Sementara itu, ketika pertama kali berpindah dari Google ke Yahoo, Marissa Mayer mengumumkan para pekerja yang bekerja secara jarak jauh untuk kembali ke kantor karena ia ingin mendorong setiap individu untuk lebih terhubung satu sama lain. Ia tidak ingin terjadi “silo” antardepartemen.
Twitter pun yang sebelumnya sempat mengumumkan untuk mengambil kebijakan bekerja secara remote tiba-tiba berubah ketika miliarder Elon Musk menjadi pemiliknya. Musk mewajibkan semua karyawan untuk bekerja di kantor 40 jam seminggu. Mereka yang keberatan dengan kebijakan ini dipersilakan mengundurkan diri, yang berakibat terjadinya pengunduran diri massal, mulai dari staf hingga level manajemen puncak.
Tujuan para pimpinan tadi membuat kebijakan kembali ke kantor adalah meningkatkan produktivitas. Mereka khawatir bekerja secara remote membuat kontrol produktivitas mengendur. Namun, kedua pakar digital yang mengaku pandai membaca tren ini sepertinya tidak menyadari bahwa evolusi tempat bekerja sudah terjadi secara masif di seluruh dunia akibat pandemi kemarin.
Hal itu sejalan dengan berubahnya cara kerja manusia, dari teknologi yang sekadar alat bantu hingga menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya, tatap muka maupun keberadaan para individu di tempat yang sama terasa sudah tidak lagi menjadi metode utama untuk meningkatkan engagement.
Bagaimana mungkin kita mengharapkan komitmen hati dari para karyawan ketika mereka sudah kelelahan menembus kemacetan setiap harinya? Demi apa kita mengajak mereka ke kantor, tetapi sesampainya di kantor mereka kembali membuka laptopnya di kubikal masing-masing dan tetap berkomunikasi melalui media elektronik?
Jadi, kira-kira, seperti apakah bentuk kantor 2023 yang ideal?
Kita memang membutuhkan pendekatan baru dalam menyikapi aktivitas berkantor ini. Filosofi bekerja pun perlu kita pertanyakan dengan tumbuhnya beragam industri baru, seperti teknologi, energi alternatif, logistik, dan teknologi finansial.
Pertama, kita perlu ingat bahwa saat ini yang paling penting adalah aksesibilitas, bukan kehadiran. Marissa Mayer memang tidak salah ketika ia ingin individu saling terkoneksi sehingga memaksa menyatukan mereka dalam sebuah ruangan. Namun, ia lupa bahwa pada zaman ini, orang bisa saja duduk berhadap-hadapan, tetapi tetap tidak terhubung satu sama lain.
Berapa banyak dari kita yang duduk makan bersama keluarga ataupun teman, tetapi masing-masing sibuk dengan gawainya sendiri-sendiri? Memaksa orang untuk berhubungan face to face bahkan akan menghilangkan fleksibilitas yang berakibat pada kurangnya kreativitas dan inovasi.
Kita sendiri mungkin merasakan betapa rapat-rapat yang dilakukan secara virtual ternyata malah lebih efektif ketimbang saat dilakukan secara luring. Memang canda tawa dan keakraban terasa jauh lebih hangat dalam rapat yang dilakukan luring, tetapi tidak tertutup kemungkinan pembicaraan pun menjadi melenceng ke mana-mana.
Oleh karena itu, kita memang perlu mencari kombinasi agar bisa tetap mendapatkan ikatan hati, tapi tetap dapat mengerjakan tugas dengan lebih efektif melalui bantuan teknologi. Selama karyawan memiliki sasaran kerja yang jelas dan terukur, fleksibilitas tempat kerja justru memudahkan mereka untuk mengatur diri dan pekerjaannya agar dapat selesai tepat waktu tanpa alasan gangguan-gangguan eksternal.
Kedua, tenaga kerja yang terdiri atas para milenial sampai gen Z ini memang ingin mempunyai otonominya sendiri. Mereka perlu merasa bahwa tempat kerjanya terasa dinamis, tetapi dapat mengakomodasi kebutuhannya untuk banyak belajar. Mereka ingin dapat membuat keputusannya sendiri mengenai bagaimana cara kerjanya, kapan mereka bekerja, dan di mana mereka melakukan pekerjaannya.
Ketiga, setiap kantor perlu mengidentifikasikan dirinya seperti start up. Tidak bisa lagi manajemen menerapkan aturan-aturan seperti 30 tahun lalu. Kerangka kerja saat ini menjadi pendek, tetapi harapan manajemen sangat tinggi. Dengan demikian, organisasi perlu melakukan kombinasi antara manajemen mikro dan fleksibilitas. Kita pun perlu menyadari aspek diversifikasi dan multibudaya dalam pertimbangan. Diversifikasi talenta merupakan kunci sukses manajemen pada masa depan.
Keempat, kesadaran bahwa birokrasi tidak lagi bisa menghalangi keterbukaan arus informasi. Dengan komunikasi elektronik, kita dapat berhubungan dengan siapa pun di organisasi, termasuk CEO sekalipun. Berita akan tersebar dengan jauh lebih cepat, baik berita baik maupun berita buruk. Untuk itu, manajemen harus peka dan memahami kekuatan komunikasinya dalam membuat dampak.
Kelima, pertemanan. Pada dasarnya, karyawan adalah makhluk sosial, maka pasti memiliki keinginan untuk bertemu dengan teman-teman, mengobrol, dan bercanda. Manajemen perlu mengakomodasi hal ini dengan menciptakan area-area yang bisa menjadi social hub sehingga ketika karyawan berada di kantor, ia merasa bahwa ini adalah kesempatannya untuk bersosialisasi satu sama lain dan melakukan hubungan relasi yang berdampak bagi pencapaian targetnya. Sementara itu, penyelesaian pekerjaan dilakukan secara efisien ketika mereka bekerja di rumah.
Kita lihat, banyak perusahaan yang perlu lebih jeli dalam mempersiapkan kantornya kembali. Bagian personalia pun mungkin kehabisan akal bagaimana menciptakan ruang bekerja yang nyaman ketika man power terus berkembang dengan perkembangan organisasi.
Alih-alih memaksakan diri untuk kembali ke pola lama sementara dunia sudah demikian berubah, mengapa tidak mengubah konsep kerja kita saja?
Eileen Rachman & Emilia Jakob
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING
Baca juga : Membuat Dampak