Semua orang pasti selalu ingin mencapai kesempurnaan dalam hidupnya. Akan tetapi, kesempurnaan yang berlebihan itu ternyata tak baik bagi kesehatan mental. Orang yang menginginkan segala hal dalam hidup menjadi sempurna disebut dengan perfeksionis. Psikolog klinis dan CEO Dear Astrid dra Astrid Regina Sapiie, dalam siniar Anyaman Jiwa juga mengungkapkan bahwa kesempurnaan itu sifatnya subyektif.

Para perfeksionis hanya menilai kesempurnaan berdasarkan standarnya sendiri. Belum tentu orang lain menganggapnya demikian. Bisa saja, si perfeksionis terlalu berlebihan dalam menentukan standar kesempurnaannya. Sayangnya, ia tak pernah merasa puas karena tolok ukurnya adalah ekspektasi semu dalam benaknya.

Sifat ini bisa muncul karena pengalaman sebelumnya, misal takut apabila kegagalan yang sama terulang. Selain itu, perfeksionis juga bisa berasal dari orang tua yang terlalu menuntut kesempurnaan. Terkadang, anak-anak takut kalau tak bisa memenuhi ekspektasi mereka sehingga hidupnya penuh dengan tekanan.

Apakah Menjadi Perfeksionis itu Baik?

Seseorang yang disebut sebagai perfeksionis menargetkan kesempurnaan dengan cara yang salah. Hal ini berbeda dengan orang biasa yang bisa menyelesaikan tugas atau pekerjaan sesuai kemampuan dan standar yang telah ditentukan.

Sementara itu, perfeksionis hanya mengandalkan standar dari dalam diri. Bahkan, ia sering terbelit dengan waktu karena harus bolak-balik memastikan pekerjaan. Orang yang perfeksionis akan lebih tegang dan kaku karena banyak hal yang dikorbankan, seperti waktu bersantai, tidur, dan bersosialisasi.

“Menjadi perfeksionis dan menjadi gaya hidup seseorang itu lebih banyak negatifnya. Karena, dia kayak dikejar-kejar sama sesuatu yang ada di dirinya sendiri, tapi gak bisa digapai,” ujar Astrid.

Orang yang perfeksionis pun dapat dilihat saat mengerjakan tugas. Ketika durasi waktunya lebih lama dari yang lain, bisa dicurigai ia adalah seorang perfeksionis. Hal itu terjadi karena ia memiliki banyak pertimbangan. Bahkan, tak jarang ia gelisah dan cemas.

Banyak Pekerja yang Mengalaminya

Astrid juga menambahkan, sifat perfeksionis ini sering muncul dalam dunia kerja. Kondisi ini terjadi karena beban kerja yang diberikan kepada pekerja tersebut lebih tinggi. Selain itu, mereka juga memiliki tekanan untuk memenuhi ekspektasi atasan.

Penelitian Taris dkk. (2010) pun menunjukkan, sikap perfeksionis yang berlebihan bisa memengaruhi kondisi psikologis karyawan. Para karyawan cenderung akan lebih mengalami kelelahan emosional. Fenomena ini terjadi pada banyak pekerja sekarang, yaitu saat ruang kerja dan ruang bersantai sudah tak ada batasnya lagi. Hal ini mengakibatkan mereka seperti dikejar-kejar oleh “sesuatu”.

Efek yang bisa ditimbulkan pun tak tanggung-tanggung. CEO Dear Astrid ini dalam siniar Anyaman Jiwa mengungkapkan pernah menangani pasien yang mengalami gangguan demensia. Pasien tersebut kehilangan informasi soal dirinya. Saat diperiksa, ternyata otak kecilnya memiliki gangguan, yaitu tegang.

“Terlalu tegang, jadinya berhenti berfungsi. Nggak hanya berhenti kerja, tapi juga nggak bisa mengenali dirinya sendiri.”

Diketahui bahwa pasien tersebut hampir tak pernah memiliki waktu yang cukup untuk tidur. Ia hanya memiliki waktu tidur sebentar dan kemudian bangun untuk memeriksa pekerjaan, begitu seterusnya. Hasil pekerjaannya memang bagus, tapi hidupnya menjadi tak berkualitas.

Oleh karena itu, harus ada orang yang berani menegur dan menghentikannya apabila pekerjaannya sudah sesuai standar. Sementara itu, untuk para atasan, berilah standar yang jelas dan terukur untuk bawahannya.

“Kalo jadi atasan, lebih baik kita punya standar yang jelas. Misalnya, kotak panjangnya segini, segini. Jadi jelas, kan? Jadi, dia nggak akan ngikutin standar pribadi karena udah ada standar dari kantor.”

Cara Mengatasi Sifat Perfeksionis yang Berlebihan

Untuk mengatasi sifat perfeksionis negatif yang berlebihan, kita bisa melakukan beberapa hal. Pertama, terima dan sadar terlebih dahulu bahwa kita memiliki sifat negatif ini. Berbicaralah secara asertif kepada diri sendiri dan ungkapkanlah bahwa hal ini bukanlah sebuah masalah.

Setelah berhasil menerima diri, carilah pertolongan pada profesional apabila sudah dirasa parah. Dengan begitu, kita akan lebih cepat tertolong. Biasanya, psikolog akan memberikan terapi agar perlahan-lahan sifat perfeksionis kita diminimalisasi.

Kemudian, mintalah bantuan kepada teman, mentor, atau atasan untuk menentukan standar-standar yang terukur. Di samping itu, cobalah juga untuk bertanya kepada teman terkait hasil pekerjaan kita.

“Kita, di mana pun bekerja, prestasi kerja itu bukan prestasi individual. Tapi, biasanya dalam tim. Jadi, biar kita bisa bahagia dan optimal, maka kita harus belajar menerima bahwa di dunia ini gak ada yang sempurna,” tutupnya.

Dengarkan perbincangan dra Astrid terkait perfeksionis di lingkungan kerja selengkapnya hanya di siniar Anyaman Jiwa bertajuk “Perfeksionis & Perilaku dalam Menanggapi Pekerjaan”. Dengarkan sekarang juga di Spotify atau akses melalui tautan berikut https://spoti.fi/34Mq2lq.

 

Penulis: Alifia Putri Yudanti & Ikko Anata

Baca juga : Sering Tak Disadari, Mom Shaming Makin Memburuk di Masa Pandemi.