Kita mungkin ingat pesan orangtua sewaktu kita kecil dulu, “Jangan pedulikan apa kata orang, maju saja terus.” Namun, semenjak kecil pula, kita sering mendengar komentar orang-orang tua di arisan ataupun pertemuan keluarga yang membahas sanak saudara yang menurut mereka berlaku tidak pantas.

Cemooh dari teman sepermainan pun mungkin kita dapatkan ketika mengenakan suatu barang atau bersikap tertentu yang tidak sesuai dengan situasi saat itu. Ini cukup menyakitkan. Bagaimana mungkin kita dapat mengabaikan penilaian orang lain terhadap diri kita?

Dalam peran media sosial saat ini, reputasi dapat kita peroleh dengan sengaja membentuknya atau biasa disebut sebagai pencitraan. Bisa juga tatkala ada rekan yang mengunggah sesuatu tentang diri kita. Semakin penuh sensasi unggahan itu, semakin cepat pula menarik perhatian pihak lain.

Bila zaman dahulu kekhilafan kita mungkin cepat terlupakan dari memori pihak lain, dengan adanya media sosial, jejak perilaku kita bisa berada di dunia maya untuk waktu yang sangat lama. Bagi mereka yang benar-benar mengenal kita, mungkin unggahan seperti itu tidak terlalu berdampak besar karena mereka mengenal sisi lain diri kita.

Namun, bagi orang yang baru mengenal kita ataupun rekan-rekan yang intensitas hubungannya tidak terlalu mendalam, unggahan yang mereka lihat akan membentuk reputasi diri kita dalam benak mereka. Ini bisa saja berpengaruh dalam interaksi hubungan kita dengan mereka.

Dalam situasi kerja sehari-hari, reputasi kita adalah bagaimana persepsi rekan-rekan kerja terhadap diri kita. Bisa saja kita melihat diri sebagai individu yang penuh perhatian kepada orang lain. Namun, bisa jadi pula rekan-rekan kerja tidak melihat diri kita seperti itu, bahkan kita dianggap sebagai individu yang tidak sabaran. Mana yang tepat? Kepribadian mana yang bermakna dalam interaksi sosial kita?

Tentunya, kepribadian sebagaimana persepsi orang lain terhadap kita, terlepas dari apakah kita mengakuinya atau tidak, karena orang lain akan bersikap pada kita sesuai dengan reputasi yang mereka pandang tentang diri kita. Ini artinya kita belum berhasil membentuk diri menjadi pribadi ideal sebagaimana yang kita sendiri harapkan.

Apakah kita dapat menerima reputasi kita secara legawa dan mengakui bahwa itulah yang dilihat oleh orang lain terhadap kita? Hal ini memang tidak mudah, apalagi bagi mereka yang sudah memiliki posisi dan “power”, untuk bisa terbuka menyadari bahwa dirinya di mata orang-orang tidaklah seperti yang ia pikirkan. Di sinilah letak kekuatan kepribadian kita.

Inilah yang sering disebut para ahli psikologi sebagai blindspots, sesuatu mengenai diri kita yang diketahui orang lain tetapi justru tidak kita ketahui. Menurut para ahli, blindspots ini bisa menjadi silent killer. Betapa tidak? Bila kita menutup mata, tidak memedulikan pendapat orang lain tentang diri kita, artinya kita membiarkan diri kita berkembang dalam gelap, tanpa upaya perbaikan. The danger is not knowing what your reputation is.

Setiap individu yang ingin berkembang perlu mempertimbangkan reputasinya, sambil menguatkan diri untuk mencapai mutu kepribadian yang lebih baik. Kita perlu memiliki prinsip mengenai apa yang baik dan benar bagi diri kita dan reputasi dapat kita gunakan sebagai pedoman, apakah di mata orang lain kita memang sudah menunjukkan prinsip pribadi yang kita inginkan itu.

Kita tidak bisa mengendalikan pendapat orang, tetapi bisa memengaruhi persepsinya melalui perbuatan dan kata-kata kita.

Evolusi identitas

Identitas kita sebagai manusia merupakan gabungan pengalaman antara bayangan kita mengenai siapa diri kita dan apa yang kita representasikan ketika kita berhubungan dengan orang lain. Reputasi ini tentunya tidak terjadi dalam sekejap. Kita perlu membentuknya dalam proses yang cukup panjang melalui tempaan hidup sehari-hari. Good reputations are earned slowly and lost quickly. One major blunder outweighs many contributions.

Perusahaan tempat kita bekerja tentunya memiliki andil dalam reputasi kita, apalagi bila lembaganya cukup bergengsi. Namun, bagaimana mengelola identitas kita dalam tingkah laku keseharian, juga akan semakin memperkuat ataupun melemahkan reputasi organisasi tempat kita bekerja tadi.

Ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan. Pertama, pelajari dengan seksama apa reputasi kita. Banyak perusahaan menyelenggarakan umpan balik 360 derajat yang bertujuan untuk memberikan masukan kepada individu mengenai reputasinya. Ketika hasilnya tidak sesuai dengan yang kita harapkan, bisa saja, ada yang mempertanyakan obyektivitasnya. Di sini, perlu kita ingat bahwa pendapat orang lain adalah sah menurut kacamata mereka.

Kedua, tentukan identitas yang memang ingin kita miliki. Nilai apa yang mau kita tampilkan. Ada orang yang ingin terlihat mentereng, sebaliknya ada yang ingin kelihatan minimalis. Apa yang kita junjung tinggi akan memperkuat reputasi kita ketika ini diartikulasikan dengan baik dan dapat diimplementasikan sesuai dengan makna dari nilai tersebut.

Reputasi seperti ini tidak bisa hanya kita angankan lalu terjadi begitu saja. Kita perlu menyusun strategi untuk mencapainya. Selain itu, tanyakan pada diri sendiri mengapa reputasi ini penting bagi kita agar kita dapat menelusuri kekuatan dan hal yang masih perlu digerakkan dalam diri kita untuk mencapai identitas tersebut.

Identitas kita adalah cerita mengenai diri kita. Cerita ini haruslah genuine, tidak bisa dibuat-buat, karena episode demi episode hidup kita akan menjadi saksinya. Orang akan melihat ketika perilaku ternyata tidak cocok dengan apa yang kita angankan. Be who you say you are.

Kita juga perlu mengingat bahwa kita tidak bisa selalu konsisten. Bila pada suatu hari Anda sadar telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai yang ingin ditampilkan ini, secepat mungkin lakukan tindakan korektifnya.

Terakhir, kita juga perlu melihat bahwa orang lain pun juga ingin “bersinar”. Dengan memberi ruang kepada orang lain untuk tampil, justru reputasi kita akan mendapat nilai tambah yang positif. Build bridges that unify.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Baca juga : Yuk, Membuka Pikiran, Bersikap Terbuka!

Transformasi Organisasi

Suksesi