Pernah seorang atasan ditanyai apakah ia sadar telah melukai hati bawahannya dengan kata-katanya yang menunjukkan ia tidak percaya pada kualitas kerja anak buahnya. Bahkan, membuat mereka merasa kecil dan bodoh dengan tidak mengeluarkan pernyataan positif.

Ternyata si atasan tidak pernah menyadari hal itu, bahkan menganggap bahwa hal tersebut cara mendidik anak buah agar “jadi orang”. Ia menganggap kalimat empatetis kurang businesslike dan khawatir malah tidak dianggap oleh anak buahnya. Sementara itu, alih-alih berkembang, anak buah malah semakin menjaga jarak menghindari konfrontasi dengan atasannya.

Dua tahun terakhir ini, isu well-being semakin banyak diangkat ke permukaan, seiring dengan meningkatnya kesadaran orang tentang kesehatan fisik yang perlu diikuti juga dengan kesehatan jiwa. Rupanya kita memang tidak cukup bila hanya fokus pada hal-hal operasional dan sumber daya.

Kelly Greenwood dan Julia Anas dalam It’s a New Era for Mental Health at Work menyatakan, semakin kuat hubungan personal di organisasi, semakin jarang karyawan izin sakit. Jadi, agar karyawan lebih produktif dan inovatif, atasan perlu mengubah cara komunikasinya. Using emotionally supportive language is an important part of that.

Toxic positivity

Kita percaya bahwa kalimat yang kita gunakan akan memengaruhi cara berpikir kita, memengaruhi emosi kita, dan bisa menularkan emosi tersebut ke orang lain. Ada pepatah “mulutmu adalah harimaumu” agar kita berhati-hati dengan yang kita ucapkan. Jangan sampai membawa hal-hal buruk menjadi kenyataan, jangan sampai menyakit orang lain dengan tidak mengeluarkan pernyataan positif. Ada orang yang sampai pantang mengucapkan kata bangkrut, rugi, susah, dan lain sebagainya.

Namun, bila kita meminta orang yang sedang bermasalah untuk tetap berpikiran positif, dampaknya bisa jadi malah membuat mereka semakin merasa terasingkan. Dengan tujuan untuk menenangkan atau membangkitkan pikiran positif mereka, kita memberikan pernyataan-pernyataan seperti “semua hal itu pasti ada hikmahnya” atau “kita positive thinking saja deh, jangan mikir yang enggak-enggak”.

Tanpa kita sadari, hal itu sebenarnya tidak memberikan kelegaan sama sekali kepada teman atau anak buah yang sedang dalam kesusahan. Justru bisa membuat mereka semakin tertekan karena tidak dapat melepaskan emosi negatifnya.

Menurut Tabitha Kirkland, psikolog dari University of Washington, penyebab toxic positivity adalah kurangnya empati. Individu yang tidak nyaman dengan emosi-emosi negatif dan tidak tahu bagaimana cara bereaksi yang tepat, cenderung menggunakan pernyataan-pernyataan yang positif ini agar emosi negatif yang mereka rasakan ini segera berganti.

Ada juga individu yang dengan cepat memberikan solusi yang mereka pikir dapat menyelesaikan masalah teman yang sedang ditimpa kemalangan. Tujuannya memang baik yaitu ingin memberikan semangat baru atau jalan keluar. Namun, pada implementasinya, hal ini sebenarnya justru dapat membuat orang yang sedang mengalami masalah merasa terabaikan, terasing, tidak memiliki orang yang dapat memahaminya.

Kebahagiaan tidak berasal dari penekanan atau pengabaian emosi-negatif. Namun, justru dengan kesadaran menerima apa pun emosi yang sedang kita alami, baik negatif ataupun positif sebagai bagian dari diri kita, bagian dari hidup yang sedang kita jalani.

Kita perlu menyadari bahwa emosi sebenarnya sumber informasi yang sangat kaya. Rasa takut membuat kita berhati-hati terhadap kemungkinan adanya bahaya, sementara perasaan bersemangat dapat mendorong tumbuhnya kreativitas dan keterbukaan melihat peluang-peluang baru.

Dengan menerima emosi orang lain dan diri sendiri, kita pun menjadi lebih nyaman dengan diri sendiri dan merasa terbebaskan dari keharusan membuat orang lain merasa nyaman. Sebagai atasan, kita perlu hati-hati jangan sampai menciptakan suasana anak buah merasa unseen, unheard, atau unsupported.

Kekuatan emotional intelligence

Banyak pemimpin berpikir bahwa tempat bekerja adalah tempat rasio harus berperan secara penuh, tanpa emosi. Mereka tidak percaya bahwa emosi juga sangat berpengaruh dalam pekerjaan. Padahal, bukankah pemecahan masalah, pengambilan keputusan, apalagi membangkitkan semangat pada saat menghadapi kesulitan semuanya mengandalkan kekuatan emosi?

Farah Harris menggambarkan orang yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi adalah mereka yang nyaman dengan emosinya dan bisa menebarkan aura yang nyaman sehingga membuat suasana kerja produktif. Ada beberapa hal yang bisa diingat bila mau menerapkan kehidupan  emosional yang sehat di lingkungan kerja.

Pertama, validasikan pengalaman lawan bicara. Tindakan ini merupakan pengakuan terhadap apa yang dirasakan oleh lawan bicara. Bisa diekspresikan dengan kata-kata “saya mengerti…” atau “saya bisa merasakan apa yang kamu rasakan…”.

Kedua, dalami masalahnya. Bila ingin suportif, kita perlu belajar mendalami situasi yang dialami lawan bicara. Optimalkan keterampilan mendengar aktif Anda sampai benar-benar tahu dukungan apa yang bisa kita berikan pada mereka.

Ketiga, bimbing fisik dan emosinya. Dalam keadaan kritis, seseorang sering mengalami kebingungan bagaimana ia dapat menyelesaikan masalahnya. Kita bisa menawarkan bantuan spesifik yang kita pikir akan berguna baginya atau langsung bertanya, “Bagaimana saya dapat membantumu?” Tunjukkan bahwa kedua tangan Anda terbuka untuk apa pun yang ia butuhkan.

Keempat, ajak berbagi perspektif. Mereka yang sedang mengalami kesulitan, sering hanya memiliki pandangan yang terbatas karena sisi lainnya ditutupi rasa kalut, khawatir, maupun takut. Kita bisa membantu mereka melihat hal-hal lain dari permasalahan tersebut yang mungkin dapat memberikan titik terang. Namun, di sisi lain, kita juga harus hati-hati untuk tidak memaksakan pandangan kita yang belum tentu cocok bagi mereka.

Kelima, akui dan tunjukkan penghargaan. Untuk datang dan berhadapan dengan pemimpin saja, sudah membutuhkan keberanian dari anggota tim. Mereka datang karena percaya bahwa pimpinan akan bertindak adil. Di sinilah pemimpin harus berterima kasih atas kepercayaan mereka dan menambah sense of safety-nya.

Dengan masuknya kita ke babak baru pascapandemi, disrupsi tetap berlanjut. Namun, kita memiliki pilihan apakah akan menjadi pemimpin yang memberi beban kepada anak buah atau justru memperingan hati mereka? Bila hanya dengan memperbaiki cara bicara kita bisa membuat beban lebih ringan, bahkan suasana kerja lebih segar, mengapa tidak?

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Baca juga : Memengaruhi Orang Lain

Kontrol Kinerja

Batu Sandungan Pengembangan Pribadi