk membuka mulut hanya akan berhasil bila respons organisasi benar-benar terlihat dan terasa. Ada beberapa sikap yang perlu dikembangkan oleh pimpinan dan bagian yang akan menangani komentar, masukan, ataupun keluhan dari para karyawan ini.

Pertama, apakah kita bisa menghargai setiap masukan tanpa peduli siapa yang berbicara?

Kita tidak bisa menilai bobot suatu masukan berdasarkan tingkatan ataupun kemampuan seorang karyawan dalam mengungkapkannya. Kita perlu menyambut pendapat seorang pegawai tingkat bawah sekalipun sama seriusnya dengan pendapat seorang pejabat tinggi dalam organisasi ketika pendapat tersebut memang berguna bagi organisasi.

Bahkan, bila pimpinan dapat menunjukkan jiwa ksatrianya ketika pendapatnya dibantah oleh anak buahnya, ia mendorong semua karyawan untuk berani berpendapat secara autentik. When people believe they’re included for who they are, without fear of reprisal for speaking up, they speak up.

Pertanyaan kedua, apakah kita bisa tetap bersikap rasional dan objektif mengevaluasi setiap masukan, bahkan yang menyerang kita sekalipun?

Kita perlu sadar bahwa mungkin saja ada masukan dari lapangan yang mengonfrontasi keputusan atau bahkan menyinggung perasaan kita. Namun, sebagai pemimpin, kita perlu menjaga komitmen untuk tetap berlaku adil dan obyektif tanpa mempermasalahkan loyalitas si pembawa berita. When loyalty and disagreement peacefully coexist, a speak-up culture can flourish.

Ketiga, apakah semua pihak sama-sama paham bahwa walaupun semua boleh mengusulkan sesuatu, tidak semua usulan disetujui. You can’t say yes to everything.

Banyak karyawan berpikir bahwa bilamana manajemen benar-benar terbuka dan mau mendengarkan masukan mereka berarti semua usulan mereka akan disetujui. Ini adalah salah kaprah yang harus diluruskan semenjak awal. Meskipun semua orang bebas berpendapat, pemberi pendapat perlu mengusahakan agar pendapatnya didengar dengan menyertakan data dan fakta yang memperkuat.

Pembahasan mengenai semua pendapat, komentar yang masuk perlu ditindaklanjuti dengan penjelasan kepada pemberi pendapat secara terbuka. Apa tindakan nyata dan perubahan yang akan dilakukan organisasi terhadap masukan yang memang bermanfaat bagi pengembangan organisasi saat ini maupun pada masa mendatang. Apa alasan yang ada di balik masukan yang belum dapat ditindaklanjuti untuk saat ini. Dengan demikian, seluruh jajaran tahu bahwa manajemen menganggap serius semua pendapat yang masuk lepas dari apakah pendapat mereka diterima atau tidak dan mereka juga harus legowo kalau usulan mereka belum dapat ditindaklanjuti saat ini.

Yang jelas, suasana ini harus membawa dampak yang positif. Organisasi tidak bisa tinggal diam dan melakukan pembiaran terhadap gejala-gejala yang membawa suasana negatif, terutama bila niat pemimpin adalah pengembangan yang berkesinambungan.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Baca juga:

Beban Emosi Pemimpin