Menghadapi kompetisi bisnis yang semakin tajam, kita menyadari betapa pentingnya kualitas sumber daya manusia (SDM) yang kita miliki karena di tangan merekalah terletak masa depan organisasi.

Namun, pada kenyataannya, mendapatkan talenta-talenta terbaik bagi organisasi tidaklah mudah. Ada yang merasa kualitas sumber daya yang ada saat ini tidak seperti yang diharapkan. Ada juga yang setelah menghabiskan dana cukup besar untuk menjaring talenta terbaik, ternyata tidak dapat mempertahankan mereka hingga dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi organisasi.

Seyogianya, setiap divisi SDM perlu selalu menyadari bahwa ruang lingkup tanggung jawab mereka bukan sekadar merekrut dan menjalankan pelatihan di perusahaan. Manajemen talenta mencakup fokus yang jauh lebih luas lagi dari hulu ke hilir. Mulai dari menemukan kebutuhan setiap unit bisnis, menggalang daya tarik organisasi untuk menarik talenta-talenta terbaik, merencanakan pengembangan para talenta ini sesuai strategi bisnis organisasi, sampai merencanakan strategi retensi mereka agar dapat memberikan kontribusi jangka panjang bagi organisasi.

Kita tahu bahwa biaya untuk mengganti posisi seseorang jauh lebih mahal daripada biaya yang harus dikeluarkan untuk mempertahankannya. Menurut Gallup, biaya rekrutmen suatu jabatan berkisar antara 150 hingga 200 persen dari gaji setahun pejabat tersebut. Betapa besarnya kerugian organisasi bila talenta yang telah diperoleh dengan susah payah kemudian menghilang dari organisasi karena ia tidak mendapatkan apa yang ia cari dan butuhkan di sana.

Semenjak 10 tahun lalu, upaya manajemen talenta sudah lazim dilakukan perusahaan-perusahaan besar yang memang berorientasi kepada manusia. Namun, dengan meningkatnya daya saing dan posisi tawar para talenta saat ini, persaingan memperoleh talenta bagus juga semakin sengit. Manajemen perusahaan juga perlu berstrategi lebih cerdik lagi untuk dapat memenangkan kompetisi.

Memperkuat manajemen talenta

Beberapa perusahaan yang relatif muda dan agresif memiliki pendekatan manajemen talenta yang berbeda. Menurut mereka, proses manajemen talenta  konvensional yang melihat talenta hanya dari sudut pandang pengembangan SDM saja sudah ketinggalan zaman.

Saat ini, talenta juga perlu lebih dilihat dari sudut pandang “marketing”. Kalau biasanya marketing berfokus pada penjualan produk, di sini produk yang ditawarkan adalah karier. Para perekrut dapat belajar bagaimana para ahli pemasaran berstrategi. Mulai dari membuat segmentasi target pasar mereka, daftar “leads” yang bisa dihubungi, sampai melakukan kontak sebanyak mungkin dengan tujuan mencapai target. Target pencapaiannya adalah jumlah kandidat potensial yang dapat ditindaklanjuti oleh organisasi.

Perusahaan masa kini tak segan untuk mengampanyekan visi, misi, dan budaya organisasinya demi menggugah hati talenta-talenta terbaik. Semuanya berlomba ingin mendapatkan talenta terbaik meskipun mereka saat itu sedang bekerja di organisasi lain. Untuk itu, para perekrut ini juga harus memahami bagaimana persepsi publik terhadap organisasi mereka dan bagaimana mengemas organisasinya agar dapat menampilkan image yang tepat.

Tanggung jawab tidak berhenti setelah sukses memperoleh talenta yang baik. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana memberikan lahan yang tepat agar mereka dapat berkembang optimal. Sehebat-hebatnya new hire kita, dengan pengalaman dari perusahaan ternama sekalipun, pengembangan yang terstruktur baik melalui pelatihan formal ataupun diskusi-diskusi intensif atasan dan bawahan tetap perlu terus dilakukan.

Berikan tantangan yang dapat menggelitik minat pemain baru ini untuk terus mengeksplorasi segala potensi yang dimiliki dan mengimplementasikannya dalam lingkungan barunya ini. Bimbing ia untuk dapat terus mengembangkan tidak hanya explisit knowledge, tetapi juga tacid knowledge yang dimilikinya.

Perusahaan yang membiarkan new hire-nya berjuang sendiri dan tidak memonitor bagaimana penyesuaian diri dan perkembangan mereka, tentu akan mengalami kerugian. Sebab, bisa saja rekrutan baru ini merasa tidak mendapatkan apa yang ia harapkan dan ingin segera berpindah ke tempat lain. Melihat komitmen organisasi dalam mengembangkan karyawannya juga akan memotivasi mereka untuk terus mengembangkan potensinya.

Banyak perusahaan yang menciptakan slogan-slogan indah terkait kultur mereka dan bangga mengumandangkannya sebagai representasi dari kulturnya. Sayangnya, slogan-slogan itu sering kali tidak benar-benar menggambarkan kebiasaan yang terjadi dalam organisasinya.

Kenyataan seperti itu sering mengecewakan para new hire karena bagi mereka yang sangat mementingkan nilai kehidupan, kultur organisasi bisa jadi merupakan salah satu daya tarik awal ketika memilih untuk bergabung. Bagi organisasi pun kesesuaian antara nilai hidup para talenta ini dan kultur organisasi akan menjadi suatu keuntungan.

Bayangkan apa jadinya bila seorang individu yang sama sekali tidak percaya pada kekuatan servis dan perasaan manusia bergabung menjadi bagian dari sebuah organisasi yang menjadikan servis sebagai produk utamanya. Dari tahap awal inilah, seyogianya kita sudah mengukur apakah calon karyawan yang akan direkrut ini memiliki kecocokan kultural atau tidak.

Kultur sebagai motor penggerak perilaku individu sehari-hari dalam organisasi memang perlu terbaca secara transparan. Bagaimana cara kita berespons, bagaimana pengambilan keputusan dibuat, bagaimana penanganan konflik dilakukan, sehingga setiap insan dalam organisasi memiliki patokan perilaku-perilaku yang dapat diterima dan tidak dalam organisasi.

Northstar” yang dituju tidak sekadar slogan yang memenuhi dinding maupun yang kerap dicetak di baju-baju seragam, tetapi juga selalu diterjemahkan dalam perilaku nyata.

“Ini bukan hanya tentang menjadi lebih baik. Ini tentang menjadi berbeda. Anda perlu memberi orang alasan untuk memilih bisnis Anda.” Tom Abbott

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Baca juga : Kembali ke Kantor pada 2023

Membuat Dampak