Semua orangtua pernah kewalahan menjawab pertanyaan anak-anaknya pada masa mereka kecil dulu. Anak-anak dengan keingintahuannya yang besar, senang bereksplorasi dan bertanya kepada orang dewasa yang ditemuinya. Pertanyaan mereka terkadang tidak dapat dipuaskan dengan satu jawaban saja. Pertanyaan “mengapa”, “kenapa begitu” kerap disampaikan menyambung jawaban kita sebelumnya. Bisa jadi, dalam banyak situasi tersebut kita tidak dapat menemukan jawaban yang tepat atas pertanyaan mereka sehingga kita pun menampik pertanyaan tersebut. Padahal, kita juga tahu bahwa rasa ingin tahu anak-anak ini perlu didukung karena sangat penting untuk perkembangan kognitif mereka.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengenal istilah “5 W +1 H” sebagai rumusan standar teknik bertanya. Yang sering tidak kita sadari adalah bobot yang terkandung dari masing-masing kata itu ternyata sangat berbeda. Apa, kapan, di mana, siapa, dapat dijawab dengan mudah karena mengarah pada penggalian fakta.

Lalu, pertanyaan “bagaimana” membutuhkan elaborasi yang lebih kompleks dari penjawab karena ia perlu menerangkan suatu proses hingga dapat dipahami oleh penanya. Namun, pertanyaan “mengapa” sering kali tidak dianjurkan karena terkesan menyudutkan pihak lain.

Padahal, melalui pertanyaan “mengapa” inilah kita bisa mendapatkan pemahaman yang lebih menyeluruh mengenai konteks permasalahan yang akhirnya bisa membuat penanya paham, bahkan bisa menumbuhkan empati yang lebih mendalam.

Di tengah kehidupan modern yang serba cepat dan kompleks, banyak individu dan organisasi cenderung terjebak dalam rutinitas dan tindakan tanpa benar-benar memahami tujuan yang mendasari tindakannya. Yang paling penting baginya bagaimana ia dapat menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu dan mendapatkan kompensasi dari pekerjaan tersebut.

Padahal, sumber dari banyaknya konflik adalah akibat tidak adanya pemahaman yang jelas tentang motivasi dan tujuan dari tindakan yang diambil sehingga memunculkan salah persepsi. Suasana tegang pun dapat terjadi akibat kesalahpahaman yang timbul sehingga tim kerja sulit mengarahkan diri untuk mencapai hasil yang lebih besar lagi.

Memulai dengan “mengapa”

Simon Sinek, pakar manajemen terkemuka, menyarankan, untuk memulai suatu tindakan, baik itu membangun bisnis baru maupun melakukan perubahan yang kecil sekalipun, kita mengajukan pertanyaan “mengapa” pada diri kita sendiri. Mengapa kita melakukan ini? Apa yang menjadi dasar bahwa hal ini perlu atau harus untuk dilakukan?

“Mengapa” adalah esensi dari tujuan, motivasi, dan nilai-nilai yang mendasari tindakan dan keputusan kita. Dengan menjawab “mengapa” kita dapat memiliki keunggulan kompetitif yang jauh lebih besar daripada mereka yang berfokus pada “apa” atau “bagaimana” saja.

Menurut Sinek, sebagian besar orang maupun organisasi sering mendasari tindakan mereka mulai dari “apa” dan kemudian berlanjut sampai “bagaimana” untuk memastikan semuanya berjalan sesuai dengan rencana mereka. Akibatnya, ketika menghadapi tantangan, kesulitan yang di luar perkiraan mereka, mereka menjadi frustrasi dan tidak jarang yang berhenti di tengah jalan.

Sinek menegaskan, pemimpin dan organisasi yang paling berhasil dan menginspirasi adalah yang memulai dengan “mengapa”. Menurut Sinek, pemahaman yang kuat tentang “mengapa” adalah kunci untuk membangun brand yang kuat, mempertahankan kesetiaan pelanggan, dan menciptakan budaya yang berkelanjutan di dalam organisasi.

Baca juga: Mengelola Energi

Organisasi dengan “mengapa” yang kuat, cenderung lebih termotivasi dan memiliki komitmen yang lebih kuat karena “mengapa” menyentuh tingkat emosional dan nilai-nilai yang lebih mendalam. Jawaban terhadap mengapa kita melakukan tugas bersama dapat mengembangkan ownership yang lebih jelas terhadap sasaran dan mengeliminasi kebingungan, walaupun setiap orang bekerja sesuai dengan tanggung jawabnya masing-masing.

Kita melihat bagaimana Apple membangun identitas merek mereka sebagai perusahaan yang memperjuangkan inovasi, kreativitas, dan pemikiran yang berani. Konsep inilah yang mereka tanamkan sehingga dalam kampanye pemasarannya, mereka tidak hanya berfokus pada “apa” fitur teknis produk, tetapi juga membangun brand seputar konsep “mengapa” mereka, yaitu “think different“. Dari nilai-nilai inovasi, keberanian inilah produk-produk mereka dimanifestasikan.

Pemimpin yang memiliki visi yang jelas tentang “mengapa” mereka lebih mampu menginspirasi orang lain untuk bergabung dan bergerak dalam mencapai tujuan bersama. Martin Luther King Jr dikenal sebagai penggerak yang mampu memobilisasi ribuan orang untuk bergabung dalam gerakan hak sipil karena dia secara jelas mengomunikasikan “mengapa” dari perjuangan mereka.

Merefleksikan “mengapa” dalam kehidupan pribadi dapat membuat kita lebih jelas dalam berjuang dan going extra miles. Apa yang kita percayai, apa yang kita perjuangkan dapat menjadi dasar komunikasi yang menyentuh emosi orang lain dan menginspirasi mereka untuk berjuang bersama kita.

Jika sampai suatu saat seseorang tidak dapat mengartikulasikan mengapa mereka melakukan sesuatu dengan cara yang mereka lakukan, inilah saatnya untuk mengambil langkah mundur dan berfokus untuk mendapatkan lebih banyak wawasan dan kejelasan sebelum melangkah maju.

Terampil bertanya “mengapa”

Meskipun sudah menyadari pentingnya mencari jawaban atas “mengapa” kepada diri sendiri, kita memang perlu berhati–hati dalam mengajukan pertanyaan ini ke pihak lain agar tidak membuat mereka merasa tersudutkan. Ini karena bisa jadi mereka memang belum pernah memikirkan jawaban dari pertanyaan tersebut.

Untuk itu, kita perlu merumuskan kembali pertanyaan “mengapa” dengan formula yang berbeda misalnya dengan menggunakan pertanyaan apa dan bagaimana. Fokuslah pada motivasi sehingga mereka tidak merasa dihakimi dengan bertanya, apa yang mendorong Anda mengambil pilihan itu?

Menggunakan pertanyaan dalam konteks yang lebih luas, misalnya dengan bertanya bagaimana proses yang melatarbelakangi dibuatnya kebijakan tersebut, menunjukkan kesediaan kita untuk memahami posisi pihak lain.

Komunikasi yang jelas adalah kunci dalam bisnis. Tidak bertanya akan membuat kita jatuh dalam asumsi yang menyesatkan dan membuat keputusan yang salah. Namun, keterampilan bermain kata-kata pun perlu kita kuasai.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM