Salah satu kompetensi yang biasanya selalu ada dalam evaluasi penilaian para eksekutif adalah kemampuan berpikir strategis. Banyak yang menganggap bahwa mereka yang sudah mampu menduduki posisi tinggi dan memiliki pengalaman yang cukup lama dengan keterampilan serta pengetahuan di lapangan, seyogianya sudah memiliki kemampuan berpikir strategis yang memadai.

Namun, kita lihat dalam kenyataannya, banyak individu yang begitu sibuk berkutat dalam kesibukan operasional sehari-hari sehingga lupa untuk dapat mengambil jarak dari pekerjaan hariannya. Ia kemudian tidak sempat memikirkan langkah-langkah strategis yang mampu membawa organisasi tidak sekadar maju, tetapi juga melompat lebih kuat sehingga bisa mengungguli lawan-lawannya dengan lebih cepat.

Dalam beberapa penelitian yang dilakukan Zenger Folkman, mereka menemukan bahwa keterampilan berpikir strategis adalah kompetensi yang paling kuat dalam membedakan kelompok eksekutif yang high potential dengan kelompok need development.

Pada sebuah organisasi yang melakukan pengurangan tenaga kerja, mereka melihat bahwa para eksekutif yang mendapatkan pemutusan hubungan kerja ternyata memiliki skor persentil 22 poin lebih rendah dibandingkan para eksekutif lain yang dipertahankan, pada kompetensi berpikir strategis yang diukur melalui evaluasi 360-nya. Mereka dinilai hanya mampu melakukan peran-peran mikro tapi kesulitan untuk mengarahkan organisasi dalam langkah-langkah yang lebih strategis.

Mereka juga menemukan keterampilan-keterampilan lain yang perlu dibangun untuk meningkatkan kompetensi berpikir strategis individu. Keterampilan berkomunikasi sangatlah penting untuk mendukung peningkatan kemampuan berpikir strategis seseorang. Bagaimana individu mampu untuk mendengarkan, mengumpulkan, dan menyebarkan informasi akan mendukung kemampuan berpikir strategis mereka.

Berbicara, mendengarkan, dan memahami kebutuhan baik dari rekan kerja, atasan, bawahan, maupun pelanggan akan sangat membantu individu dalam menemukan informasi-informasi berharga. Info-info ini dapat mereka gunakan untuk memikirkan langkah strategis yang mungkin tidak terpikirkan oleh kompetitor mereka.

Tugas eksekutiflah untuk melihat gambaran besar, pola-pola yang terjadi, dan membuat inovasi yang dapat memenuhi kebutuhan pelanggan bahkan sebelum mereka menyadarinya. Ia juga harus mampu membuat seluruh insan dalam organisasi mampu melihat gambaran organisasi sebagaimana yang ada dalam benaknya agar semua bisa sama-sama bekerja mewujudkannya.

The Harvard Business Review menggambarkan kemampuan berpikir strategis sebagai strategic people create connections between ideas, plans, and people that others fail to see. Mereka memiliki gambaran menyeluruh terhadap organisasi  dan ekosistemnya, serta hubungannya dengan para stakeholder-nya. Mereka pun punya kebiasaan untuk mengantisipasi perubahan yang terjadi dan mengidentifikasikan kesempatan yang muncul.

Pemikir strategis biasanya tak bisa diam, ia terganggu kalau perusahaan atau organisasi tidak bergerak ke arah yang lebih baik. Jadi, apakah kita bisa menjadi pemikir strategis?

Menjadi lebih strategis

Pertama, kita sering merasa bahwa orang yang kuat melakukan eksekusi adalah eksekutif yang piawai. Namun, banyak yang membuktikan bahwa mereka yang terlalu sibuk melompat dari rapat yang satu ke rapat yang lain serta berkutat pada operasional sehari-hari justru sulit untuk berpikir lebih strategis. Fokus mereka lebih banyak pada apa yang ada di depan mata saja.

Untuk itu, kita sebenarnya perlu belajar mendelegasikan dengan benar sehingga kita juga bisa sejenak mengambil jarak dan memikirkan masa depan dengan jernih.

Bill Gates sering mengambil cuti seminggu penuh tanpa berhubungan dengan pekerjaannya untuk menjernihkan pikirannya dari hal-hal operasional. Kalau Bill Gates saja menganggap hal ini penting, apalagi kita.

Kedua, kita perlu belajar membuat prioritas yang benar. “Genting” adalah musuh dari “penting”. Kalau kita senantiasa melakukan firefighting, itu berarti bahwa selama ini kita tidak bisa melihat pola-pola kesalahan dan berpikir inovatif mencari celah perbaikan yang dapat menjadi solusi menyeluruh, baik untuk saat ini maupun masa mendatang.

Ketiga, pemikir strategis perlu menyadari bahwa ia tidak bisa mendapatkan solusi sendirian. Ia perlu berlatih untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik pemikiran pihak lain. Diversity of thought adalah kunci.

Ajukan pertanyaan-pertanyaan, seperti “kemungkinan-kemungkinan apa yang Anda lihat? Berdasarkan pengalaman Anda, apa saran Anda untuk langkah selanjutnya?”

Berdiskusi dengan orang lain mengenai situasi, ide-ide, dan perspektif yang berbeda akan membuat imajinasi kita meluas dan wawasan yang melebar. Karenanya seorang pemikir strategis yang bijaksana perlu keluar dari meja dan ruangannya, melihat keluar, bertemu dengan banyak orang untuk merasakan kemajuan yang sudah terjadi di luar sana. Bila ingin berpikir strategis, kita harus keluar dari zona nyaman kita.

Keempat, seorang pemikir strategis adalah mereka yang mampu mencapai kinerja tinggi tanpa harus mengorbankan diri dan tim sampai menderita. Ia perlu mengambil risiko, tetapi juga pandai menghitung kekuatan timnya. Ia dapat mencari jalan keluar yang win-win bagi semua pihak.

Kelima, seorang pemikir strategis harus bisa belajar menginterpretasikan pola dan mengidentifikasikan hubungan antara berbagai hal-hal. Connecting the dots kalau kata Steve Jobs. Setiap kali ada gejala baru, ia akan mempertanyakan, “What do i see?” Apakah ada suatu kesamaan ataupun hubungan? Mereka juga harus menyadari kemungkinan adanya bias dan asumsi. Oleh karena itu, mereka perlu berlatih untuk tetap obyektif.

Dari kelima langkah ini, tidak ada yang lebih penting dari yang lain. Semuanya harus dilakukan bersamaan demi pendekatan strategis kita. Ingat bahwa kebiasaan akan membawa pada kepiawaian. Jadi, jadikan berpikir strategis menjadi kebiasaan Anda.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Baca juga : Manajemen Talenta Masa Kini

Kembali ke Kantor pada 2023