Dari awal  menjabat sampai sekarang, ciri khas Pak Jokowi yang tidak bisa dimungkiri adalah kerendahan hatinya. Rasanya tidak banyak pemimpin yang memiliki ciri setingkat itu.

Malahan banyak yang mempertanyakan, apakah kerendahan hati ini benar-benar efektif bagi kepemimpinan. Apalagi kalau banyak yang mengonotasikan sikap rendah hati dengan mengalah, pemalu, bahkan menjurus pada kelemahan.

Di lain pihak, kita banyak melihat tokoh pemimpin yang menarik perhatian dunia, seperti Steve Jobs dan Elon Musk yang jauh dari ciri rendah hati. Mereka dikenal sebagai pemimpin yang karismatik dan berani mengungkapkan pemikirannya meskipun mengundang kontroversi sekalipun. Konsep kerendahan hati kelihatannya tidak bercokol sedikit pun dalam kepribadian mereka.

Jadi, apakah benar kerendahan hati diperlukan seorang pemimpin?

Seorang teman yang mendapat ucapan selamat saat diangkat menjadi CEO mengatakan, “Saya hanya ingin melihat tim-tim saya sukses.” Komentar yang jarang kita dengar dari tokoh-tokoh high profile di atas.

Kita memang sering melihat bahwa pemimpin yang rendah hati akan mendengar lebih efektif dan berfokus mengembangkan individu yang dipimpinnya mencapai kesuksesan, dibanding dengan pemimpin yang mempunyai skor rendah dalam kerendahan hati.

Mereka yang memiliki skor rendah biasanya lebih banyak berfokus pada dirinya sendiri untuk tampil lebih menonjol. Survei lain mengatakan bahwa pemimpin yang rendah hati lebih berfokus meningkatkan kolaborasi, kooperasi, dan fleksibilitas dalam mengembangkan strateginya.

Jim Collins dalam bukunya Good to Great, menggambarkan humility sebagai salah satu kunci kepemimpinan. Ia menyebutkan, humble leaders understand that they are not the smartest person in every room. Nor do they need to be.  Biasanya, pemimpin seperti ini mendorong bawahannya untuk speak up.

Mereka pun sangat menghargai perbedaan pendapat, tidak peduli apakah pendapat itu datang dari seorang eksekutif puncak ataupun dari anggota dalam struktur organisasi yang paling bawah sekalipun. Ia menciptakan kultur “getting the best from every team and every individual”.

Singkat kata, para  pemimpin rendah hati ini berusaha untuk mendapatkan hasil sebanyak-banyaknya dari bawahan, bukan dari diri mereka sendiri. Kalau terjadi kesalahan mereka yang bertanggung jawab, tetapi kredit keberhasilan akan diarahkan kepada para bawahannya.

Kepercayaan diri yang senyap

Beberapa riset menunjukkan bahwa kerendahan hati adalah komponen yang paling dekat dengan kualitas positif kepribadian, seperti ketulusan,  fairness, dan kejujuran. Selain itu, kerendahan hati ini sama sekali tidak bertentangan dengan kekuatan dan keberanian.

Bahkan, pemimpin yang sering tampil heboh ternyata belum tentu menginspirasikan trust, cooperation, dan commitment. Betapa sering kita melihat pemimpin yang berusaha mendorong tim untuk bicara, tetapi tetap saja hanya beberapa yang bersuara.

Jadi, bila ingin memeriksa diri sendiri apakah kita tergolong pemimpin yang rendah hati, kita dapat berefleksi melalui pertanyaan-pertanyaan di bawah ini. Tentu jawabnya harus meluncur dari hati yang jujur dan autentik.

  • Apakah kita menghargai orang lain?
  • Adakah pihak-pihak tertentu yang merasa terintimidasi dan kerap menjadi sasaran emosi kita?
  • Apakah kita mengakui kesalahan/kekurangan kita dengan tulus?
  • Apakah kita menerima umpan balik konstruktif dan berusaha memperbaiki diri?
  • Apakah kita menolong bawahan untuk mengembangkan diri, atau terus mengeluhkan bahwa mereka yang enggan berkembang?

Mengapa sulit untuk rendah hati?

Apakah gaya kepemimpinan dominan seperti Elon Musk benar-benar efektif bagi kemajuan organisasi? Apakah seorang individu tidak bisa rendah hati sekaligus ambisius? Apakah kita tidak bisa kompetitif tapi sekaligus bersahabat dengan para kompetitor kita?

Belakangan ini muncul istilah humbition yang menggambarkan sosok pemimpin yang humble sekaligus juga ambisius. Pak Jokowi boleh dibilang contoh pemimpin yang menampilkan sikap ini. Tanpa perlu banyak berkoar-koar, ia menunjukkan kerja nyatanya membangun infrastruktur Indonesia timur yang banyak diabaikan para pemimpin sebelumnya.

Meskipun sering dihujat lawan-lawan politiknya, ia tetap tenang dan semakin dihormati oleh para pemimpin dunia lainnya. Pemimpin humbitious ini berfokus pada kerja, bukan sekedar menampilkan citra belaka. They seek success—they are ambitious—but they are humbled when it arrives…. They feel lucky, not all-powerful”.

Edgar Schein dalam bukunya Humble Inquiry mengatakan, kita hidup di dunia dengan ego mendapat banyak perhatian, tetapi kerendahan hati mendapatkan hasil. Ia menyebut juga bahwa kerendahan hati yang efektif adalah situasi ketika pemimpin menunjukkan sikap bahwa saya tergantung padamu, tetapi di lain pihak saya pun punya kemandirian dan pilihan.

Tim tanpa pemimpin dengan kerendahan hati sering merasa terancam kesejahteraannya. Mereka akhirnya menampilkan sikap “asal bapak senang”, patuh tanpa sikap kritis demi menghindari konfrontasi dengan pemimpin yang arogan itu.

Bagaimana mungkin organisasi mendapatkan engagement dari para karyawannya ketika mereka sering merasa diintimidasi melalui komentar dan pertanyaan atasan yang sekadar ingin menunjukkan “i’m the boss”?

Ada beberapa hal yang bisa diusahakan pemimpin untuk dapat bersikap rendah hati.

  • Banyaklah bertanya dengan tujuan benar-benar untuk mendapatkan informasi.
  • Terima ide-ide baru anggota tim kita, seaneh apa pun juga kelihatannya sambil berusaha memahami dari sisi pandang mereka.
  • Praktikkan rasa welas asih dan gunakan inteligensi emosi kita secara optimal.
  • Selalu sadari bahwa apa yang kita yakini benar pada masa lalu, belum tentu benar untuk masa sekarang.
  • Ambil tanggung jawab ketika kesalahan terjadi sehingga bawahan pun tidak takut untuk terus bereksperimen.

Ingat, where arrogance makes headlines, humility makes a difference. Sebagai pemimpin, tanyakan pada diri kita sendiri, apakah kita cukup kuat untuk mengakui bahwa kita tidak tahu dan bahwa kita bisa saja salah? Semoga jawabannya selalu: ya.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Baca juga : Berpikir Strategis

Manajemen Talenta Masa Kini