Karakter apa yang akan menentukan bagi kesuksesan pemimpin pada 2025, 2040, dan seterusnya? Tentunya kita belum bisa membayangkan apa yang akan terjadi di dunia pada masa mendatang. Hal yang sudah pasti adalah perubahan tetap akan terjadi dengan percepatannya yang bertambah.

Keberbedaan semakin nyata, tidak hanya pada perilaku pelanggan, tetapi juga pasar, ide-ide yang semakin menggila, serta talenta yang ada. Ini adalah konteks baru yang akan kita hadapi. Para pemimpin yang sukses pada masa lalu ketika dunia boleh dikatakan masih senada, belum tentu sukses memimpin pada masa mendatang jika ia masih menggunakan resep yang sama.

Aspek-aspek kepemimpinan seperti mengarahkan, memengaruhi, dan mengayomi memang tak lekang waktu. Namun, ada kapabilitas baru yang penting untuk diimplementasikan pada masa depan.

Dasar dari kepemimpinan inklusif adalah keberbedaan. Ada empat megatrend global yang akan membentuk lingkungan kerja dan memengaruhi prioritas bisnis pada masa mendatang.

Pertama, keragaman pasar. Selama pandemi pasar umumnya berubah menjadi sepi. Namun, ternyata pasar kelas menengah tetap tumbuh. Dengan tumbuhnya kelas menengah, pasar berubah menyesuaikan dengan selera masyarakat yang relatif lebih muda ini.

Jumlah kelas menengah yang sangat besar ini memberi peluang bisnis yang jauh lebih besar. Diperkirakan pada 2025, populasi kelas menengah akan mencapai 3,2 miliar, yang pada 2009 baru 1,8 miliar. Perubahan pasar ini akan diikuti perbedaan kultural, politik, dan ekonomi. Belum lagi ketegangan antara adaptasi lokal dan internasional seperti yang sudah kita rasakan sekarang. Saat ini, kita belum bisa membuat resep sukses untuk masa datang mengingat belum ada seorang pun yang berpengalaman di masa depan. Namun, paling tidak hasil riset sekarang mengatakan bahwa orang dengan pola pikir dan kapabilitas global akan lebih bertahan.

Kedua, keragaman pelanggan. Dengan banyaknya pilihan di pasar, sikap manusia pun berubah. Dengan kemajuan teknologi, pelanggan memiliki power untuk memilih. Konsep empati dan connectedness sudah bukan hal yang asing, tetapi perlu ditanamkan dalam budaya perusahaan. Pemimpin harus menjadi pusat dari connectedness ini. They are the linchpin that sets the pace and culture of our organization.

Ketiga, keragaman ide. Konsumsi, kompetisi, dan value chains terus berubah. Ungkapan Bill Gates “innovate or die” bukan lelucon. Disrupsi bisa terjadi seketika, perubahan bisa terjadi  dalam semalam. Sementara itu, survei pada 2014 terhadap 1.500 eksekutif menemukan bahwa 75 persen dari mereka menganggap inovasi termasuk prioritas mereka, tetapi ketika ditanya seberapa besar kapabilitas mereka dalam berinovasi, jawabannya adalah sekitar 17 persen.

Dengan situasi kala ide baru demikian penting, diversity thinking menjadi suatu kebutuhan pokok. Seorang pemimpin akan lebih jitu dalam pengambilan keputusan bila ia didukung orang-orang dengan pendapat yang beragam.

Keempat, keragaman talenta. Pergeseran populasi sarjana, profesional, bahkan pemimpin pasti akan berdampak pada cara kita memimpinnya. Pada 2050, milenial sekarang pun sudah ada yang menjadi manula. Ekspektasi dan sikap kerja pasti sudah berubah. Inilah saatnya, seorang pemimpin diuji kemampuannya untuk mengelola kumpulan talenta yang beragam.

Kapabilitas pemimpin baru

Elemen kepemimpinan inklusif memang tidak jauh dari gabungan antara transformational, servant, dan authentic leadership. Namun, kesadaran akan beberapa elemen penting akan membantu para pemimpin masa depan untuk menjalankan fungsinya dengan lebih baik.

Pertama, prinsip adil dan personal. Seorang pemimpin perlu benar-benar menghargai aneka ragam keunikan pribadi setiap anggota timnya, serta memberikan perhatian yang adil dan merata kepada keunikan setiap individu, bukan karakter stereotipenya. Ia perlu mengundang mereka untuk menjadi anggota tim yang sama kedudukannya.

Kedua, semangat menebarkan keyakinan bahwa keragaman memang harus dihargai karena keberbedaan ide pasti membuahkan kreativitas yang lebih tajam.

Untuk bisa menguatkan fokus pada keberbedaan individual ini, seorang pemimpin perlu menguatkan beberapa karakter lagi.

Pertama, komitmen: diversity dan inclusion ini harus diperlakukan sebagai prioritas bisnis, bukan sekedar nilai tambah.

Kedua, keberanian: pemimpin inklusif perlu menjadi dirinya, mengakui kelemahannya, dan menyadari kekuatannya tanpa memamerkannya di hadapan anggota tim. Ia harus membuka pikirannya untuk memahami pandangan orang. Michael Dell, CEO Dell inc, mengatakan, “Inclusive leaders accept their limitations and hunger for the views of others to complete the picture”. Di lain pihak ia harus berani menantang ketidakberesan dan meningkatkan standar operasi secara berkesinambungan.

Ketiga, menyadari dan menghindari bias: bermodalkan self awareness yang tinggi, seorang pemimpin inklusif perlu menjaga permainan yang adil dengan berpatokan pada hasil, efisiensi proses, dan menjaga agar komunikasi tetap lancar.

Keempat, inteligensi budaya: seorang pemimpin masa depan perlu melenturkan kemampuannya untuk mempelajari budaya lain dan menginternalisasikannya dalam kehidupan kita. Beberapa ahli bahkan menyebutkan CQ (cultural intelligence) akan berperan dalam kepemimpinan masa depan. CQ ini terdiri atas motivasi untuk “engage” dalam budaya lain, kognitif, dan metakognitif untuk menyerap norma, kebiasaan kultural, serta kemampuan untuk mengadaptasikan diri dan tingkah lakunya dalam penggunaan bahasa verbal maupun nonverbal dalam interaksi cross cultural.

Kelima, kolaborasi: pemimpin inklusif harus dapat menguatkan anggota tim dan mendorong timnya untuk kompak bekerja sama. “The new IQ is based more on group intelligence,” kata Bruce Stewart, pejabat manajemen personel Pemerintah Amerika. Bila IQ sebelumnya mengukur kecerdasan perorangan, IQ kelompok berfokus pada seberapa mampu Anda memimpin kelompok.

Kelima karakter tadi dapat menjadi dasar ketika Anda melakukan strategic alignment, rekrutmen, manajemen kinerja, menyusun program pengembangan, dan kegiatan manajemen perusahaan lainnya.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Baca juga : Mindfulness di Tempat Kerja

Bahasa Suportif, Pernyataan Positif