Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh adanya nepotisme yang sangat vulgar di sebuah perusahaan raksasa. Seorang pemangku jabatan secara terang-terangan mempraktikkan favoritisme terhadap seorang karyawan dengan memberikan fasilitas yang sebetulnya tidak berhak untuk dimilikinya. Bahkan, situasi ini sudah begitu ekstremnya sampai-sampai karyawan tersebut bisa memengaruhi nasib karier karyawan lain yang tidak disukainya, hanya karena ia adalah karyawan favorit sang pejabat.

Nepotisme tentunya tidak sebatas favoritisme. Kita sering juga menjumpai seseorang yang baru bergabung dengan sebuah organisasi, tiba-tiba sudah menduduki meja yang diperuntukkan bagi para atasan walaupun ia sebenarnya baru lulus dari bangku kuliah. Info beredar bahwa dia adalah keponakan direksi. Bagaimana dengan kompetensinya? Semua orang hanya mengangkat bahu dan tidak bisa memberi jawaban.

Di pojok lain, ada lagi si tukang cari muka yang selalu terlihat menemani atasan, selalu tahu kebutuhan atasan sampai memiliki stok benda-benda yang sering diperlukan oleh atasan. Kedekatan yang diupayakan ini akhirnya berbuntut kedekatan personal, bahkan mengalahkan personal assistant resmi atasan.

Sering juga kita menemui situasi yaitu karyawan dalam satu departemen datang dari satu almamater. Terasa sekali atmosfer kelompok yang senada dan eksklusivitas yang menjauhkan mereka yang tidak berlatar belakang sama.

Kita juga bisa saja diminta melayani pelanggan secara istimewa, kalau perlu melanggar kebijakan perusahaan hanya karena pelanggan itu mempunyai hubungan khusus dengan pimpinan kita. Tidakkah ini termasuk nepotisme yang merusak kesehatan organisasi?

Apakah karyawan lain sadar akan keadaan ini? Hampir seluruh jajaran perusahaan biasanya menyadarinya namun mereka tidak berkutik. Banyak alasan orang tidak bisa bergerak dan memprotes keadaan ini. Kebanyakan karyawan tidak berani memprotes karena khawatir bahwa kariernya akan terganggu, bahkan mandek. Ada memang yang dirangkul oleh pimpinannya dan mendapatkan keuntungan dalam situasi ini. Namun, apakah hal ini tidak berpengaruh pada semangat kerja? Dan, apakah hal ini tidak perlu dibenahi?

Nepotisme memang selalu ada

Nepotisme bukan hal baru dan bukan terjadi di negara kita saja. Istilah ini dipopulerkan pada pertengahan abad ke-17 ketika banyak rahib di gereja-gereja Romawi yang memberikan perhatian spesial kepada sanak saudaranya. Nepotisme berasal dari kata “nipote” yang artinya adalah keponakan. Ini mengacu pada individu yang biasanya adalah keponakan pastur atau pejabat gereja lain yang tiba-tiba ditempatkan di posisi empuk tanpa bukti kinerja sama sekali.

Kita juga perlu mengingat bahwa nepotisme ini memang mendarah daging dalam DNA manusia. Kita pasti lebih memberi kemudahan pada orang yang dekat dengan kita, mempunyai penilaian yang lebih positif terhadap orang yang kita sukai. Kita pun lebih percaya kepada orang yang berhubungan dekat dengan kita. Dalam organisasi, kita tidak bisa dengan gamblang menuduh bahwa favoritisme suatu kesalahan organisasi.

Hal ini sering menjadi sumber gunjingan, tetapi jarang sekali terjadi bahwa gunjingan ini kemudian dibeberkan secara nyata dan faktual. Jadi, apa masalahnya? Masalah timbul ketika mereka yang dicurigai individu-individu favorit tampak semakin tidak berprestasi namun mendapat imbalan yang lebih baik dari individu lain dalam organisasi.

Dampaknya terhadap budaya organisasi

Bila lebih peka, kita bisa merasakan bagaimana melemahnya semangat kerja dan semangat korps institusi ketika diterpa isu nepotisme ini. Pekerjaan terasa monoton, hubungan satu sama lain dangkal, tidak ada semangat untuk fight dan maju. Orang yang bisa mendapat keuntungan karena favoritisme akan tenang-tenang saja, sementara mereka yang tidak kebagian akan menderita dan menggerutu.

Kedua jenis individu yang berkumpul dalam kelompok inilah yang membuat budaya perusahaan tidak sehat. Tidak ada ukuran yang gamblang dan tidak ada transparansi dalam organisasi. Adakah cara untuk membuat batas-batas norma like and dislike ini?

Mematok etika

Teringat Bapak Tahiya yang pernah membimbing Bank Niaga dahulu. Para eksekutif memang sudah menangani bank secara profesional dan Bapak Tahiya hanya berfokus pada sikap karyawan. Beliau selalu menekankan rasa hormat ke pelanggan, di samping mementingkan rasa hormat karyawan satu sama lain. Semua karyawan diminta menandatangani selembar pakta integritas, yang di dalamnya terdapat larangan tindakan nepotisme lengkap dengan sangsinya.

Pakta integritas ini diperbaharui setiap 6 bulan sekali. Hasilnya terlihat pada sikap karyawan yang terasa lebih menghargai nasabah maupun sesama rekan kerja. Kepercayaan diri mereka dalam hubungan interpersonal pun sangat kuat. Karyawan meyakini: nothing speaks as loudly as results.

Karyawan yang baru masuk pun diarahkan untuk membuktikan kinerjanya dan diyakinkan bahwa kinerjalah yang menjamin karier mereka. Semua mengerti bahwa organisasi yang sehat pasti menghargai karyawannya secara fair dan berdasar pada prestasi masing-masing. Nah, bagaimana dengan kita-kita yang kebetulan pimpinannya tidak memikirkan dampak dan larangan nepotisme ini?

Lindungi diri dari dampak nepotisme

Kita bisa saja tergolong orang yang tidak mudah masuk dalam kategori favorit. Mungkin karena kita kurang giat bergaul ataupun pekerjaan yang tidak memberikan kemungkinan untuk mendapat kedekatan dengan pimpinan puncak. Sebagai individu yang pada dasarnya tetap harus melindungi diri dari subyektivitas yang beredar, kita perlu bersikap tetap obyektif. Kita tidak perlu terlarut dalam gunjingan yang beredar dan tetap melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.

Make deadlines, do not be late for work, do not complain and do not engage in silly gossip. Hal yang juga sangat penting adalah menyimpan dan mendokumentasi apa yang sudah kita capai dan kerjakan. Bila perlu buatlah laporan rutin ke atasan dengan tembusan ke SDM. Pada saatnya nanti, bila ada tantangan ataupun masalah, kita sudah siap dengan catatan-catatan prestasi.

Kita perlu menjaga emosi kita dan berusaha untuk tetap semangat dengan pekerjaan dan perusahaan tempat kita bekerja. Karena toh emosi negatif tidak akan mendongkrak kinerja, bukan?

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 14 Desember 2019.