Banyak pemimpin yang sukses pada zamannya, saat ini, merasa bahwa mereka sulit mengendalikan bawahan-bawahan muda. Selain konteks pemikiran yang berbeda, cara pandang serta keterampilan anak muda sekarang pun berbeda. Banyak yang menyalahkan disrupsi teknologi, yang membuat mereka merasa “gaptek” dan menyalahkan kesenjangan ini sebagai penyebab kesulitan kepemimpinannya.

Dalam kondisi  bekerja jarak jauh ataupun hibrida, mempertahankan konsep kepemimpinan tradisional rasanya semakin tidak efektif. Dengan nilai-nilai bekerja para milenial, bahkan gen Z sekarang yang sudah berbeda, employee experience adalah salah satu hal yang harus diperhatikan oleh manajemen untuk bisa tetap menjaga produktivitas maupun retensi karyawan.

Pemimpin perlu memahami dan mempelajari apa yang membuat bawahan bahagia. Sepandai-pandainya pemimpin, bila ia tidak menyadari bahwa ia perlu belajar menghayati apa yang dirasakan, diharapkan, dan diidamkan bawahannya, suasana bisa jadi mengarah pada keengganan, ketakutan, sampai disengagement. Pada akhirnya berdampak pada berkurangnya produktivitas.

Tradisional versus modern

Gaya kepemimpinan tradisional yang berorientasi pada power untuk mengontrol, mendisiplinkan, ataupun menjadi pusat pengambilan keputusan yang menentukan segala sesuatu di organisasi, terbukti mendorong organisasi kepada kemunduran.

Pemimpin tradisional tidak terbiasa membagikan wewenangnya ke pihak lain, bahkan pemimpin lain yang ditunjuknya sendiri sekalipun. Mereka memanfaatkan power posisi sebagai sumber kekuatannya.

Para milenial dan generasi lain di bawahnya dapat merasakan betapa toksiknya organisasi ini ketika pemikiran-pemikiran berbeda dibungkam dengan komentar pedas dari pimpinan yang mengakibatkan keengganan para karyawan untuk memberikan masukan dalam sesi brainstorming.

Survey OC Tanner yang dituangkan dalam 2020 Global Culture Report menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan tradisional cenderung menurunkan revenue perusahaan hingga 84 persen. Sementara itu, kepemimpinan modern akan menambah 81 persen peluang meningkatkan revenue perusahaan.

Kepemimpinan tradisional juga terlihat menurunkan employee experience hingga 43 persen, well being hingga 13 persen, sedangkan kepemimpinan modern meningkatkan employee experience hingga 55 persen dan well being hingga 66 persen.

Jumlah pemimpin modern saat ini memang masih belum banyak, tetapi dipercaya terus bertambah. Laporan tahun 2021, survei terhadap 40.000 karyawan dan pimpinan di 20 negara menunjukkan ada 17 persen pemimpin yang memiliki pola pikir dan perilaku sebagai pemimpin yang modern.

Survei ini juga menemukan bahwa gaya kepemimpinan ini sangat erat kaitannya dengan budaya perusahaan. Dari 17 persen pemimpin dengan pola pikir modern ini, 81 persen di antaranya bekerja dalam organisasi yang seluruh karyawannya memandang diri mereka sendiri adalah seorang pemimpin.

Kepemimpinan modern berarti berani transparan, membagi informasi kepada seluruh jajaran di organisasi, sehingga menciptakan level rasa percaya yang lebih tinggi dan meningkatkan rasa kepemilikan serta sense of inclusion individu dalam organisasi tersebut. Pemimpin meluangkan waktu untuk memahami tujuan karier setiap individu di bawahnya, kesejahteraan mereka, serta menghargai kontribusi dan pencapaian seluruh anggota tim.

Mengganti cara pendekatan

Bila pada masa lalu micro managing masih dimaafkan dan pemimpin yang kuat dalam mengontrol malah mendapat apresiasi, saat ini, generasi muda justru menuntut untuk turut memiliki sense of control yang membuat mereka merasa terlibat dan menjadi bermakna.

Oleh karena itu, pemimpin yang modern berusaha agar anggota timnya memahami bagaimana kontribusi mereka akan turut berperan terhadap kesuksesan organisasi. Pemimpin modern “menjual” visi mereka tentang masa depan, ke mana organisasi akan bergerak, mendorong para anggota tim untuk berbagi mengenai mimpi mereka akan masa depan, dan menyinkronisasi agar visi pemimpin dan mimpi individu dapat berjalan beriringan.

Pemimpin modern tidak lagi mengatur bawahannya. Ia hanya mengarahkan, memberikan gambaran tentang hasil yang diharapkan, lalu menyingkir memberi jalan kepada masing-masing individu untuk berkreasi sesuai dengan gaya mereka sendiri.

Mereka menghargai perbedaan-perbedaan individu dan mendorong agar tim dapat memanfaatkan perbedaan tersebut untuk berkolaborasi meraih kesuksesan. Untuk dapat berkolaborasi secara optimal, tugas pemimpin modern adalah membekali dan mendorong anggota timnya untuk terus belajar mengembangkan kompetensi yang dimiliki agar mereka dapat bersinergi bersama mencapai hasil yang luar biasa.

Karakteristik unik dari pemimpin modern adalah sikap belajar. Tentunya penyerapan seorang pemimpin yang sudah lebih senior tidak akan selancar anak muda bawahannya. Namun, belajar dari bawahan justru bisa menunjukkan kerendahan hati dan mengurangi kesenjangan antara pemimpin dan bawahannya.

Rasa percaya pun akan tumbuh ketika pemimpin menunjukkan keinginan untuk belajar bersama dan berbagi tanpa rasa angkuh. Sudah bukan waktunya lagi kita menyimpan informasi yang sebetulnya juga bisa diketahui oleh bawahan dengan sedikit upaya lebih.

Bila dulu pemimpin bisa membiarkan bawahan mengurus motivasinya sendiri dengan alasan bahwa bawahanlah yang lebih membutuhkan pekerjaan, saat sekarang bargaining power sudah seimbang. Pemimpin modern sadar bahwa kesuksesan mereka tergantung pada kontribusi dari bawahannya.

Semakin tinggi sense of belonging bawahan, semakin kuat kerja kreativitas dan inovasi mereka dalam menghadapi kompetisi yang semakin ketat. Untuk itu, pemimpin harus terampil memberi penghargaan kepada mereka yang berprestasi agar semakin meningkatkan motivasi mereka.

Well-being adalah hak setiap orang, apa pun pangkatnya. Membiarkan pemimpin-pemimpin tradisional terus berkuasa, memegang kontrol, dan menebarkan pengaruhnya akan membuat organisasi menjadi stagnan.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Baca juga : Budaya Memotivasi

Healing dan Growing