Studi oleh Kaiser Family Foundation menemukan, sekitar 40 persen rakyat Amerika merasa pandemi semakin mengurangi kesehatan mental mereka. Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia menemukan, laju rata-rata mortalitas (kematian) di rumah akibat serangan jantung sebesar 8 persen sebelum pandemi, tetapi pada masa pandemi, angka ini dilaporkan meningkat hingga 22–23 persen.
Banyak perusahaan yang sudah membangun keyakinan bahwa meningkatkan mindfulness karyawan akan mengurangi stres dan meningkatkan fokus, kemampuan pengambilan keputusan, dan well-being secara utuh. Mindfulness akan memberikan individu ruang untuk berpikir dan merupakan landasan untuk mental agility, resilience, serta self awareness. Dengan demikian, mindfulness dapat mengurangi kelelahan emosional dan meningkatkan keterbukaan untuk ide-ide baru serta empati yang lebih baik.
Bila Anda memiliki pilihan antara perusahaan yang memikirkan well being karyawan dengan yang tidak, mana yang akan dipilih? Apalagi kalau kita yakin bahwa mindfulness meningkatkan komitmen kerja dan engagement. Masa depan dunia kerja tidak sekadar bekerja jarak jauh lagi, tetapi juga bagaimana menciptakan dunia kerja yang lebih menjadikan manusia sebagai fokus utama. Jadi, apa itu mindfulness?
Mengendalikan pikiran
Pekerja banyak yang terjebak pada rutinitas. Terkadang pada akhir hari, kita baru menyadari bahwa hal penting di agenda kita yang belum terselesaikan dan kita kesulitan mengingat-ingat apa yang sudah kita kerjakan sepanjang hari. Riset membuktikan, 47 persen dari waktu jaga kita biasanya digunakan untuk memikirkan hal di luar apa yang sedang kita kerjakan saat itu. Jadi, dapat dikatakan bahwa kita beroperasi secara autopilot.
Beberapa ahli mengatakan, kita saat ini sedang berada pada era attention economy saat fokus dan perhatian sama pentingnya dengan keterampilan teknis dan manajemen lainnya. Para eksekutif harus memiliki fokus dan perhatian untuk memilih informasi yang membludak agar dapat membuat keputusan yang tepat.
Albert Einstein mengatakan, “It’s not that I’m so smart, it’s just that i stay with problems longer.” Jadi, dengan fokus penuh berkutat pada masalah, membuat Einstein menemukan solusi-solusi yang tidak terpikirkan oleh orang lain. Sementara dalam kehidupan yang bergerak cepat saat ini, kita malah sering kali terjerumus dalam kebiasaan multitasking, yang pada jangka panjang sebenarnya membuat banyak masalah justru tidak terselesaikan dengan baik.
Kabar baiknya adalah kita dapat melatih otak kita untuk berfokus. Mulai dari saat bangun tidur. Para periset berpendapat bahwa kita meningkatkan hormon-hormon ketegangan beberapa menit setelah bangun pagi dengan memikirkan berbagai kegiatan yang akan kita alami di hari tersebut. Jadi, dengan berlatih memperhatikan dan berfokus pada napas, kita berlatih menjernihkan pikiran kita dari berbagai clutter yang bisa mengganggu proses berpikir kita. Yang kita lakukan hanya duduk, sadar, dan mengamati nafas masuk dan keluar tanpa penilaian apa pun juga.
Ada dua keterampilan yang kita hasilkan dari latihan ini, yaitu fokus dan kesadaran. Fokus adalah kemampuan untuk berkonsentrasi pada apa yang sedang kita lakukan pada saat tertentu. Kesadaran adalah kebijaksanaan untuk melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, bukan sebagai yang kita inginkan.
The goal of mindfulness isn’t to stop thinking, or to empty the mind. Mindfulness is about developing a sharp, clear mind.
Sadari adiksi media sosial
Pada masa ketika individu yang berkomunikasi bisa berada dalam jarak yang jauh, tidak jarang kita melakukannya sambil melakukan hal lain. Ada yang mengikuti 2–3 rapat sekaligus, ada yang berkomunikasi sambil update status media sosialnya juga.
Ada beberapa hal yang melatarbelakangi kebiasaan ini. Ada yang merasa bahwa ia dianggap tidak berkinerja bila tidak cepat menjawab pesan. Ada juga yang sudah begitu terpaku tidak bisa menghindari tatapannya ke ponsel.
Tanpa disadari, ia membangun kebiasaan multitasking yang tidak efektif. Akibatnya, bisa saja ada e-mail penting atau kesempatan baik yang terlewat, karena kehilangan fokus itu. Jadi, kita memang perlu membangun disiplin untuk mengalokasikan waktu dalam pengerjaan tugas dan berfokus pada apa pun yang sedang kita hadapi saat itu.
Ada waktu untuk mengecek e-mail, ada waktu untuk bermain media sosial, ada waktu untuk menambah keterampilan baru, ada waktu untuk keluarga, dan lainnya. Jangan bermain media sosial ketika sedang mengecek e-mail, jangan mengecek e-mail ketika sedang bersama keluarga, dan seterusnya.
Bila semua anggota rapat memiliki komitmen untuk berfokus pada materi yang sedang dibahas, tentunya durasi rapat pun dapat berlangsung lebih singkat dan mendapatkan hasil yang lebih baik. Ketimbang ada anggota-anggota rapat yang hanya tubuhnya ada di ruang rapat, sementara jiwanya entah di mana.
Pada sela-sela waktu, kita juga perlu melakukan brain break, sekadar berjalan-jalan menghirup udara luar selama 4–5 menit mengalihkan tatapan dari laptop dan memandang fokus di kejauhan. Ini dapat mengembalikan kesegaran otak yang membantu kita melihat alternatif solusi dari suatu masalah.
Kesadaran memilih
Melalui latihan kesadaran, kita pun akan semakin menyadari respons-respons yang biasanya terjadi begitu saja tanpa sempat kita pikirkan dan kemudian kita sesali. Kita akan semakin jelas melihat kemampuan kita untuk menghentikan respons autopilot kita dan memilih tindakan, kata-kata, yang memang kita sadari betul konsekuensinya.
Inilah yang akan membuat menjadi manusia yang benar-benar bebas karena eksistensi kita sebagai manusia ditandai dengan kebebasan memilih reaksi kita terhadap situasi-situasi yang dihadapi.
“Antara stimulus dan respons, ada ruang. Dalam ruang itu adalah kekuatan kita untuk memilih respons kita. Dalam respons kita, terletak pertumbuhan dan kebebasan kita.”
Viktor Frankl
Eileen Rachman & Emilia Jakob
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING
Baca juga : Bahasa Suportif, Pernyataan Positif