Dalam berbagai curhatan di media sosial, kita kadang melihat keluhan-keluhan mengenai atasan yang control freak, yang tidak percaya kepada anggota timnya, sehingga segala sesuatu harus ditanganinya sendiri. Orang menyebutnya micro management.

Bawahan bisa jadi merasa tidak dapat berkembang meskipun ada juga yang menyerah dan membiarkan atasannya yang berpikir, memutuskan, dan mengemban tanggung jawab penuh, tanpa menyadari hal tersebut merugikan diri sendiri karena membuatnya tidak berkembang. Ini berarti suksesi tidak berjalan mulus, organisasi kesulitan untuk menumbuhkan pemimpin-pemimpin baru pada masa mendatang.

Sebaliknya, kita mungkin melihat adanya pemimpin yang berada di posisinya, tetapi secara praktis tidak banyak terlibat dengan timnya. Bisa saja mereka hadir di setiap rapat, mempertanyakan beberapa laporan, data, atau tindakan tetapi arah, keputusan, maupun perbaikan kinerja tidak digalakkan sehingga kurang berdampak positif pada direktorat yang dipimpinnya.

Bila beruntung, divisinya bisa berjalan terus tanpa kendala atau di bawah kepemimpinan autopilot. Namun, motivasi, pengembangan dan perbaikan tidak signifikan. Akibatnya, banyak anak buah yang merasa bahwa atasan tidak memahami apa yang mereka kerjakan atau dengan kepemimpinan autopilot. Di samping, ada juga atasan yang tidak segan-segan mengakui bahwa prestasi anak buahnya adalah hasil dari pengarahan dan bimbingannya.

Ketika pemimpin tidak memahami dengan baik sasaran kinerja dari masing-masing individu maupun antarbagian di bawahnya, mereka akan kesulitan menggarap kolaborasi dalam tim kerjanya. Padahal, kolaborasi bukanlah sekadar sumtotal kinerja para individu di dalamnya.

Dalam kepemimpinan autopilot seperti itu, koordinasi sangatlah minim, keputusan yang ada mengambang tanpa tujuan yang jelas. Di sinilah biasanya muncul kesempatan untuk “berpolitik”, seperti upaya mencari muka atau penyebaran gosip yang tidak jelas.

Mungkinkah bawahan bisa memiliki motivasi tinggi untuk bekerja dalam kondisi seperti itu? Dalam beberapa survei mengenai kepuasan kerja, ditemukan bahwa gaji yang tinggi ternyata bukan prioritas utama seseorang dalam meningkatkan motivasinya walaupun sering dijadikan alasan untuk berpindah pekerjaan.

Sikap pemimpinlah yang sebenarnya sering menjadi faktor terbesar seseorang untuk meninggalkan sebuah organisasi. “People leaves managers, not companies,” kata Marcus Buckingham, penulis buku-buku manajemen.

Pemimpin yang vakum

Pada banyak kasus, pemimpin yang vakum seperti ini terbiasa bekerja sendiri. Mereka berfokus pada dirinya sendiri, dengan keterampilan teknis yang dikuasainya.

Keterampilan teknis yang dimilikinya bisa jadi jauh di atas anak buahnya sehingga ia menjadi sulit untuk mengembangkan rasa percaya pada bawahannya. Pemimpin ini berfokus pada tugas dan targetnya sendiri dan membiarkan bawahan mengerjakan tugas-tugas lebih mudah, tanpa berpikir untuk mengembangkan keterampilan bawahannya.

Tak jarang pemimpin seperti ini berpikir bahwa tugas mengembangkan keterampilan individu merupakan tanggung jawab masing-masing individu. Mereka tidak sadar bahwa tuntutan peran seorang pemimpin tidak sekadar penguasaan keterampilan teknis.

Organisasi pun sering tidak menyadari akibat dari pemimpin disfungsional seperti ini karena umumnya pemimpin-pemimpin ini memiliki prestasi yang baik sebagai kontributor individual, sehingga mereka pun biasanya akan disegani organisasi. Namun, kondisi dengan pemimpin-pemimpin disfungsional ini dapat berakibat fatal bagi organisasi karena menjadi semacam silent killer dalam organisasi.

Apa bahaya dari kepemimpinan vakum ini untuk jangka panjang? Bayangkan, sebuah orkestra yang terdiri atas pemain-pemain musik terbaik yang bermain musik dengan egonya masing-masing, sementara konduktornya pun sibuk dengan musiknya sendiri.

Tidakkah para pemain itu tidak merasa bahagia dan bangga dengan musik yang mereka hasilkan? Pemain-pemain berbakat tentunya akan segera pergi mencari orkestra lain yang dapat membantu mereka menghasilkan simfoni terbaik.

Absenteeism mengakibatkan alienasi

Survei pada 2015 terhadap 1.000 karyawan menunjukkan bahwa 8 keluhan terbesar para karyawan adalah tingkah laku pemimpin yang absen. Bukan pemimpin yang bullying atau menekan, melainkan justru yang tidak hadir bersama dengan anggota timnya. Persentase 8 keluhan itu yakni sebagai berikut.

  • 63 persen mengatakan pemimpin tidak tahu dan tidak bisa mengakui apa yang telah dicapai bawahan.
  • 57 persen pemimpin yang tidak memberi arahan yang jelas.
  • 52 persen pemimpin yang tidak mempunyai waktu bertemu ataupun bertukar pikiran dengan bawahan.
  • 51 persen pemimpin yang enggan berbicara dengan bawahan.
  • 47 persen pemimpin yang mengambil ide bawahan dan mengaku bahwa itu idenya.
  • 39 persen pemimpin yang tidak pernah memberi kritik membangun.
  • 36 persen pemimpin yang tidak mengingat nama bawahan.
  • 23 persen pemimpin yang tidak pernah menanyakan kehidupan lain di luar pekerjaan.

Ternyata rasa tidak bahagia dari bawahan dengan pemimpin seperti ini lebih besar dibandingkan dengan atasan yang diktator, keras, dan otoriter. Mereka merasa teralienasi dan kondisi ini dapat menurunkan motivasi para karyawan. Tingkat stres pun cenderung meningkat dalam kondisi sikut-menyikut antar-bawahan akibat tidak adanya komando yang nyata.

Sulitnya, pemimpin yang absen seperti ini jarang merasa bahwa kepemimpinannya harus diperbaiki. Apalagi mengingat mereka biasanya adalah bintang dalam keterampilan teknis.

Untuk itu, langkah pertama yang perlu dibangun adalah menumbuhkan self awareness mereka meskipun tidak mudah. Organisasi juga perlu menyadari bagaimana “kerusakan” yang timbul akibat kepemimpinan yang seperti ini lebih besar daripada kontribusi yang dapat mereka berikan.

“Sebelum jadi pemimpin, kesuksesan adalah tentang mendewasakan dan mengembangkan diri. Ketika Anda sudah jadi pemimpin, kesuksesan adalah tentang mendewasakan dan mengembangkan orang lain.” Jack Welch

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Baca juga : Pemimpin Modern

Budaya Memotivasi

Healing dan Growing