Bila ditanya apakah berkembangnya Covid-19 ini dapat menjadi kesempatan bagi kita untuk mengembangkan diri? Secara spontan, kita pasti menggeleng. Krisis kesehatan dan finansial yang terjadi di seluruh dunia ini memicu timbulnya depresi. Melewati koridor bandara yang hampir semua kios dan restoran tutup membuat hati juga terasa kosong. Ini situasi yang menyadarkan kita bahwa era resesi di depan mata.

Era ketika kita merasa tenang, aman dan pasti, seperti harus ditinggalkan. Kita terpaksa beradaptasi dengan perubahan ekstrem, tak jelas, tidak nyaman, dan tidak terkontrol. Emosi seperti khawatir, takut, frustrasi, dan kemarahan bermunculan. Rasa percaya kita pada diri sendiri, komunitas, sampai pemerintah, terasa semakin memudar. Pandemi ini benar-benar menguji kekuatan resilience kita, kemampuan untuk bereaksi terhadap kabar buruk yang bertubi-tubi dan menjatuhkan mental.

Sementara itu, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Arden justru memberi saran kepada rakyatnya, “Act like you have Covid-19”. Dengan mengikuti saran ini, self awareness individu, akuntabilitas pribadi, tindakan, arah serta semangatnya diarahkan pada satu tujuan, yaitu memerangi Covid. Hal ini memberikan dampak yang sangat kuat, baik terhadap diri sendiri, keluarga, maupun komunitas di sekitarnya. Penggunaan masker, selain membantu pengendalian penyebaran virus, meningkatkan kesadaran kita untuk menjaga diri, rajin mengonsumsi vitamin C, berolahraga, dan menghindari stres. Tanpa terasa, kita sudah mengembangkan diri menjadi individu yang lebih bertanggung jawab, lebih sadar terhadap kesehatan dan lebih peduli terhadap diri, anggota keluarga, dan komunitas yang lebih luas.

Kita merasa kesulitan dalam situasi ini jauh lebih kejam daripada kesulitan biasa. Kekejamannya terletak pada kesulitan kita untuk berkelit darinya. Di sinilah terletak tantangan kita untuk melompat dan bertahan terhadap cobaan ini. Orang-orang lanjut usia yang rentan terhadap penyakit ini perlu berjaga dua kali lipat lebih ketat. Banyak orang kehilangan pekerjaan dan tak sanggup menghidupi keluarganya. Namun, di lain pihak, kita juga melihat tumbuhnya pedagang usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang berproduksi dari dapurnya, membuat kerajinan tangan, jahit menjahit, dan beragam kreativitas baru yang sebelum pandemi ini sama sekali tidak terbayangkan.

Kita memang sedang susah. Namun, kita tetap punya pilihan untuk menginterpretasikan keadaan ini dengan cara yang lebih positif. Kita perlu melihat bagaimana bisa hidup harmonis di dalamnya.

Pertama, kita perlu bersikap menerima. Dalam bahasa Jawa, kita sering menyebutnya sumeleh. Kita boleh sedih, khawatir, merasa tak berdaya, tidak ada harapan, dan frustrasi. Perasaan-perasan ini wajar dan tidak bisa kita abaikan. Kita tidak perlu melawan dan mengonfrontasi rasa ini. Dalam mengalami kesusahan, ada lima tahapan yang dilalui individu, yaitu penyangkalan, marah, menimbang-nimbang, depresi, sebelum pada akhirnya menerima. Biarkan diri kita melampaui tahap demi tahap sampai bisa menerima keadaan dengan legowo. Yang penting, kita tetap menyayangi diri sendiri.

Kedua, kita juga bisa membuat perspektif yang lebih luas. Tidak hanya musibah ini yang kita fokuskan, tetapi juga area yang lebih luas lagi sehingga memiliki ancang-ancang untuk menghadapi musibah yang lebih parah lagi. Dengan memandang big picture ini, kita dapat berpikir jangka panjang, sambil menanggulangi kesulitan jangka pendek ini.

Ketiga, kita bisa melihat krisis ini sebagai batu loncatan. Kenyataan bahwa Covid ini sedang mengintai dan semakin dekat dengan kita tidak bisa diingkari. Banyak caci maki yang dinyatakan orang tentang keadaan ini. Kita pun menyetel diri kita berada dalam threat mode. Padahal, kita tahu bahwa kita tidak bisa bersembunyi terus-menerus. “When life gives you lemons, use them to make lemonade”. Hal yang bisa kita lakukan adalah memitigasi risiko yang mungkin muncul. Bersamaan dengan itu, kita bisa menghidupkan survival instinct. Sikap inilah yang bisa tetap kita pertahankan meskipun kelak serangan Covid sudah berlalu.

Keempat, there is always two sides of coin. Bila kita melihat kata krisis dalam bahasa China, ia terdiri atas dua huruf yang artinya masing-masing adalah bahaya dan kesempatan. Kalau hanya melihat satu sisi bahwa bahaya akan mengancam, kita tidak bergerak dan sulit memikirkan tindakan jalan keluar. Namun, sebenarnya, kita masih punya kapasitas untuk berespons positif dan berfokus pada apa yang masih kita bisa lakukan bila kita juga melihat bahwa ini adalah sebuah kesempatan. Caranya? Kita bisa berfokus pada hal-hal yang tidak sempat dilakukan sebelum krisis dan mencari cara untuk mewujudkannya saat ini. Kita bisa menciptakan rutinitas baru yang bisa dinikmati, baik dalam bentuk hobi, mata pencaharian, gaya hidup maupun kehidupan sosial baru. Dengan demikian, sikap mental sebagai korban terhapus dan tergantikan dengan optimisme.

Sikap positif, emosi positif

Musibah yang demikian buruk tidak perlu membuat kita mengasihani diri, merasa seperti satu-satunya manusia yang paling menderita. Marilah kita menghidupkan emosi positif kita. Sejujurnya, di tengah-tengah pesimisme ini, kita perlu berjuang keras untuk merasa positif. Meski demikian, bila melihat sekeliling dan mencari sisi baik dari kondisi krisis ini, kita bisa mensyukuri apa yang masih bisa kita capai sekarang ini.

Kita pun bisa mengejar rasa sayang, cinta, dan empati yang selama ini tertutupi oleh kesibukan kita. Kita perlu menikmati sekecil apa pun kemajuan yang kita rasakan dalam perjuangan-perjuangan baru kita. This crisis can be opportunities for personal growth and cultivating compassion toward others.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING