Sebagai pelanggan, ada kalanya kita merasakan ketidakharmonisan hubungan internal pemberi jasa kita ketika komunikasi di antara mereka terasa tidak seamless. Pelanggan merasa dipingpong sana-sini tanpa kejelasan informasi, bagian-bagian lepas tangan terhadap permasalahan pelanggan dan berharap pelanggan mengupayakan sendiri penyelesaiannya dengan menghubungi bagian-bagian yang berbeda sembari berulang-ulang menjelaskan permasalahannya. Tidak ada kesinambungan dalam layanan yang diberikan oleh organisasi. Padahal, pada masa kini, ketika kemajuan teknologi sudah begitu canggih, integrasi beragam proses seharusnya sudah menjadi standar organisasi. Inilah yang bisa kita sebut sebagai gejala “silo” dalam organisasi.

Arti harfiah silo adalah cerobong asap. Bila berada dalam cerobong asap, pandangan kita terhalang sehingga meskipun berada di tempat tinggi, kita tidak bisa melihat seluruh area secara menyeluruh.

Dalam organisasi mentalitas silo ini seolah-olah membutakan para pekerja terhadap apa yang dilakukan oleh divisi lain. Alih-alih ikut bertanggung jawab dan berkolaborasi, masing-masing hanya sibuk dengan ruang lingkupnya sendiri. Dengan demikian, orang juga tidak peduli terhadap big picture perusahaan, apalagi dampak perilaku mereka terhadap bagian lain.

Indikator silo

Kondisi silo boleh dibilang terjadi ketika komunikasi dan transparansi tidak lagi berjalan dengan mulus. Dengan komunikasi banyak dilakukan secara virtual, kondisi silo ini memang bisa tanpa disadari sudah berjalan tanpa terdeteksi.

Zaman dulu hal ini bisa terbaca dengan mudah ketika ada yang berkumpul tiba-tiba langsung menghentikan diskusinya ketika ada orang lain yang berusaha bergabung dalam pembicaraan. Sekarang, diskusi banyak terjadi secara virtual. Bisa saja kita berusaha membuat komunikasi lebih transparan dengan membuat grup Whatsapp yang melibatkan semua orang. Namun, dengan mudah, bisa dibuat grup lain sehingga diskusi dalam grup pertama menjadi terlihat miskin sekali. Hanya berbagi informasi umum, padahal ada banyak inisiatif yang muncul dan sudah dijalankan tanpa proses diskusi dalam grup.

Gejala yang bisa dirasakan karyawan adalah adanya “us vs them mentality” di masing-masing divisi. Kita tahu bahwa ada masa ups and downs dari setiap divisi. Ada masa ketika satu divisi dikejar deadline ataupun sedang mendapatkan masalah besar.

Suasana tidak mau tahu permasalahan yang sedang dihadapi oleh divisi lain karena merasa beban kerja divisinya sudah cukup berat, mendorong timbulnya mentalitas us vs them. Tidak ada kebersamaan untuk menanggung beban yang ada ini dapat membuat karyawan merasa kesepian dan menimbulkan rasa tidak aman.

Boleh dibilang indikator utama dari kondisi silo ini adalah keengganan untuk berbagi, baik itu berbagi informasi maupun tanggung jawab.

Dampak yang paling ekstrem dan merugikan adalah bila silo ini dirasakan oleh pelanggan. Pelanggan lelah karena harus berurusan dengan banyak divisi dari organisasi kita, atau pelanggan bingung siapa yang sebenarnya harus ia temui untuk menyelesaikan persoalannya. Kondisi minimnya rasa percaya satu sama lain dalam organisasi yang dirasakan oleh pelanggan, dapat pula menurunkan rasa percayanya terhadap organisasi kita.

When communication is scarce in a big business, achieving the same goal and looking at the big picture becomes a daunting task. Dalam kondisi seperti ini, sikut-menyikut, saling lempar tanggung jawab, persaingan untuk memenangkan citra kesuksesan akan tumbuh dengan subur.

Melebur tirai di organisasi

Tidak berarti bahwa setia kawan dan semangat berkompetisi dilarang dalam organisasi. Setiap divisi tetap perlu berupaya membangun kekompakan divisinya dan berusaha sebaik-baiknya mencapai target divisi karena keberhasilan setiap divisi adalah penentu keberhasilan organisasi.

Namun, jika dalam prosesnya ada divisi yang tutup mata terhadap kesulitan divisi lain atau bahkan berusaha menjegal kesuksesan divisi lain, di sinilah manajemen perlu waspada dan membangun langkah-langkah perbaikan.

Ketidakkompakan sebuah tim olahraga merupakan tanggung jawab pelatih, sementara silo dalam organisasi merupakan red flag bagi pimpinan untuk mawas diri. Ketika ada anggota tim atau divisi dalam organisasi yang menjadi “anak emas”, ketika divisi harus berebut resources dari budget yang terbatas, ketika keberhasilan suatu divisi dirayakan dengan meriah sementara pencapaian divisi lain dianggap sudah sewajarnya, dari sanalah bibit-bibit silo mulai berkembang.

Di sinilah pentingnya peran pemimpin untuk bersikap adil terhadap semua divisi yang ada. Diawali dengan membuka komunikasi secara transparan dengan berbagai pihak yang terlibat. Upayakan agar keputusan sudah dikonfirmasi ke bagian lain sebelum diimplementasikan. Budaya check and balance ini perlu ditanamkan kepada setiap orang di perusahaan. The more people who communicate effectively in your organization, the better.

Pembentukan tim lintas kolaborasi juga akan membuat anggota tim terbiasa untuk bekerja dan mengenal orang-orang di luar divisi dan keahliannya. Hal ini sangat baik bagi pengembangan kreativitas dan inovasi.

Adanya sistem yang terintegrasi akan membantu komunikasi menjadi lebih lancar tanpa perlu membuang waktu terlalu banyak. Setiap pihak yang terlibat dapat menambahkan data yang merupakan tanggung jawab bagiannya. Sementara itu, pihak lain bisa langsung mendapatkan info terbaru yang mereka butuhkan. Hal ini akan sangat bermanfaat untuk mencegah kerja berulang ataupun saling tunjuk kesalahan.

Setiap orang ataupun divisi dapat melihat kontribusinya terhadap keseluruhan proses dengan lebih jelas sehingga mereka pun dapat memfokuskan energinya pada pencapaian sasaran perusahaan dan semangat persaingan ke arah luar organisasi.

Silo membangun tembok di pikiran orang dan menciptakan penghalang di hati organisasi.”

Pearl Zhu

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Baca juga : Karakteristik SDM Indonesia

Kerendahan Hati Pemimpin

Berpikir Strate