Menjawab tuntutan teknologi yang semakin canggih, seorang pimpinan perusahaan menuntut tim TI-nya agar meningkatkan kemampuan mereka terkait dengan teknologi terbaru, seperti kecerdasan buatan dan coding.

Dalam dunia yang sudah terobsesi dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi ini, semua merasa kebutuhan untuk meningkatkan keterampilan teknis (hard skills) semakin mendesak. Semua orang berlomba menyiapkan keterampilan untuk menyambut kemajuan teknologi yang demikian pesat. Hal ini tidak hanya terlihat dalam dunia teknologi, tetapi juga berlaku di semua bidang.

Hampir semua pimpinan organisasi menuntut anak buahnya meningkatkan  keterampilan mereka dengan berbagai pelatihan dan sertifikasi guna menghadapi kecanggihan dunia masa depan. Sementara itu, perusahaan konsultan McKinsey justru memprediksi bahwa 8 dari 10 keterampilan yang akan dibutuhkan oleh pekerja masa depan adalah keterampilan nonteknis (soft skills), seperti berpikir kreatif, kemampuan adaptasi, dan menginterpretasi informasi yang kompleks.

Menghadapi masa depan yang belum pernah dijalani oleh siapa pun, tentunya keterampilan untuk belajar, segera bangkit setiap kali menghadapi kegagalan, berkolaborasi, jeli melihat kesempatan akan lebih kuat daripada ilmu-ilmu pasti yang disusun dalam kerangka masa ini.

Dengan kata lain, keterampilan teknis seperti keahlian ilmiah dan teknis dapat menjadi usang, sementara jika keterampilan nonteknis semakin dikuasai akan menjadi kian efektif untuk menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan maupun pekerjaan. Menguasai keterampilan teknis pun membutuhkan keterampilan nonteknis yang memadai. Belajar membutuhkan kreativitas, refleksi, dan kemauan untuk mempertanyakan asumsi-asumsi kita, juga mengakui bila kita salah tanpa bersikap defensif.

Meski demikian, keterampilan nonteknis sering kali menjadi warga kelas dua. Bahkan, di universitas pun kita tidak pernah mendapatkan mata kuliah pengembangan keterampilan nonteknis ini secara khusus. Mahasiswa psikologi memang belajar mengenai inteligensi emosi, empati, dan dinamika kepribadian dari sisi sains. Namun, keterampilan untuk mendengar, memahami sudut pandang pihak lain, menangani konflik dengan kepala dingin, mengembangkan orang lain, rasanya tidak sempat dilatihkan secara serius dan terstruktur. Apalagi mereka dari bidang ilmu pasti yang sibuk mempelajari beragam teori dan analisis, sementara ketika memasuki dunia kerja mereka harus berurusan dengan beragam jenis manusia dengan segala tuntutannya.

Mungkinkah karena istilah soft terkesan lebih lemah daripada keterampilan teknis yang hard sehingga dinomorduakan?  Ribuan dollar biasa digelontorkan organisasi untuk pelatihan-pelatihan teknis bersertifikasi. Sementara itu, pelatihan keterampilan nonteknis sering kali diisi oleh pembicara yang diharapkan dapat berbicara 2–3 jam dan bisa memotivasi individu untuk berubah 180 derajat.

Tom Peters berkata, “Hard is soft and soft is hard.” Bila garisan dalam keterampilan teknis sangat jelas antara apa yang sudah benar dan apa yang salah, belajar mengenai keterampilan nonteknis membutuhkan keterampilan memainkan rasa dan mengukur beragam respons dari lingkungan.

Bagaimana kita bisa mengatakan kepemimpinannya sudah kuat tanpa anak buah yang memang bersedia untuk berkontribusi extra miles dengan gembira? Mengembangkan keterampilan nonteknis ibarat olahraga tim. Tanpa orang lain, kita sulit memantau kemajuan. Orang lainlah cermin refleksi kita untuk melakukan evaluasi.

Belajar mengembangkan keterampilan nonteknis

Kita bisa mendefinisikan keterampilan nonteknis sebagai keterampilan yang berkaitan dengan kepribadian, karakter, dan kebiasaan yang memudahkan seorang individu beradaptasi dengan baik dalam kehidupan maupun dengan tempat kerjanya. Keterampilan ini oleh sebagian pendidik dianggap akan dikuasai seiring dengan berjalannya waktu. Benarkah itu?

Kita tahu salah satu metode belajar dari pengalaman adalah melalui trial and error. Namun, manusia bukanlah benda mati yang konstan dan dapat di-reset kondisinya dari nol kembali. Kita memang bisa belajar dari kesalahan, tetapi dengan emosi dan persepsi yang dimiliki oleh manusia, kesalahan fatal dalam interaksi dapat memberikan efek jangka panjang yang sulit untuk dibenahi kembali. Apa yang berhasil kita lakukan dengan manusia yang satu belum tentu berhasil pada manusia yang lain.

Salah satu komponen penting dari belajar mengembangkan keterampilan nonteknis adalah kemampuan mendengar. Manusia mempunyai ego yang mengatur keseimbangan antara keinginan menuruti nafsu dan tuntutan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Bila nafsu untuk menguasai lingkungan dan mendominasi lebih besar sehingga ego kesulitan mengontrolnya, kita cenderung memilih untuk berbicara terus dan merasionalisasi bahwa apa yang kita katakan ini sungguh penting bagi yang lain.

Padahal, sudah jelas, bila kita terus yang menguasai pembicaraan, kita kehilangan kesempatan mencerap dan memahami apa yang diungkapkan oleh orang lain. Akibatnya, kita pun kehilangan kesempatan untuk belajar dari orang lain. Demikian halnya dengan observasi. Bila fokus kita lebih banyak diarahkan pada diri sendiri, menganggap diri yang paling benar, kita pun akan kesulitan memperhatikan aksi reaksi orang lain dalam interaksi sehari-hari dengan mereka.

Kemampuan melakukan observasi dan mendengar inilah yang dapat membuat kita lebih adaptif dengan mengatur reaksi kita agar lebih sesuai, dan dapat membangun hubungan yang harmonis untuk dapat bekerja sama dengan orang lain. Kita ingat dalam menghadapi lingkungan yang terus berubah dan semakin kompleks ini, kolaboratif menjadi salah satu kunci keberhasilan.

Disadari atau tidak, manusia memang lebih nyaman dengan status quo yang sudah dikenalnya dengan baik. Namun, mengingat tidak ada yang pasti dalam hidup ini kecuali perubahan, mereka yang dapat beradaptasilah yang akan bertahan menghadapi beragam tantangan. Seperti yang diungkapkan Darwin, “It is not the strongest or most intelligent who will survive but those who can best manage change.

Sebuah penelitian yang dilakukan Universitas Yale menemukan bahwa karyawan yang memiliki atasan dengan inteligensi emosi tinggi ternyata lebih kreatif, inovatif, dan lebih bahagia dalam bekerja. Sementara itu, 70 persen dari karyawan yang memiliki atasan dengan tingkat inteligensi emosi rendah, memiliki perasaan yang negatif terhadap pekerjaannya.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Baca juga:

Cerita Membangun Budaya