Kita pernah mendengar seorang pilot Singapore Airlines yang hidup sejahtera, tiba-tiba tergerak untuk berhenti bekerja dan kemudian membuka rumah yatim di Timor Timur. Ia berusaha mencukupi hidup bersama di rumah yatim tersebut dan bahkan mengembangkan pertanian di daerah yang tadinya gersang. Seluruh keluarga, termasuk anak-anaknya, kecuali yang sudah harus berkuliah di tempat lain, bekerja dan hidup bersama di lokasi itu.

Sementara di tempat lain, ada yang melakukan korupsi triliunan rupiah. Entah bagaimana ia bisa menghabiskan uangnya. Banyak pula orang yang mendekatinya dengan penuh kekaguman, lupa bahwa harta bendanya itu diperoleh dengan cara yang tidak halal. Walaupun kepala keluarga dipenjara, anggota keluarga lain yang sudah biasa bergelimang harta, tetap menjalankan hidup seperti biasa.

Ada lagi orang yang pada momen-momen tertentu membagikan uang kepada orang yang kurang mampu sehingga banyak orang berdesakan di depan rumahnya. Tidak sedikit dari mereka yang kemudian membuat rekaman video dan memamerkannya di media sosial.

Terkadang kita jadi bertanya-tanya, buat apa seseorang melakukan sesuatu. Mengapa ia melakukannya? Apa tujuannya? Demi apa ia melakukan hal itu? Mengapa ada orang yang sampai demikian berkorban bagi orang lain? Sebaliknya, mengapa ada orang yang menumpuk kekayaan lalu tanpa perasaan pamer kemurahan hatinya?

Pertanyaan mengenai mengapa orang melakukan sesuatu, apa latar belakang perbuatannya dan demi apa ia melakukannya sangat menarik untuk ditelisik. Namun, tidak mudah menemukan jawabannya. Bisa karena ada yang tidak mau pusing memikirkannya, bisa juga karena memang memiliki prinsip untuk menjalankan hidup dengan berespons terhadap apa yang ada di depan mata saja.

Bisa saja dalam kehidupan sehari-hari kita merasakan kehampaan. Hubungan dengan pasangan ataupun relasi pertemanan terasa membosankan, dangkal dan tidak menantang. Bisa saja kita yang tadinya bersemangat mengikuti kuliah tertentu, tiba-tiba merasa bahwa banyak mata kuliah yang membosankan dan mulai mempertanyakan arah karier kita. Kegalauan ini juga bisa dirasakan ketika kita bekerja untuk perusahaan besar, yang mempunyai nama besar pula. Ada perasaan bahwa kontribusi kita kurang berarti, ibarat menabur garam ke laut.

Ini adalah kenyataan hidup. Kita hidup di dunia ini untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Sepanjang hidup kita melakukan sesuatu. Ada yang penting dan ada pula yang tidak terlalu penting. Hal-hal yang penting ini memberi makna pada hidup kita, membuat kita merasa berarti bagi orang lain dan secara tidak langsung membuahkan kebahagiaan.

Bila suatu malam memandang langit dan melihat bintang-bintang bertaburan, kita menyadari betapa luasnya alam semesta dan betapa kecilnya diri kita. Saat seperti itu membuat kita bertanya-tanya: apa yang kita cari dalam hidup ini? Yang jelas, apa pun jawabannya, arti hidup kita adalah arti yang kita berikan kepada kehidupan ini.

Beri arti kepada hidup kita sendiri

Untuk memahami dan menghayati makna hidup, kita bisa memulai dengan tiga pertanyaan besar berikut ini.

Pertama, apa yang paling penting dalam hidup saya selain Allah? Kita perlu memaksa diri untuk menjawab pertanyaan ini berkali-kali dan setiap kali semakin mendalam. Bagaimana kita memahami masalah terbesar yang kita dan dunia hadapi saat ini, apa nilai terpenting dalam hidup kita yang memengaruhi cara kita mengatasi permasalahan-permasalahan hidup tersebut, serta seberapa dekat gaya hidup kita sejalan dengan nilai-nilai yang kita anut.

Pertanyaan-pertanyaan ini sulit terjawab, bahkan mungkin perlu kita pertanyakan sepanjang hidup kita. Jawabannya mungkin bisa sedikit terbuka bila kita beralih pada pertanyaan kedua: keterampilan dan kekuatan apa yang bisa saya sumbangkan pada orang lain? Bila kita ingin membuat dunia tempat kita hidup ini lebih baik, kita perlu mengontribusikan sesuatu yang kita kuasai kepada lingkungan sekitar. Apakah kita pintar mengajar atau kita seorang yang kreatif analitis? Apa saja keahlian yang kita miliki yang dapat bermanfaat bagi hidup orang lain?

Dua pertanyaan di atas sebenarnya akan mengarahkan kita pada pertanyaan terakhir, akan jadi apa saya nanti? Hidup ini memberikan banyak pilihan. Apakah kita akan menerima hidup ini apa adanya? Bisakah kita berbuat lebih baik dan membuat hidup kita berarti tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga orang lain?

Laura King, seorang periset kenamaan mengungkapkan bahwa hidup akan berarti bila kita mempunyai purpose, sasaran dan arah hidup; significance, kadar kekuatan dari keyakinan seseorang terhadap nilai, harga diri dan rasa bergunanya bagi orang lain, serta coherence, perasaan bahwa individu menjalani hidup yang selaras dan utuh.

Dalam bukunya Man’s Search for Meaning, psikiater dan neurolog Viktor Frankl mengungkapkan penemuannya bahwa individu yang bertahan dalam kamp konsentrasi Nazi, bukanlah mereka yang kuat secara fisik, tetapi mereka yang mempertahankan sense of control-nya terhadap lingkungan. Mereka biasanya masih sempat menghibur orang lain, bahkan bisa memberikan potongan roti terakhirnya kepada orang lain.

Frankl mengatakan bahwa orang-orang ini masih mempertahankan kebebasannya sampai titik darah penghabisan, yaitu kebebasan dalam bersikap dan memilih cara pikir serta memutuskan sendiri bagaimana reaksinya terhadap apa yang terjadi dalam hidupnya. “Is not what we expect from life, but rather what life expects from us,” kata Frankl.

Tiga cara praktis mengejawantahkan “arti hidup”

  1. Dalam kita membangun dan menikmati hubungan yang autentik, baik dengan orang lain maupun lingkungan di sekitar kita.
  2. Dalam upaya memahami orang lain dan hal lain di lingkungan, kita perlu memiliki ketulusan sehingga kita tidak terbawa kebingungan atau pertanyaan yang tidak terjawab.
  3. Dalam pelayanan, kita bisa meningkatkan kualitas hidup orang banyak, apakah itu melalui profesi utama kita, pekerjaan sampingan, ataupun dalam komunitas yang kita ikuti.

Apa pun yang kita lakukan, melalui karya dan menjadi bermanfaat bagi orang lain, akan membawa kebahagiaan dan membuat hidup terasa bermakna.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 8 Februari 2020.