Kecerdasan organisasional atau organizational intelligence adalah kemampuan untuk mengerahkan organisasi bergerak sesuai dengan arah pengembangan yang mereka inginkan.

Sebagai atasan, kita selalu ingin mengoptimalkan kapabilitas bawahan. Kita mengharapkan mereka untuk menggunakan kepandaian, keterampilan, dan kekuatan karakternya. Namun, kadang kala kita menemukan individu yang sudah memenuhi segala persyaratan, seperti IQ dan lainnya, tidak berkinerja seperti yang diharapkan. Seorang teman mengeluhkan bawahannya yang seharusnya cukup cerdas, tetapi ternyata gagal memenuhi tuntutan pekerjaan organisasinya.

Sementara yang lain, yang hanya seorang anak magang biasa, mampu menerjemahkan apa yang dikehendaki pimpinan perusahaan ke dalam beberapa langkah sederhana yang mudah dicerna seluruh karyawan. Ia memang tidak cemerlang dan tidak dapat diharapkan untuk membuat solusi-solusi canggih, tetapi mampu mengimplementasikan beragam inisiatif perusahaan pada ruang lingkup tugasnya, selain luwes membangun relasi dalam organisasinya. Dari dua contoh ini, kita belajar bahwa IQ bukan segala-galanya bagi kesuksesan kinerja seseorang di organisasi.

Hasil penelitian mengatakan bahwa 50 persen kinerja organisasi ditandai oleh kemampuan berespons individu-individunya terhadap perubahan dan kompleksitas. Penentu lain tentunya adalah kepemimpinan, strategi, dan kondisi lingkungan bisnisnya.

Kita mungkin pernah melihat institusi yang berisi orang-orang cerdas, tetapi tampak kesulitan ketika terjadi disrupsi dan transformasi besar-besaran. Dari sini, kita bisa melihat pentingnya pemimpin organisasi memiliki strategi untuk dapat mengelola talenta-talenta cerdas memiliki agility untuk berespons terhadap perubahan dan kompetisi pada masa mendatang, membuat keputusan dan mengeksekusi keputusan tersebut hingga memberikan hasil yang diharapkan.

Apa itu kecerdasan organisasional (organizational intelligence)?

Ada banyak hal yang perlu dimiliki seseorang untuk dapat menuju pucuk pimpinan organisasi: IQ tinggi, kompetensi teknis yang mumpuni, dan sekumpulan karakteristik kepribadian, seperti kegigihan, daya lenting, dan sensitivitas interpersonal.

Namun, tidak jarang, kendati sudah memenuhi persyaratan-persyaratan ini, individu yang sudah berada dalam posisi kunci pun gagal untuk membawa organisasinya mencapai kesuksesan. Menurut Nelson Phillips dan George SYip, organizational intelligence adalah kemampuan untuk mengerahkan organisasi bergerak sesuai dengan arah pengembangan yang mereka inginkan.

Ada beberapa kompetensi yang tercakup dalam kecerdasan organisasi atau organizational intelligence ini.

Pertama, cerdik mengemas pesan yang mampu memotivasi insan dalam organisasi. Kesuksesan sebuah strategi tergantung pada kesediaan seluruh jajaran untuk bersama-sama bekerja mewujudkannya. Oleh karena itu, menerjemahkan pesan strategis top management menjadi lebih sederhana dalam tindakan sehari-hari sangatlah penting. “The simpler and clearer, the better”.

Pesan yang jelas dan mudah dipahami berpotensi besar untuk diikuti oleh seluruh insan di organisasi sehingga mereka bersedia mengubah kebiasaannya, melakukan tindakan-tindakan baru yang diharapkan oleh perusahaan, dan pada akhirnya dapat secara bersama-sama mencapai tujuan strategis perusahaan.

Kedua, mampu membangun karakter organisasi melalui penghayatan dari nilai-nilai perusahaan sehingga seluruh individu dalam organisasi dapat menampilkan  “who we are” dengan jelas. Ia sanggup membuat setiap bawahannya tahu “what’s important and what the organization stands for — in other words, an ethos”.

Salah satu kekuatan Steve Jobs adalah membangun organizational intelligence dalam organisasinya. It’s why the company exists, not what the company sells. Novaton AG, sebuah perusahaan aquaculture dari Swiss, juga dengan tegas mengumandangkan etos kerjanya. “We are game changers in the world of aquaculture and technology”.

Dalam diskusinya dengan Experd untuk sebuah proses rekrutmen, CEO Novaton Christine Ledergerber-Hinderling menegaskan, individu-individu yang akan bergabung dengan organisasinya, dipastikan harus memiliki kemauan belajar yang kuat, semangat inovasi secara terus-menerus, dan kepedulian terhadap sustainability dari lingkungan hidup.

Ketiga, mampu mengeksekusi rencananya kendati mengalami banyak tantangan. Banyak yang berpendapat bahwa lebih baik untuk talk the walk daripada walk the talk. Pimpinan yang ingin mensukseskan organisasinya perlu membuat aksi-aksi yang jelas ketimbang banyak memberikan wejangan-wejangan dan meminta konsensus verbal saja.

Sering kita jumpai di organisasi orang yang berpindah dari satu rapat ke rapat lainnya sampai ada yang berkomentar, “Kalau rapat terus, kapan bekerjanya?” Kita harus waspada dengan gejala organisasi yang lebih banyak berencana daripada bertindak. Action strategy is about making things happen.

Keempat, berani berkata “tidak” untuk hal yang diyakininya akan menghambat perusahaan berkembang. Ia memang perlu melakukan penyesuaian, perubahan, bahkan yang ekstrem sekalipun. Namun, ia juga perlu menjaga agar organisasi tetap berada di jalur yang tepat untuk pengembangannya mencapai target yang sudah ditetapkan.

Membangun OQ Anda

Organisasi pastinya tidak terlepas dari beragam aturan main dan birokrasi yang perlu diikuti. Alih-alih hanya mengkritisi beragam sistem maupun birokrasi yang ada, kita juga perlu berlatih membaca situasi, mengikuti irama birokrasi, dan menggunakan kekuatan organisasi untuk kemajuannya.

Kita juga melihat bahwa mereka yang sukses mendorong organisasinya untuk bergerak mencapai target yang sudah ditetapkannya ternyata adalah orang-orang yang juga sukses membangun image dirinya dengan jelas, karena sebelum para pengikut tergerak, mereka pasti ingin mengenali siapa pemimpin mereka ini, apakah pantas ia menjadi panutan.

Kita mengenal Presiden Jokowi dengan semangat kerja, kerja, kerja, dan kesederhanaannya sebagai pemimpin. Kita juga melihat sosok “antikorupsi” Ahok yang kerap membuka transparansi proses-proses bekerjanya sehingga rakyat dapat ikut memantau dan mengkritisi. Prinsip hidup dan bekerja ini perlu kita tampilkan sehingga orang lain dengan mudah memahami dan bersedia mengikuti strategi yang kita terapkan karena mereka “percaya” pada siapa kita.

“Kepemimpinan tidak diambil, tetapi diberikan. Orang memberikan kepemimpinan kepada orang yang mereka percayai. Mereka membiarkan orang yang mereka percayai, memiliki pengaruh atas kehidupan mereka.”

Henry Cloud

 

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

 

Baca juga: Evaluasi Diri