Seorang teman adalah eksekutif sekaligus pemilik perusahaan yang sukses. Insting bisnisnya sangat kuat meskipun prestasi akademinya dulu biasa saja. Namun, bila sudah berada dalam situasi pemecahan masalah, ia seolah bisa mengendus titik kelemahan dan mengambil keputusan yang tepat. Ia sering mengaku memiliki indera keenam, peka terhadap perasaan, dan tahu apa yang dibutuhkan orang lain. Namun, di sisi lain, ia mudah terbawa perasaan (baper). Komentar yang mungkin biasa saja bagi orang lain, bisa saja membuatnya sulit tidur, memikirkannya siang dan malam.

Teman-temannya kerap mengatakan ia terlalu berlebihan dalam menginterpretasikan suatu hal. Dalam pengukuran yang dilakukan Robert Hogan, ia tergolong memiliki interpersonal sensitivity yang tinggi.

Digabungkan dengan adjustment yang rendah, kita dapat melihatnya sebagai pribadi yang sering terbawa perasaan (baper) dalam situasi yang sebenarnya bisa saja dilihat dari sisi lain yang lebih obyektif. Ada juga yang menyebutnya sebagai orang berkuping tipis, sulit mendengar masukan maupun komentar negatif.

Pada 25 tahun yang lalu, gagasan tentang kepekaan tinggi menarik perhatian dunia ketika Dr Elaine Aron menerbitkan bukunya The Highly Sensitive Person. Di dalamnya, Aron menggambarkan bagaimana 20–30 persen dari populasi memproses informasi dari dalam maupun lingkungan sekitar mereka secara mendalam.

Ahli ini juga mengatakan, selain keuntungan bahwa mereka yang memiliki kepekaan tinggi ini akan lebih mudah menjalin relasi dengan orang lain, mereka pun harus mengatasi tantangan akibat sering berpikir berlebihan sehingga menghabiskan energi mereka sendiri untuk hal-hal yang tidak perlu.

Plus-minus sensitivitas

Menjadi pribadi yang sensitif di tempat kerja sering kali terasa seperti pisau bermata dua. Rekan kerja kita mungkin menghargai sifat murah hati, kedalaman emosi, dan kehangatan kita. Di sisi lain, ketika menghadapi hal-hal yang menekan seperti menerima umpan balik, emosi kita dapat bergerak tanpa kendali, berubah secara tiba-tiba.

Mungkin kita bisa merasa hancur oleh kritik yang sebenarnya konstruktif bagi pengembangan diri kita. Di tempat kerja yang didominasi kekuatan dan kekuasaan, orang-orang yang sangat sensitif akan merasa bahwa ia lemah. Padahal, banyak juga bukti yang menunjukkan, sensitivitas tinggi yang dimanfaatkan dalam dunia kerja dapat membuat kinerja justru lebih menonjol.

Saat sekarang ketika otomatisasi semakin mendominasi masyarakat kita, kebutuhan akan pekerja dengan intuisi, kreativitas, empati, dan semua keterampilan yang dilandasi rasa justru menjadi semakin besar. Kemampuan-kemampuan ini belum bisa direproduksi oleh teknologi sampai saat ini. Kemampuan dalam mendalami perasaan tim kerja kita dapat menjadi alat ampuh untuk meningkatkan engagement yang pada akhirnya akan berdampak positif pada produktivitas tim.

Menggunakan “rasa” secara lebih efektif

Bagaimana kita dapat memanfaatkan kepekaan mendalami rasa ini menjadi sebuah keunggulan?

Pertama, kita perlu sadar pada kekuatan sekaligus kelemahan kepekaan kita. Individu dengan kepekaan yang tinggi cenderung mudah terstimulasi dengan reaksi-reaksi orang lain. Mereka tidak hanya mendengar kata-kata yang keluar dari mulut, tetapi juga peka terhadap gerakan halus dan nada yang tidak terucapkan.

Di sinilah kita perlu menjaga kesadaran kita dalam berkomunikasi, berusaha memeriksa kembali asumsi-asumsi kita yang belum tentu benar itu agar kita dapat melihat situasi dengan lebih obyektif. Tidak hanya baper sendiri.

Kedua, kita perlu belajar untuk menyampaikan “berita buruk” secara asertif. Kepekaan kita dalam melihat hal-hal yang mungkin tidak terasa oleh orang lain perlu ditindaklanjuti dengan langkah nyata untuk membenahinya. Dengan kepekaan yang tinggi, sering kali kita merasa ragu untuk berkomentar mengenai hal-hal yang tidak baik karena khawatir akan menyinggung perasaan orang lain.

Kalaupun berkomentar, sering kali kita berusaha untuk mengemas sedemikian rupa komentar yang kita berikan jangan sampai menyinggung perasaan orang lain. Padahal, tidak jarang, hal ini malah membuat pesan yang disampaikan menjadi kurang jelas sehingga tujuan yang ingin dicapai tidak terealisasi.

Ketiga, ketika bekerja dengan tim kepekaan dapat membantu kita untuk merasakan bila ada anggota tim yang tidak terlalu bersikap positif atau enggan terlibat karena alasan pribadi mereka. Dalam situasi ini, biasanya kita khawatir bila memaksa mereka dapat mengganggu hubungan kita dengan mereka.

Namun, di sini, kita perlu memaksakan diri untuk tetap mendiskusikan hal ini dengan mereka karena bagaimanapun juga target kerja tetap harus dicapai dan hasil terbaik hanya bisa didapatkan bila semua orang menghadirkan diri secara utuh untuk berkontribusi.

Keempat, dalam pemecahan masalah yang membutuhkan banyak fakta dan data dari berbagai pihak, seorang dengan sensitivitas tinggi dapat memberikan kontribusi yang cemerlang. Mereka dapat menggali fakta dengan membuat orang lain untuk lebih terbuka memberikan pendapatnya, mendorong rekan yang belum berpartisipasi untuk lebih terlibat, sebelum menganalisis semua data, dan mengambil keputusan akhir.

Kelima, orang-orang yang sensitif biasanya sangat terhubung dengan dunia batinnya. Hal ini dapat mendorong munculnya ide-ide kreatif dan inovatif dari pengolahan memori-memori bawah sadarnya ketika ia harus mencari ide-ide baru dalam pemecahan masalah.

Tantangan bagi mereka yang memiliki kepekaan tinggi adalah bagaimana untuk tetap menerobos hambatan perasaannya. Hambatan bisa kita persepsikan sebagai penghalang yang tak tergoyahkan. Namun, dengan mengubah mindset dan mengandalkan ketajaman perasaan, kita justru memiliki senjata tambahan dibandingkan dengan rekan lain yang memiliki kapasitas rata-rata dalam hal kepekaan.

Yang penting adalah bagaimana kita berlatih mengendalikan diri dalam interaksi yang bisa membuat emosi kita tidak terkontrol. Lagi-lagi cara terbaik adalah berlatih secara teratur memperkuat kesadaran kita, hal-hal apa yang dapat memicu emosi kita, dan mempersiapkan respons yang tepat dalam kondisi emosi seperti itu.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Baca juga : Budaya Apresiatif

Memaknai Nilai Korporasi