Memimpin suatu tim, organisasi, ataupun perusahaan dalam krisis, seperti menjaga telur di ujung tanduk. Krisis selalu terdiri atas dua fase. Pertama, fase genting atau darurat yang membutuhkan pemimpin untuk menstabilkan situasi dan berkejaran dengan waktu. Kedua, fase adaptif, ketika penyebab krisis dan dampak-dampaknya perlu dikelola dan diatur agar dapat beradaptasi dengan situasi baru. Orang sering menyebutnya sebagai “the new normal”.

Fase adaptif ini bisa mengecoh ketika kecemasan sudah berkurang, padahal sebenarnya kita harus tetap siaga terhadap kemungkinan krisis berikutnya. Para follower berharap ada titik terang yang ditunjukkan oleh pemimpinnya. Padahal, pemimpin pun tidak bisa memberikan solusi yang jelas karena memang kondisi ini pun baru bagi mereka.

Pemimpin berusaha meyakinkan setiap individu untuk seadaptif mungkin dengan keadaan, tetapi banyak yang berharap ada tips and trick jitu, padahal yang harus berubah adalah mindset masing-masing individu. Twists and turns are the only certainty. Hal ini tak jarang membuat pemimpin merasa kecewa dan kelelahan. Namun, justru di sinilah peran pemimpin sangat penting.

Tiarap atau tekan “reset”?

Ada reaksi yang umum dalam menghadapi krisis. Banyak pemimpin yang memutuskan untuk menidurkan operasi perusahaan. Biasanya mereka berpikir bahwa krisis ini sementara dan situasi akan kembali normal. Mereka akan segera memperketat kontrol, memotong biaya, ataupun melakukan restrukturisasi organisasi agar lebih efisien.

Yang ada di benaknya adalah pengurangan beban akan mengurangi stres, frustrasi, dan ketakutan. Mereka berfokus untuk mengamankan hal-hal yang bisa diselamatkan selagi badai mengamuk. Pengembangan yang membutuhkan investasi untuk sementara ditunda terlebih dulu sampai keadaan aman.

Hal itu sangat bisa dipahami karena secara alamiah kita memang cenderung melakukan tindakan protektif ketika ancaman datang sambil berharap matahari akan cerah kembali. Namun, realitas yang terjadi, masa lalu ternyata tidak kunjung kembali, bahkan perubahan bergerak seperti tanpa kendali.

Hasil penelitian mengatakan bahwa hanya 20 persen pasien pasca-serangan jantung yang berhenti merokok, mengubah cara makan, dan berolahraga. Artinya, setelah krisis kebiasaan lama tetap dipertahankan. Mengapa hal ini terjadi? Mereka lupa pada kecemasan ketika menghadapi krisis.

Individu dengan adaptive leadership tidak akan membuat kesalahan ini. Orang yang adaptif tidak akan tiarap terus-menerus. Mereka langsung bangun, sambil berupaya menemukan kesempatan apa yang bisa diraih saat itu, seperti seolah-olah menekan tombol reset pada alat elektronik yang membuat sistem dengan sendirinya memperbaiki diri.

Turbulensi yang dialami dianggap sebagai momentum untuk meninggalkan masa lalu dan bersiap menghadapi masa depan. Dalam proses adaptasinya, mereka mengubah “rule of the games”-nya, membenahi bagian-bagian organisasi yang terasa usang, dan melakukan definisi ulang cara kerja.

Frustrasi akan tetap ada, terutama pada individu yang terdampak perubahan drastis. Mereka harus berkembang, mengembangkan kompetensi baru, dan menyesuaikan diri. Di sini dibutuhkan empati pemimpin terhadap anggota tim yang memang mengalami guncangan. Dalam konteks ini, leadership is an improvisational and experimental art.

Sekarang, eksekutif selalu mempunyai tuntutan ganda. Mereka harus mengeksekusi operasi untuk memenuhi tuntutan saat ini, sambil mengembangkan praktik-praktik menyambut tuntutan masa depan.

Perusahaan seperti Best Buy di Amerika melakukan riset dan menyadari bahwa ternyata pelanggannya tidak selalu bapak-bapak yang berbelanja perkakas saja. Mereka kemudian menggeser fokus menjadi perusahaan yang menyediakan kebutuhan rumah tangga. Dengan display yang nyaman dan cantik serta servis yang lebih ramah dan informatif, ibu-ibu pun menjadi pelanggan baru Best Buy.

Merangkul disequilibrium

Dalam keadaan disequilibrium, menyeimbangkan organisasi adalah pekerjaan yang rumit. Kita seolah tidak pernah boleh lepas dari termostat. Suhu terlalu dingin membuat orang merasa terlalu nyaman dan enggan bergerak. Sebaliknya bila terlalu panas, orang akan merasa resah. Dalam keadaan turbulensi seperti ini, konflik rentan terjadi. Di sini, pemimpin perlu melakukan penyeimbangan tanpa melibatkan emosi dirinya. Dia perlu bertindak politis sekaligus analitis. Ia juga perlu membangun komunikasi yang bernada pemberani dengan satu tujuan yang gamblang.

Merawat diri sendiri

Menjadi manusia yang adaptif bukan sekadar menyeimbangkan tekanan di dalam dan luar organisasi. Kita juga perlu mengontrol pikiran dan emosi kita. Batas kesabaran, kekuatan fisik, maupun mental kita teruji di sini. Kita tidak boleh lupa memikirkan diri sendiri, apalagi sampai diri sendiri dikorbankan.

Pekerjaan memang penting, tetapi tidak boleh sampai merusak keseimbangan hidup kita sendiri. Melalui perkerjaan ini, kita juga perlu mengembangkan hubungan kita dengan anggota tim dan lingkungan sosial yang lebih besar. Dengan bersikap jujur secara emosional, kita juga dapat mengalibrasi apa yang dirasakan oleh anggota tim kita sehingga sambung rasa pun mulai terbangun. Selain dengan anggota tim, kita perlu menjaga hubungan dengan beberapa orang di luar lingkaran pekerjaan yang dapat membantu kita untuk memahami situasi dari perspektif yang berbeda.

Terakhir, tetapi bisa jadi yang paling penting, kita perlu terus mengembangkan sikap optimistis, tetapi realistis. Luangkan waktu untuk berefleksi terhadap pengalaman kita dan bagaimana reaksi kita selama ini terhadap pengalaman tersebut; apakah sudah sesuai dengan nilai-nilai diri kita dan membuat kita merasa bangga? Atau, kita harus lebih memperbaiki cara kita bereaksi dan bersikap dalam situasi-situasi krisis ini? In every crisis lies the seed of opportunity, kata pepatah China.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Baca juga : Krisis Pertemanan di Tempat Kerja

Kekuatan Alignment