Sebulan terakhir, kita terganggu oleh video viral penganiayaan seorang anak di bawah umur. Semua bertanya-tanya, ke mana nurani si penganiaya itu. Kemudian, kejadian ini dikaitkan dengan kecurigaan masyarakat tentang cara orangtuanya memperoleh harta kekayaan.

Sikap masyarakat yang terganggu ini menular ke lembaga-lembaga pemerintah. Menteri marah besar, merasa kecolongan. Apalagi ketika di kalangan masyarakat muncul ketidakpercayaan atas kinerja lembaga pemungut pajak ini. Orangtua pelaku diperiksa.

Pernyataan orangtua kepada wartawan sama sekali tidak mengandung rasa menyesal, melainkan meminta belas kasihan. Tiba-tiba muncul berita tentang kasus yang sama lagi di departemen lain. Pamer harta oleh seorang ASN yang penghasilannya tidak mungkin mengonsumsi sebegitu  banyak. Rasanya, berita yang trending di media sosial ini masih akan berlanjut.

Pertanyaannya, apakah ini merupakan tontonan yang mengasyikkan? Apakah cukup hanya merasa prihatin? Apakah gejala ini harus kita anggap lumrah? Apa yang terjadi pada hati nurani oknum tersebut? Mungkinkah kejadian ini terjadi pada kebanyakan pegawai? Bagaimana dengan nurani kita sendiri? Apakah kita sudah menjaganya dengan baik agar tetap peka atau semakin tipis karena sering diabaikan?

Kita semua mempunyai sinyal-sinyal moral yang tumbuh sejak masa kecil. Agama dan nilai-nilai yang diajarkan orangtua dan masyarakat akan memengaruhi sinyal moral kita. Sinyal-sinyal ini memagari kita untuk membuat keputusan-keputusan moral ketika muncul dilema yang  mengharuskan kita memilih antara baik dan buruk. Inilah yang disebut suara nurani.

Suara nurani

Melemahnya suara hati ini tidak terjadi dalam waktu semalam. Kesalahan-kesalahan kecil yang dianggap sepele bisa jadi berimbas pada kekuatan hati nurani. Ketika kita melanggar aturan lalu lintas, kita ingin persoalannya diselesaikan tanpa ribet.

Kita juga melihat orang lain melakukan hal yang sama sehingga kita semakin merasa bahwa cara penyelesaian seperti ini adalah lumrah. Apalagi jika ada pengalaman orang lain yang ingin menyelesaikan masalah dengan cara benar justru semakin dipersulit.

Dilema yang kita hadapi tentunya tidak sekadar hitam-putih. Begitu banyak area abu-abu yang membuat kita sulit mengambil keputusan secara bulat. Langkah mana yang harus dipilih? Risiko apa yang harus ditanggung pada kemudian hari? Terkadang ada keputusan-keputusan yang akan menghantui sepanjang hidup kita.

Dalam ranah publik diskusi-diskusi mengenai apa yang benar dan yang salah juga banyak terjadi. Di sinilah kita perlu mempertajam kesadaran nurani kita. Jangan sampai apa yang benar menjadi salah, apa yang salah bisa jadi benar, tanpa ada niat untuk mengoreksi. Di sinilah pentingnya dialog mengenai etika dan moral perlu dilakukan terus-menerus untuk meningkatkan kekuatan dan ketajaman suara hati kita.

Masyarakat kita terdiri atas berbagai latar belakang, nilai, dan kepentingan. Namun, kesadaran tentang apa yang benar dan yang salah ada dalam hati setiap orang dan berlaku universal. Mengambil sesuatu yang bukan milik kita, menyakiti makhluk lain dengan sengaja, pastinya dianggap perbuatan yang harus dihindari dalam ajaran agama dan suku budaya apa pun. Menolong mereka yang kesulitan, berbagi dengan yang membutuhkan adalah sikap yang dinilai baik oleh seluruh manusia.

Mencegah matinya nurani

Semenjak kecil, pelajaran moral Pancasila, nilai-nilai luhur dari pendidikan agama, dimaksudkan untuk memupuk dan mengembangkan suara nurani kita agar menjadi kompas dalam mengambil keputusan-keputusan yang tepat di tengah dilema moral dalam kehidupan kita.

Walaupun semua orang tahu bahwa pengembangan nurani dimulai dari rumah, sebagai pemimpin kita tidak boleh mengabaikan pengembangan nurani para bawahan kita. Apakah mereka dapat menjalankan aturan organisasi yang ada? Apakah mereka peduli pada kesulitan orang lain? Apakah mereka resah bila melakukan kesalahan? Apakah mereka memiliki kontrol diri yang kuat?

Kita harus mengingat bahwa nurani adalah fondasi dari karakter. Para pemimpin tetap harus memberi contoh dan praktik mengenai kebajikan, kejujuran, sikap adil, dan bertanggung jawab.

Atasan juga perlu mengamati keraguan bawahan dan berdialog saat menghadapi situasi-situasi dilematis maupun konflik untuk membantu mereka melakukan interpretasi yang tepat terhadap situasi yang terjadi. Penerapan hukuman secara hitam-putih tanpa dialog akan menghalangi pengembangan nurani anak buah. Suara nurani sangat halus, kita pun harus menanganinya secara hati-hati.

Banyak organisasi memberikan panduan yang jelas kepada para insan di dalamnya mengenai perilaku-perilaku yang diharapkan untuk muncul dalam kehidupan berorganisasi. Komitmen untuk menjalankan panduan ini tentunya perlu didorong dalam dialog antara atasan dan bawahan sehingga karyawan memahami nilai-nilai luhur di balik panduan tersebut. Pemahaman itu dapat mendorong mereka menjalankan panduan dengan sepenuh hati karena menyadari bahwa hal itu tidak sekadar untuk memenuhi tuntutan organisasi, tetapi juga memang baik bagi diri pribadinya.

Suara nurani sebetulnya tidak ada di permukaan kesadaran. Yang ada adalah rasa bersalah, khawatir, atau justru kelegaan setelah kita mengambil keputusan yang tepat dalam situasi yang dilematis.

Semakin sering kita mengambil keputusan yang sejalan dengan nurani kita, semakin kuat suara itu berbicara dalam diri kita. Kita pun akan semakin ringan dalam membuat keputusan yang sejalan dengannya. Semakin sering kita mengabaikannya dan mengambil keputusan yang berlawanan dengannya, semakin melemahlah ia sampai bisa jadi kita tidak lagi menyadari keberadaannya.

Mereka yang menjaga nuraninya tetap sehat dengan mengambil pilihan-pilihan yang sesuai dengan suara hatinya, akan semakin terbebas dari rasa bersalah akibat keputusan yang tidak tepat. Tidur pun menjadi lebih nyenyak penuh damai karena telah menjalani hidup dengan hati yang lega tanpa penyesalan.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Baca juga : Karakteristik SDM Indonesia

Kerendahan Hati Pemimpin

Berpikir Strate