Padahal, investasi untuk assessment ini baru memberikan dampak positif bila ditindaklanjuti dengan pemberian umpan balik agar individu bersangkutan memahami area yang merupakan kekuatannya, dan apa saja yang perlu diperbaiki sehingga lebih siap menghadapi tantangan yang lebih besar.
Ada atasan yang khawatir anak buahnya tersinggung dengan umpan balik yang diberikan. Ia pernah menghadapi anak buah yang justru menyerang balik ketika dijelaskan kekurangan yang harus ia perbaiki. Ada juga individu yang sangat reaktif dengan umpan balik. Ia ingin cepat-cepat melakukan perbaikan terhadap masukan yang diberikan. Ini justru membuat perubahan yang diharapkan tidak terjadi karena akar masalah yang sesungguhnya belum dieksplorasi.
Berubah sesungguhnya memang tidak mudah. Berubah untuk sehari dua hari mungkin dengan cepat bisa dilakukan. Namun, menjaga konsistensi perubahan sehingga menjadi kebiasaan yang menetap dalam diri, membutuhkan penggarapan yang lebih menyeluruh, keyakinan akan urgensi perubahan, serta komitmen dari setiap individu yang terlibat.
Dengan lingkungan kerja yang kompleks dan berubah demikian cepat saat ini, pengembangan diri para talenta organisasi tidak dapat ditawar-tawar lagi. Untuk mengakselerasi individu dan kinerja organisasi, jalan terbaik adalah memberikan masukan terhadap perilaku individu secara berkesinambungan.
Beberapa survei menunjukkan bahwa umumnya karyawan sangat menantikan pemberian umpan balik ini. Mereka berharap organisasi dapat secara terbuka memberikan masukan terhadap performa sehingga mereka dapat melakukan upaya-upaya meningkatkan kompetensinya. Namun, mengapa budaya umpan balik ini jarang terlihat di banyak organisasi?
Dua kesalahan yang sering terjadi
Pertama, sering kali pemberian umpan balik tidak disertai dengan pembekalan yang cukup. Kita tahu, memberikan umpan balik membutuhkan keterampilan yang memadai. Tidak semua orang terlahir dengan kecakapan untuk dapat memberikan masukan dengan baik tanpa menimbulkan sakit hati.
Sementara itu, pemberian umpan balik seharusnya berakhir dengan kelegaan dan semangat baru untuk berubah menjadi lebih baik. Tanpa keterampilan yang cukup akan membuat suasana umpan balik menjadi tegang yang menimbulkan keengganan dari kedua belah pihak untuk melakukan sesi umpan balik pada masa mendatang.
Kesalahan kedua terjadi ketika pemberi umpan balik sering kali terlalu berfokus pada apa yang ingin ia sampaikan. Ia mempelajari catatan-catatan perilaku penerima umpan balik, menggarisbawahi kekurangannya, serta hal-hal yang menurutnya harus ditingkatkan oleh penerima umpan balik. Ia melakukan analisis tajam mengenai performa penerima umpan balik.
Namun, ia lupa bahwa proses umpan balik adalah dialog dua arah, penerima umpan balik pun perlu didengarkan. Mereka perlu menyampaikan kesulitan-kesulitannya dan apa saja dukungan yang mereka harapkan untuk membantu berubah menjadi lebih baik.
Memberikan umpan balik bukan sekadar sesi pemberian rapor yang penerima umpan balik hanya pasrah mendengarkan evaluasi kinerjanya. Sesi pemberian umpan balik adalah saat ketika para talent merasa dihargai, termotivasi, dan empowered. Ketika merasa dinilai, individu akan cenderung menutup diri dan bersikap defensif.
Sementara bila merasa dihargai, mereka menjadi lebih relaks sehingga pikirannya akan terbuka terhadap beragam kemungkinan pengembangan. Inilah yang menjadi diskusi dalam sesi pemberian umpan balik. Bila situasi ini berkelanjutan, budaya growth mindset akan tumbuh subur dalam hubungan kerja yang lebih mesra.
Membangun budaya umpan balik
Pertama, pemimpin perlu berefleksi. Sudahkah dilihat oleh orang lain dan bawahan sebagai the champions of feedback? Sudahkah pemimpin mengundang dialog dan memberikan apresiasi, tidak sekadar membuat penilaian dan pernyataan perubahan. Apakah anggota tim menunjukkan kelegaan setelah bertemu dan berdiskusi, atau justru semakin terpuruk?
Kedua, manajemen perlu memastikan tersedianya sistem penyimpanan data kinerja setiap individu. Baik keberhasilan maupun perilaku yang harus diubah. Ini akan membantu dialog tetap berjalan di jalur obyektif dan menjauhi asumsi, judgement, apalagi like and dislike.
Ketiga, pelatihan cara memberi umpan balik harus dibekalkan kepada setiap pemberi umpan balik. Sekali pelatihan bisa membuat peserta dari tidak tahu menjadi tahu. Untuk membuat peserta menjadi terampil, dibutuhkan lokakarya-lokakarya agar mereka bisa mendiskusikan pengalaman pemberian umpan baliknya dan mencari cara yang lebih baik.
Culture shift ini tentunya tidak akan terjadi dalam semalam. Untuk mempelajari kebiasaan baru, dibutuhkan waktu berproses. Namun, kita perlu ingat bahwa upaya ini adalah investasi yang sangat berharga.
Keempat, kegiatan umpan balik perlu dijaga rutinitasnya. Setiap karyawan perlu bertanggung jawab terhadap pelaksanaan dan hasil yang didapatkan. Koreksi kesalahan perlu menjadi kebiasaan yang berjalan secara natural dalam organisasi.
Budaya umpan balik menjamin masa depan
Dalam grup-grup komunikasi, kita sering melihat apresiasi berbentuk pujian terhadap kinerja seseorang. Hal ini tentunya baik, tetapi kita perlu mengingat bahwa ini tidak cukup untuk membudayakan umpan balik.
Untuk menjadi budaya, umpan balik harus bermakna, behaviour based bukan trait based, melihat ke depan, obyektif, terus-menerus, dan langsung. Saat ini umpan balik tidak hanya mengenai kinerja dan proses kerja, tetapi juga sudah merambah ke well being individu. Jelas bahwa budaya ini mempererat hubungan karyawan dan memberi kekuatan bersaing, serta adaptif terhadap perubahan.
Eileen Rachman & Emilia Jakob
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING
Baca juga : Organisasi Talent Centric