Ada seorang teman yang memiliki masalah di lambungnya. Dokter mendiagnosis kondisinya saat ini sudah cukup berbahaya dan menyarankan dia untuk mengubah pola makannya dengan lebih banyak mengonsumsi sayuran. Namun, ia langsung menolak dengan alasan tidak suka sayuran dan benar-benar enggan mencobanya.

Kita mungkin sering melihat hal seperti itu di sekeliling. Mengubah pola makan bisa jadi terlihat sederhana. Namun, sebenarnya orang perlu mengubah mindset dirinya terlebih dulu untuk membuat perubahan tersebut benar-benar dapat menjadi bagian dari dirinya. Kita melihat banyak rencana diet gagal karena individu tidak benar-benar meyakini diet tersebut harus menjadi bagian dari dirinya, bukan sekadar suatu pola makan yang dijalani sementara waktu.

Demikian juga dalam hal transformasi organisasi. Pada masa sekarang, pelanggan menuntut “lebih” banyak ingin berubah, tetapi tidak mengubah mindset-nya.  Bila individu dalam organisasi tidak meyakini pentingnya untuk berpikir secara agile, menerima perbedaan-perbedaan pandangan dari berbagai pihak, sulit baginya untuk melakukan adaptasi terhadap sistem dan cara kerja yang baru.

Dengan tuntutan perubahan pada masa sekarang, rasanya tidak ada lagi tempat bagi mereka yang menolak perubahan. Sikap tidak terbuka ini dapat mengancam kelangsungan organisasi. Apakah ada orang yang cenderung berbakat untuk bersikap terbuka?

Penelitian menunjukkan bahwa mereka yang bersikap terbuka, memang berbeda dalam memproses informasi dan memersepsi dunia dibandingkan dengan mereka yang cenderung berpikiran tertutup. Orang yang terbuka biasanya lebih besar rasa ingin tahunya, kreatif, dan imajinatif. Mereka pun lebih peka dalam mengamati dan menikmati karya seni, musik, buku, dan segala aspek budaya.

Sementara itu, mereka yang tertutup biasanya mempunyai mekanisme penghambat dalam otak yang seolah-olah menyaring masukan visual dan kognitif. Mereka seolah tidak bisa menyerap beberapa visualisasi, suara, atau rangsangan kognitif yang berbeda dari yang biasa dialaminya. Hasil riset juga menemukan bahwa biasanya “blocking” ini diikuti oleh hawa emosi yang negatif.

Orang dengan keterbukaan akan selalu tertantang untuk mempertanyakan keyakinan dan pengetahuan yang sudah dia miliki. Dia justru bersemangat ketika ada yang dapat menyajikan sudut pandang berbeda dengan apa yang dia ketahui saat ini. Seperti seolah akan menjalani suatu petualangan baru yang belum diketahui bagaimana akhirnya. Hal ini membangkitkan antusiasme dan perasaan dinamis dalam dirinya, dan dengan sendirinya membuat mereka lebih mudah mencari solusi dan belajar.

Setiap orang yang berada di dalam organisasi yang berkembang terus, juga perlu meyakini bahwa bersikap terbuka adalah persyaratan utama bila ia ingin bertahan dan bahkan bertumbuh bersama organisasi.

Organisasi yang sedang bergerak maju membutuhkan individu-individu yang memiliki efisiensi intelektual dan toleransi. Agar dapat menerima ide orang lain, ia harus mengolah informasi, menggodoknya dengan pola pikir yang dimilikinya. Kecerdasan ditambah dengan sikap terbuka akan membantu individu mengolah situasi di sekelilingnya dengan lebih baik.

Ia akan berpikir lebih dalam untuk membandingkan beragam ide baru dengan hal-hal yang diketahuinya selama ini. Di sinilah ia dapat memperluas wawasannya. Sementara itu, mereka yang tertutup akan cenderung malas untuk mencari tahu tentang hal-hal lain di sekelilingnya, ataupun menggali solusi yang lebih jauh lagi. Akhirnya, solusi yang didapat itu-itu saja.

Mendorong keterbukaan

Bagaimana bila kita ternyata selama ini memang bukan tipe yang mudah menerima hal-hal baru, yang cenderung nyaman dengan apa yang sudah menjadi kebiasaan selama ini? Setelah menyadari bahwa saat ini berada dalam dunia yang sangat dinamis dengan organisasi yang membutuhkan keterbukaan setiap individunya, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah memaksa diri melangkah keluar dari zona nyaman.

Ada beberapa upaya yang dapat kita biasakan untuk melatih diri menjadi orang yang lebih terbuka.

Pertama, bila menemukan tulisan ataupun bacaan yang rasanya sulit untuk dipahami saat itu, berikan waktu untuk mencernanya kembali pada saat kita senggang. Tuliskan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam diri kita ketika membaca tulisan tersebut, hal-hal yang rasanya sulit kita pahami, dan kemudian mencari tahu lebih dalam mengenai jawabannya ataupun berdiskusi dengan orang lain mengenai hal tersebut.

Kedua, berlatih untuk rajin mendengarkan ide-ide cemerlang dari para ahli yang memang diakui dunia, seperti sharing Ted Talks yang bisa dengan mudah kita dapatkan di media sosial. Banyak inspirasi baru yang berbeda bisa kita dapatkan dari para ahli di sini yang akan semakin memperluas wawasan. Semakin sering mendengarkannya, semakin kita menyadari betapa banyak hal yang selama ini tidak diketahui dan akan jadi semakin haus terhadap ilmu-ilmu baru.

Ketiga, tingkatkan intensitas dalam berkenalan dengan perbedaan. Bisa dengan masuk ke lingkungan pergaulan dengan latar belakang yang berbeda dari kita, baik dari sisi budaya, tingkat pendidikan, maupun status sosial. Hal ini tentunya tidak mudah, terutama bila tingkat toleransi kita rendah.

Namun, akan membuat kita terlatih untuk merabarasakan suasana-suasana baru yang sulit dimasuki. Ini sangat berguna. Bila dalam pekerjaan perlu masuk ke situasi-situasi baru, kita akan merasa bahwa kolaborasi menjadi lebih mudah.

Jadi, begitu banyak manfaat yang dapat kita petik dengan bersikap terbuka. Selain mempermudah kolaborasi, hubungan kita dengan berbagai pihak, ini akan membuka pintu inovasi-inovasi yang sebelumnya mungkin tidak kita bayangkan.

“Orang yang terbuka cenderung lebih cerdas dan mendapat skor lebih tinggi pada kecerdasan terkristalisasi daripada orang rata-rata.”

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Baca juga : Transformasi Organisasi

Suksesi