Namun, berapa banyak organisasi yang benar-benar meletakkan manusia sebagai fokus utamanya? Contohnya, Boeing yang sudah ternama dalam industri pesawat terbang. Kecelakaan pesawat B737 MAX 8 dua kali berturut-turut adalah bukti fokus perusahaan yang terpusat pada inovasi dan laba perusahaan saja.
Kata-kata “greed is good” pernah disampaikan oleh pimpinan perusahaan dalam salah satu pidatonya dan dijalankan dalam bisnis perusahaan sehari-hari. Perusahaan yang tadinya mengunggulkan keamanan berubah menjadi perusahaan yang mengutamakan keuntungan. Semua karyawan harus mengetahui nilai saham perusahaan di pasar modal. Pada tahun-tahun terakhir, kontrol kualitas bahkan hanya dipasrahkan kepada satu orang.
Itulah sebabnya terjadi kelalaian perusahaan dalam persyaratan simulasi dan pelatihan pilot yang akan menerbangkan pesawat tipe terbaru itu. Bukankah ini jauh dari sikap mendahulukan manusia?
Dalam dunia perhotelan, JW Marriott terkenal sebagai perusahaan yang mengutamakan manusia. Ketika dunia mengalami depresi, sang pemilik malah mempekerjakan dokter perusahaan untuk lebih menjaga kesehatan para karyawan. Mereka percaya bahwa karyawan yang merasa sehat akan melakukan pelayanan yang optimal sehingga meningkatkan kepuasan para tamunya.
Dengan adanya tren pengurangan manusia dalam dunia bisnis hospitality, Marriott bertahan terus dengan prinsip menjaga wellbeing karyawannya. Hal ini tidak sia-sia. Terbukti saat ini, mereka memiliki hotel di lebih dari 6.000 lokasi dan mencetak penjualan sebanyak 23 miliar dollar AS. Sampai sekarang, mereka hanya merekrut pemimpin-pemimpin yang juga menganut paham people centric.
Herb Kelleher yang berhasil membuat perusahaannya menjadi perusahaan nasional terbesar di Amerika dan menjadi legenda dalam keyakinannya terhadap manusia yang sekarang sering disebut sebagai the Southwest effect.
Konsep Kelleher sebagai founder dari perusahaan ini adalah kombinasi antara harga murah dan standar layanan tertinggi. Perusahaan ini tentunya pernah mengalami masa-masa sulit, tetapi mereka tidak pernah melakukan pemutusan hubungan kerja dengan karyawannya.
Alih-alih memecat karyawan, Kelleher lebih memilih menjual salah satu pesawatnya untuk mempertahankan modal perusahaan. Ia menyewa bandara yang lebih murah sampai mengurangi jam parkir pesawat dengan mengerahkan seluruh karyawan untuk mempercepat waktu boarding dan landing.
Kelleher selalu mengingatkan para eksekutif di perusahaannya bahwa karyawan adalah pelanggan utama mereka, dan pendekatan yang mengutamakan manusia ini memang menjadi senjata ampuh Southwest dalam persaingan. Karyawan tidak segan-segan berlari cepat membersihkan pesawat yang sedang parkir untuk memotong biaya parkir pesawat.
Without a heart its just a machine
Banyak perusahaan beriklan dengan biaya promosi yang tidak sedikit, berharap agar semakin banyak masyarakat yang menyukai perusahaannya, produk, ataupun layanannya. Namun, terkadang kita lupa bahwa customer experience-lah yang menentukan reputasi kita. Word of mouth pelanggan apalagi netizen pada era media sosial ini sangat signifikan. Inilah sebetulnya alat marketing yang sejati.
Berikut ini, beberapa hal yang dapat kita petik dari Southwest.
· Sejak masuk, setiap karyawan meyakini bahwa ia menduduki posisi penting. Ia harus memahami dengan jelas budaya organisasi dan mengimplementasikannya dalam pekerjaan sehari-hari karena budaya terbentuk dari tingkah laku setiap individu dalam organisasi. Semua individu perlu menjunjung tinggi budaya yang dikehendaki dengan penuh kesadaran.
· Menjual budaya organisasi demi kemajuan bisnis bukan hal yang mudah. Kita perlu menampilkan budaya yang autentik, jujur, tidak dikemas dengan kosmetik, apalagi sekadar lip service manajemen. Dengan demikian, karyawan akan memiliki ownership budaya secara all out dan berperilaku sesuai dengan tuntutannya. Hal-hal baik yang tangible, seperti penggunaan seragam sampai sesuatu yang intangible, semisal seperti kebiasaan, pola pikir, dan cara-cara berkomunikasi perlu menggambarkan prinsip perusahaan.
· Karena budaya harus dijaga dan dijunjung tinggi, perusahaan perlu berinvestasi pada komunikasi internal. Komunikasi bukanlah sekadar penyebaran informasi, melainkan harus berjalan dua arah dan selalu terarah pada solusi. Pemimpin juga harus mendapat umpan balik. Hubungan tatap muka manajemen puncak dengan karyawan dari tingkatan paling bawah perlu dijaga dengan pertemuan rutin yang dimulai sejak awal karyawan masuk kerja.
· Dalam situasi krisis, komunikasi menjadi semakin penting. Selama pandemi, manajemen puncak Southwest mengelola komunikasi dua mingguan dengan seluruh karyawan untuk berbicara sejujur-jujurnya mengenai situasi yang sebenarnya.
· Mendorong karyawan untuk menampilkan jati dirinya, bukan sekadar robot tanpa hati. Hanya dengan kekuatan pribadi masing-masing, karyawan bisa bersikap lebih selfless dalam melayani pelanggan. Karyawan yang berbuat lebih, berkontribusi lebih, patut dihargai. Penghargaan tidak selalu berupa material, tetapi harus sesuatu yang memang bermakna baginya sehingga ia merasa benar-benar dihargai.
· Fokus ke kemanusiaan berarti juga menghargai keberbedaan dan menggalakkan inklusi terhadap semua golongan individu. Seorang eksekutif Southwest menyebarkan semangat, “Diversity is asking people to the party, while inclusion is asking them to dance.” Setiap karyawan perlu menanamkan sikap menghargai individu lain yang berbeda ini.
Selain itu, kita perlu melakukan monitor dan evaluasi berkala untuk memastikan bahwa implementasi dari budaya people centric ini memang benar-benar dijalankan secara konsisten dari level terbawah sampai tertinggi sekalipun.
“Budaya adalah 40 persen dari keseluruhan pengalaman karyawan.” Jacob Morgan
Eileen Rachman & Emilia Jakob
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING
Baca juga : Kamu Baik-baik Saja?