Apa yang sebenarnya membuat seseorang sulit menerima pendapat orang lain? Apa yang secara tidak sadar mendominasi pembicaraan dan tidak memberi kesempatan orang lain untuk berkomentar atau berargumentasi? Bahkan, mungkin bersikap arogan membentak atau mengeluarkan ekspresi merendahkan ketika orang lain mempertanyakan pendapatnya. Inilah yang bisa kita sebut sebagai sindrom intellectual arrogance. Banyak atasan yang tanpa disadari berusaha membuat solusi tanpa memeriksa pendapat peserta rapat lainnya dan dengan sangat bangga merasa ia lebih tahu daripada semua peserta rapat.
Contoh yang ekstrem dari intellectual arrogance dapat kita temukan pada mantan Presiden AS Donald Trump. Ia mengatakan, “I have a natural instinct for science” ketika membicarakan kelanggengan lingkungan. Arogansi seperti ini juga dapat menular ke orang lain. Seperti Enron yang merasa demikian kuat dan sering dipuji karena intellectual brilliance-nya pada akhirnya terpaksa bubar karena kesalahan-kesalahan pengambilan keputusan.
Namun, mengapa kita sering seolah-olah dibutakan oleh hal ini? Seorang ahli mengatakan, “Our ignorance is invisible to us.” Kita sering tidak sadar bahwa kita dianggap orang lain arogan.
Beberapa ahli menganggap arogansi intelektual ini sangatlah serius. Individu yang berpola pikir seperti ini menganggap, cara berpikirnya superior dibanding orang lain sehingga dia tidak bisa menerima kritik ataupun bantahan. Ia pun akan melakukan judgement hanya berdasarkan intelektualitasnya. Pemikirannya didominasi oleh pemahaman: “my way or the highway”. Tentunya pola pikir semacam ini sangat menghambat kemajuan.
Sebenarnya banyak orang yang memang pintar. Namun, bila kemudian karena pintar ia menjadi arogan, kebijaksanaan akan memudar dalam pemikirannya. “Wisdom ceases to be wisdom when it becomes too proud to weep, too grave to laugh, and too selfish to seek other than itself.” – Khalil Gibran
Kecerdasan tampil secara berbeda-beda pada setiap individu. Ada orang cerdas yang kemudian menjadi seperti kutu buku yang terlalu fokus, yang ahli dan berkonsentrasi penuh pada apa yang diminatinya. Ada lagi para intelektual yang spesifik, ahli kopi, ahli serangga, ahli tanaman anggrek, dan ahli-ahli lainnya yang tidak bisa menerima pendapat orang lain yang masuk ke ranah pengetahuannya. Ada yang memiliki wawasan luas, tetapi kurang mendalam sehingga lebih melihat permasalahan di permukaannya saja.
Banyak juga individu yang memiliki keahlian spesifik, tetapi tidak update dalam pengetahuan umumnya. Arogansi membuat pemikirannya tertutup bagi pengetahuan yang dibawa orang lain.
Di sinilah kita perlu mengingat terus bahwa kita perlu mengembangkan intellectual humility. Karena bila kita sudah menjadi arogan, proses belajar juga akan terhenti.
Kita mungkin saja salah
Intellectual humility adalah sekadar menyadari, apa yang kita yakini mungkin saja ternyata salah. Namun, ini bukan masalah ke-pede-an atau kurangnya keyakinan diri. Ini adalah metode berpikir kita selalu membuka kemungkinan tentang adanya fakta lain yang bisa menjadi tambahan atau malah menggugurkan keyakinan kita. Intellectual humility adalah mengembangkan rasa ingin tahu kita terhadap blind spots pemikiran kita sendiri.
Sikap mental seperti “siapa tahu ada hal yang luput dari perhatian ataupun pemikiran kita” yang seharusnya tertanam pada diri kita. “It’s a process of monitoring your own confidence.” Dalam hidup, bekerja, apalagi sebagai seorang knowledge worker, kita perlu tetap memiliki obsessive curiosity. Kita perlu mempertanyakan segala sesuatu, termasuk keyakinan kita sendiri. Diversity of thought is essential to find the best solutions.
The world needs more wonder
Sebenarnya kita dapat mengambil sikap seorang ilmuwan bila mau menghidupkan intellectual humility di benak kita. Seorang ilmuwan tidak pernah puas dengan pengetahuan yang sudah didapatkannya. Bahkan, tidak jarang, ia mengkritik pemikirannya terdahulu ketika ia menemukan fakta baru yang berbeda. Ia selalu mempertanyakan, membangun hipotesis baru, bereksperimen dan tidak pernah berhenti mencari tahu. Ada beberapa sikap mental yang bisa menjadi kebiasaan kita.
- Sadari kebutaan mental kita. Gunakan kiat “The Devil is in the detail“. Perhatikan hal-hal kecil dan pastikan bahwa keputusan pengetahuan yang kita miliki memang berlandaskan fakta, baik fakta yang mendukung maupun fakta yang berlawanan.
- Beranilah mengaku salah. Pada kenyataannya, pemimpin yang berani mengakui kesalahannya secara ksatria lebih disukai ketimbang mereka yang arogan dan merasa diri selalu benar.
- Memimpin adalah tindakan kolektif. Kita tidak bisa memimpin organisasi sendirian. Di balik seorang eksekutif yang kuat, pasti ada tim yang kuat pula. Seorang pemimpin yang baik pasti akan membangun kelompok agent of change, mereka yang berani melakukan gebrakan-gebrakan yang membawa organisasi terus bergerak maju, bukan followers yang menurut saja.
- Hindari ego yang defensive. Dorong tim Anda agar mereka berani bicara, berani untuk mengungkapkan pendapat-pendapat alternatif. Kuatkan tim untuk menantang status quo.
- Gunakan prinsip “yes, and….” manakala Anda merasa ada yang kurang tepat dan ingin dikoreksi. Kita juga perlu mengingat bahwa lebih baik menjadi orang yang bijaksana daripada sekadar pintar.
Dalam mengetahui sesuatu, kita perlu menjaga keseimbangan antara keyakinan dan humility. Kita bukan harus mengalah pada sanggahan terhadap semua keyakinan kita. Kita hanya perlu selalu membuka pikiran terhadap masukan yang datang baik yang positif maupun bernuansa negatif. Kita pun harus tetap mengingat bahwa lingkungan tidak selamanya bersahabat dengan orang yang intellectually humble. Inilah tantangan kita.
“Kebijaksanaan tidak lagi merupakan kebijaksanaan apabila ia menjadi terlalu angkuh untuk menangis, terlalu serius untuk tertawa, dan terlalu egois untuk melihat yang lain kecuali dirinya sendiri.”
Kahlil Gibran
Eileen Rachman & Emilia Jakob
HR Consultant/Konsultan SDM
Baca juga : Karier Anda, Tanggung Jawab Anda