Dalam media sosial, kita sering melihat perseteruan antar-individu, bahkan tokoh-tokoh publik. Beragam reaksi dapat kita amati dari mereka yang berseteru ini. Ada yang semakin emosional berusaha untuk saling membalas, tetapi ada juga yang menanggapi dengan tenang sampai mengundang simpati. Sosiolog Arlie Hochshild mengungkapkan istilah “pekerja emosional” yang merujuk pada mereka yang menanggung beban emosional dikarenakan sifat pekerjaannya.

Yang paling umum adalah para petugas servis yang selalu berada di garis depan untuk berhubungan langsung dengan pelanggan, menghadapi beragam keluhan mereka terhadap permasalahan yang solusinya pun bisa jadi di luar kontrol mereka.

Yang sering terlupakan adalah para pemimpin di organisasi. Banyak pembahasan mengenai bagaimana pemimpin mengakibatkan stres pada bawahan, pemimpin yang memiliki kuasa lebih besar untuk bersikap dan bertindak. Kita lupa bahwa mereka pun memiliki beban emosional untuk mengambil keputusan dalam situasi yang masih tidak jelas, mengambil keputusan tidak popular yang sering kali tidak dipahami oleh bawahannya sehingga harus menerima pandangan kekecewaan dari mereka. Bagaimana mereka juga harus menerima tanggung jawab atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya baik yang tidak disengaja atau disengaja sekalipun.

Mereka dituntut untuk selalu menjadi panutan, menunjukkan empati, dapat mengayomi anak buahnya, lupa bahwa mereka pun manusia biasa yang mungkin sedang mengalami stres dan membutuhkan waktu untuk diri mereka sendiri.

Tuntutan kepada pemimpin tidak sekadar pada keterampilannya mengelola kinerja organisasi, tetapi juga bagaimana ia mengelola kekuatan emosinya. Sebagai personifikasi organisasi, kegagalan pemimpin dalam mengelola sikap empatinya, bahkan dapat merusak reputasinya dan mengakibatkannya kehilangan jabatan oleh tekanan publik.

Menghadapi berbagai situasi ekonomi, politik, perubahan iklim, dan kesehatan lingkungan belakangan ini, para pemimpin semakin perlu menguatkan keterampilan mereka dalam mengelola kekuatan emosinya.

Pertama, setiap pemimpin harus siap menghadapi krisis demi krisis.

Krisis tidak menunggu antrean. Belum selesai pandemi menghantam, situasi panas Rusia-Ukraina sudah menghampiri, dilanjutkan dengan perang dingin China dan negara-negara Barat yang terus memberikan tekanan pada situasi ekonomi.

Dalam situasi yang serba tidak jelas, pemimpin harus berani mengambil tindakan dan tentunya menanggung risiko dari keputusannya tersebut.

Kedua, pemimpin  dituntut untuk peduli dengan isu-isu sosial dan lingkungan.

Di samping memenuhi harapan pemangku kepentingan (stakeholder) untuk mencetak keuntungan, seorang pemimpin perlu memperlihatkan empatinya terhadap kondisi sosial dan lingkungan sekitarnya. Lancarnya hubungan eksternal menjadi kunci penting kesuksesan organisasinya.

KIND sebuah perusahaan makanan ringan sehat memiliki misi memberdayakan pelanggannya untuk berbuat hal-hal baik, yaitu dengan berbuat baik pada tubuh mereka sendiri melalui konsumsi makanan sehat dan berbuat baik kepada komunitas.

Sang CEO, Daniel Lubetzky, pernah membuat sebuah perusahaan yang memungkinkan para tetangga di daerah konflik di Timur Tengah untuk membuat dan menjual makanan bersama. Ia juga mendonasikan 25 juta dollar AS kepada kelompok advokasi yang memiliki misi meningkatkan kesehatan masyarakat. “I’m on my fourth business now – it has become clearer that empathy and kindness offer a distinct competitive advantage. When I understand people with ease, I can accomplish more in both my business and my private life.”

Ketiga, pemimpin juga dituntut tampil tulus dan autentik.

Masa-masa pemimpin menutup pintu ruang kerjanya dengan dalih sibuk dan tidak mau diganggu, sudah tidak popular lagi saat ini. Transparansi justru menjadi tren saat ini.

CEO Microsoft Satya Nadella menunjukkan bagaimana ia menjadi pemimpin yang autentik.  Ia tidak segan-segan mengungkapkan kesulitannya dalam menyeimbangkan fokus antara kantor dan rumah. Ia dapat bercerita bagaimana ia mengurus putranya, Zain, yang menderita cerebral palsy. Simpati publik pun berdatangan kepadanya pada saat Zain meninggal.

“Menjadi diri sendiri” dan tampil sebagaimana adanya ini bisa jadi hal yang berat bagi pemimpin tertentu, tetapi akan membuat image pemimpin yang lebih utuh sebagai manusia.

Bagaimana cara pemimpin menanggung beban emosi ini?

Memang benar It’s lonely at the top, tetapi inilah kondisi yang harus dihadapi oleh seorang pemimpin. Ia perlu memiliki support system yang secara tulus dapat mendukungnya dalam membuat keputusan-keputusan yang berat. Mereka bisa sahabat-sahabat di dalam maupun di luar pekerjaan, atau bahkan mentor-mentor yang ia percaya sebagai tempatnya berdiskusi.

Mendengar anjuran para profesional atau konsultan akan menambah manfaat dalam pembuatan keputusannya karena pemimpin tidak mungkin memiliki keahlian dalam semua bidang. Diskusi bersama mentor, konsultan ataupun profesional lain dapat membantu pemimpin untuk memahami dampak dari keputusan yang dibuatnya, termasuk dampak emosional. Dengan demikian, ia dapat melakukan analisis risiko yang lebih tepat dan merancang tindakan antisipatif.

Pemimpin juga harus ingat bahwa lembaga tidak memiliki wajah. Jadi kemarahan pemangku kepentingan terhadap ketimpangan maupun kegagalan lembaga biasanya akan ditumpahkan kepada pemimpinnya. Ini adalah hal yang manusiawi dan pemimpin perlu memahami bahwa ia harus legawa dengan posisinya dan tidak baper.

Dalam situasi sulit seperti ini, kebiasaan pemimpin dalam disiplin melakukan latihan olah raga ataupun meditasi dapat membantunya untuk menyalurkan tekanan emosinya dan bangkit kembali.

Kita lihat, pemimpin, selain perlu mengelola emosinya sendiri, juga perlu terampil dalam menangani emosi anak buahnya, yang berdampak pada emosi organisasi secara keseluruhan. Dengan meningkatkan emotional intelligence dan pendekatan yang mindful menuju pribadi yang autentik, Anda pasti bisa lebih sukses menjadi pemimpin yang lebih utuh.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Baca juga:

Rasa Memiliki

Sok Pintar