Dalam seminar yang menghadirkan pembicara, baik dari dalam maupun luar negeri, banyak yang mengeluh tentang minimnya pertanyaan yang diajukan oleh peserta seminar. Kadang ada juga individu yang mengajukan pertanyaan dengan nada memojokkan ketika ia merasa pembicara mempunyai pandangan yang salah sehingga membuat situasi memanas.
Padahal, banyak pekerjaan yang menempatkan keterampilan bertanya sebagai salah satu faktor penentu dalam profesi mereka. Dokter yang akan menegakkan anamnesa harus dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan jitu agar dapat memahami kondisi pasien dengan tepat. Wartawan, litigator, ahli hukum tentunya harus cerdik dalam mengajukan pertanyaan hingga dapat mengidentifikasi informasi dari lawan bicaranya dan mendapatkan data yang sesungguhnya.
Dalam situasi bisnis sehari-hari pun mereka yang memiliki kejelian dalam mengajukan pertanyaan biasanya memiliki peluang lebih besar untuk memenangkan negosiasi karena ia dapat “membaca” bargaining position dari lawan bicaranya. Ini artinya keterampilan bertanya harus dikuasai dalam kehidupan profesional. Bayangkan, betapa merugikannya bila keterampilan ini tidak dikuasai dengan baik. Berapa banyak kekeliruan dalam diagnosis dan analisis yang mungkin terjadi hanya karena individu yang bersangkutan tidak tajam dalam mengajukan pertanyaan dan terlalu dini menarik kesimpulan.
Bagi sebagian orang, bertanya adalah suatu hal yang mudah. Ada orang yang memang dilahirkan “kepo”, istilah anak sekarang untuk orang yang selalu ingin tahu. Mereka lancar mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendalam dan dengan cepat dapat melihat celah dari potongan yang tidak sesuai sehingga menggali lagi dengan pertanyaan lain. Namun, ini tidak terjadi pada semua orang.
Untungnya, keterampilan bertanya bisa dilatih. Dengan berlatih mengajukan pertanyaan, kita juga dapat mengasah inteligensi emosi untuk mengajukan pertanyaan yang lebih tajam lagi sehingga terjadi siklus pendalaman yang lebih baik.
Bertanya = melepas ego
Pada 1936 dalam buku klasik How to Win Friends and Influence People, Dale Carnegie memberi nasihat singkat: be a good listener. Apa hubungannya antara bertanya dan mendengar?
Mendengar bisa menjadi aktivitas yang sangat pasif ketika kita hanya menerima apa yang disampaikan lawan bicara. Namun, bila benar-benar mendengar dan mengolah informasi yang disampaikan lawan bicara, tentunya kita akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk menggali ataupun mengklarifikasi agar kita sungguh memahami situasi sesuai dengan kacamata lawan bicara. Mereka yang tidak benar-benar mendengar biasanya akan sulit untuk mengajukan pertanyaan.
Apa yang menyebabkan orang sulit mengajukan pertanyaan? Ada orang yang tidak bisa melepas sifat egosentrisnya. Mereka lebih berorientasi pada dirinya sendiri, pikirannya, kisah pengalamannya, nilai, dan ide-idenya. Karena egosentrisnya, mereka tidak berusaha untuk mengajukan pertanyaan yang berfokus pada teman bicaranya.
Ada juga orang yang memang bersikap apatis, tidak berminat pada manusia lain, cenderung merasa lawan bicaranya membosankan dan obrolan itu hanya buang-buang waktu saja. Banyak juga yang sangat percaya diri bahwa apa yang mereka ketahui sudah cukup sehingga tidak membutuhkan informasi lain dari lawan bicara dan tanya jawab tidak menjadi ajang pengayaan pengetahuan.
Namun, ada juga orang yang tidak percaya diri dan ragu mengajukan pertanyaan, takut terlihat bodoh. Dalam hal ini, kita perlu mengingatkan diri bahwa teknik bertanya ini bisa dikembangkan.
Teknik bertanya
Para ahli menyatakan, “The first step in becoming a better questioner is simply to ask more questions.” Kuantitas pertanyaan menentukan kesuksesan kita dalam mencari informasi ataupun membina hubungan. Pada tahap selanjutnya, tipe pertanyaan, nada, urutan, dan penyusunan konteksnya memang menentukan kualitas hasil pertanyaan.
Tidak semua pertanyaan mendapatkan hasil yang sama. Pertanyaan seperti apa kabar, terasa basa-basinya bila tidak ditindaklanjuti dengan pertanyaan penggali yang lebih dalam. Kita juga bisa langsung mengajukan pertanyaan penggali ketika bertemu dengan seorang kenalan dengan pertanyaan, seperti bagaimana kabar putra Anda yang sedang dirawat? Ini sekaligus menunjukkan bahwa kita mendengarkan ceritanya dalam pertemuan sebelum ini.
Begitu juga dalam wawancara, kita dapat melakukan probing, seperti tadi Anda menyebutkan situasi toxic, apa maksud Anda dan bagaimana suasananya? Lawan bicara kita juga akan lebih merasa didengar dan dihargai bila kita menggunakan pertanyaan penggali seperti ini. Mereka akan merasa bahwa kita benar-benar tulus ingin tahu lebih jauh.
Semua orang tentunya sudah tahu bahwa sebaiknya tidak menggunakan pertanyaan close ended yang sekadar bisa dijawab ya dan tidak. Walaupun dalam beberapa situasi, hal ini mungkin dibutuhkan juga. Banyak orang mengenal konsep pertanyaan 5W+1H yang akan membuka percakapan dengan lebih informatif.
Pertanyaan yang didahului 4W pertama: when, where, who, what adalah pertanyaan faktual untuk menggali gambaran situasi agar lebih jelas. Pertanyaan how untuk mencari tahu mengenai proses agar kita bisa melihat hubungan satu kejadian dengan kejadian lain. Sementara itu, why menggali lebih dalam alasan di balik kondisi faktual tadi. Nada suara juga sangat memengaruhi kualitas pembicaraan, bagaimana mengajukan pertanyaan tanpa membuat orang lain merasa terintimidasi.
Albert Einstein mengatakan, “Question everything.” Ungkapan tua ini tetap berlaku sampai sekarang. Kreativitas personal dan inovasi organisasi hanya didapat kalau kita bisa memperoleh informasi yang baru. Tanya jawab yang intens akan memperdalam dan meningkatkan mutu hubungan interpersonal. Sustained personal engagement and motivation—in our lives as well as our work—require that we are always mindful of the transformative joy of asking and answering questions.
Eileen Rachman & Emilia Jakob
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING
Baca juga : Pendekatan Ergo, Ego, Eco