Seorang kepala divisi yang sangat berprestasi mengeluhkan kesulitannya dalam bekerja sama dengan divisi lain. Padahal, setiap individu dalam organisasi sadar bahwa mereka harus bekerja sama untuk mencapai tujuan organisasi.

Banyak yang bisa menjadi alasan timbulnya keengganan untuk bekerja sama dengan yang lain. Mulai dari perbedaan kepentingan, tujuan, prioritas, sampai pada ganjalan akibat konflik pada masa lalu. Namun, kalau ditelaah lebih lanjut, banyak ketegangan yang terjadi sebenarnya berasal dari cara berkomunikasi pihak-pihak yang terlibat.

Kegagalan berkomunikasi yang terdengar sederhana ini tidak bisa dianggap sepele karena dalam jangka panjang dapat menimbulkan kelelahan emosional. Pengambilan keputusan pun sering tertunda yang dampaknya dapat membuat kinerja organisasi pun terganggu.

Setiap individu tentunya memiliki point of view. Sayangnya, tidak semua orang mampu menyampaikan dengan baik point of view-nya sehingga pihak lain pun dapat memahami dengan baik urgensi dari point of view itu. Mereka yang memiliki kemampuan komunikasi terbatas sulit menggambarkan sudut pandangnya dengan baik. Penerima pesan yang juga memiliki point of view-nya sendiri pun bisa jadi sudah memiliki “tembok-tembok” yang tidak mudah ditembus.

Bagaimana orang-orang yang berbeda ini dapat berkolaborasi ketika kelancaran komunikasi dan pertukaran informasi menjadi kunci dalam kesuksesan kolaborasi?

Dilema kolaborasi

Banyak yang merasakan bahwa masyarakat kita semakin lama terasa semakin individualis dan detached dengan sesamanya. Kodrat manusia sebagai makhluk sosial sebenarnya memiliki kebutuhan dasar untuk mengadakan bonding interpersonal dengan hidup bersama orang lain.

Ketika terjadi lockdown yang mengharuskan manusia untuk menjaga jarak satu sama lain demi alasan kesehatan, beragam aplikasi dan perangkat elektronik baru diciptakan untuk membuat kebersamaan tetap dapat terjalin meskipun tidak hadir secara fisik.

Organisasi pun menuntut individu untuk dapat berkolaborasi atau bekerja sama. Teamwork menjadi salah satu kompetensi penting yang selalu dinilai ketika merekrut para fresh graduate.

Meski demikian, meskipun dituntut untuk bekerja bersama dalam kelompok, organisasi justru lebih banyak memberikan reward secara individual. Di sinilah konflik tidak jarang terjadi. Untuk dapat melakukan kolaborasi bersama, memang dibutuhkan keterampilan tertentu yang perlu diasah dan dipraktikkan.

Mendengar dengan hati

Banyak orang merasa bahwa mereka cukup pandai mendengar. Namun, banyak riset membuktikan bahwa pada umumnya manusia kurang mendengar. Sering kali kita sudah melupakan apa yang dikatakan orang tidak lama setelah mereka menyelesaikan kalimatnya.

Itu bukan salah kita. Otak kita mampu menyerap 400 kata per menit. Padahal, secepat-cepatnya orang berbicara, ia hanya bisa mengucapkan 125 kata per menit sehingga dalam rentang waktu itu pendengar akan mengisi otaknya dengan asupan lain yang sering kita sebut sebagai “noise” karena tidak berhubungan dengan pembicaraan yang sedang terjadi.

Untuk dapat benar-benar mendengar, pendengar perlu memiliki self awareness bahwa ia harus berfokus mendengar dengan rendah hati sehingga dapat menangkap “inti” pesan lawan bicara dengan sempurna.

Bertanya untuk menambah informasi

Kunci dari memahami adalah dengan bertanya. Namun, ada berbagai macam pertanyaan. Ada pertanyaan yang menjebak, ada pertanyaan yang menyelidik, ada pertanyaan yang menekan, ada pertanyaan hanya untuk mengkonfirmasi apa yang sudah diketahui serta diyakini, dan ada pertanyaan yang bertujuan untuk menambah informasi.

Lawan bicara tentunya akan menjawab dengan senang hati pertanyaan yang diajukan untuk kepentingan menambah informasi karena tidak memiliki kesan menyerang. Kita perlu berlatih menggunakan kalimat-kalimat tanya yang bersifat mengundang diskusi, seperti “bagaimana kalau…” atau “apakah ada kemungkinan/alternatif….”

Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat menggali lebih dalam pandangan lawan bicara. Dengan mengajukan pertanyaan yang baik, kita bisa mendapatkan ide-ide baru dari pihak lain. Di sinilah kekuatan inklusi terbangun yaitu bagaimana kita mengadopsi keberagaman dan menciptakan ide baru yang inovatif.

Tantang asumsi

Individu yang merasa sudah tahu sering kali sulit mengalah pada informasi baru yang menentang keyakinannya. Semakin banyak kita tahu, semakin tidak fleksibel kita untuk menerima perspektif orang lain yang berbeda. Kita merasa memegang kebenaran walaupun tidak tertutup kemungkinan bahwa kita tidak benar.

Dengan berlatih menantang dan mempertanyakan asumsi serta keyakinan, kita dapat menjaga bias dan terbuka terhadap pendapat orang lain.

Mewarnai ketidaksepakatan dengan respek

Ketidaksepakatan di tempat kerja itu baik. Pertanda bahwa ada banyak pemikiran yang dapat mendukung majunya perusahaan. Namun, kita perlu membudayakan debat yang sehat dan menjaga psychological safety.

Ada penelitian yang menemukan bahwa 90 persen perawat tidak pernah melawan keputusan dokter walaupun mereka sebenarnya memiliki pendapat lain yang mungkin dapat membantu menyelamatkan jiwa pasien. Bayangkan bahayanya bila kita hanya patuh pada satu pemikiran.

Perluas lingkaran empati

Kita sadar bahwa dalam kehidupan sosial di mana pun selalu ada mentalitas “kita” dan “mereka”. Akibatnya empati pun bisa pilih kasih. Kita cenderung mudah memaklumi dan memaafkan pada kesalahan anggota “kita” sementara menjadi sangat kritis terhadap “mereka”.

Bayangkan betapa sulitnya berkolaborasi bila empati pun masih pilih-pilih seperti ini. Namun, kabar baiknya adalah kita bisa memperluas empati kita kepada “mereka” dengan mengambil sikap seorang pembelajar yang senantiasa terbuka terhadap ide tanpa memandang siapa pencetusnya. Jamil Zaki dalam bukunya The War for Kindness mengatakan, “Free our empathy from its evolutionary bonds.”

Jadi, sebenarnya landasan berkolaborasi ini bukan rocket science. Potensinya sudah ada di dalam diri kita masing-masing, tinggal dilatih terus sehingga kekuatan kolaborasi kita bertambah. If we don’t learn how to activate our collective intelligence we’ll all end up banished to our individual caves. And that’s no way to work – or win.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Baca juga : Baper

Budaya Apresiatif

Memaknai Nilai Korporasi