Tak bisa dimungkiri, pengasuhan anak memang sangat penting untuk menjaganya tumbuh dengan baik. Semua orang menaruh perhatian pada hal tersebut. Akan tetapi, oleh karena pengasuhan anak lebih dominan dilakukan oleh ibu, maka banyak nasihat yang hanya dilontarkan kepadanya.

Terkadang, beragam komentar itu dilakukan dengan salah kaprah dan terkesan menyudutkan seorang ibu. Perilaku pemberian kritik dan komentar kepada seorang ibu biasa disebut mom shaming. Dalam kehidupan sehari-hari, perilaku ini tanpa sadar diterima seorang ibu terutama bagi mereka yang baru melahirkan atau mereka yang memiliki satu orang anak.

Selain itu, mom shaming juga kerap dirasakan oleh ibu yang bekerja. Konstruksi sosial masyarakat di Indonesia dengan budaya patriarki, masih menganggap bahwa pengasuhan anak lebih baik berada di tangan ibunya. Oleh karena itu, ibu-ibu yang sibuk bekerja dianggap kurang baik karena pengasuhan diserahkan pada orang lain.

Pengasuhan Anak dan Mom Shaming di Masa Pandemi

Menurut Collins, sosiologis bidang gender dan keluarga di Washington University, ayah tidak akan mengalami penilaian yang sama. Hal ini bisa juga dilandasi oleh ketimpangan gender, yaitu ibu masih sangat diharapkan untuk mendominasi pengasuhan terhadap anak. Anggapan bahwa laki-laki yang sepenuhnya harus mencari nafkah atau bekerja, membuat kritik publik semacam ini dari para ibu pasti ada.

Terlebih pada masa pandemi, beban ibu yang bekerja dua kali jauh lebih berat. Hal ini disebabkan karena mereka harus mengurus anak dan juga bekerja di saat yang bersamaan. Oleh karena itu, akan timbul sisi dilematis dari para ibu untuk bisa sebaik mungkin mengatasi waktu pengasuhan selama work from home di masa pandemi ini.

Christina Cross, dosen sosiologi Harvard yang berfokus pada keluarga dan ketidaksetaraan sosial, mewawancarai sepuluh ibu yang bekerja pada masa pandemi. Mereka merasa dihakimi atas keputusan pengasuhan yang diambil. Banyak yang mengatakan bahwa mereka ragu untuk memberitahukan perihal penitipan anak pada orang-orang terdekat. Mereka takut dan malu dengan respons yang akan didapatkan.

Mom shaming ini bisa terjadi ketika kerabat dekat merasa bahwa pilihan yang diambil tidak tepat. Ketika para ibu mengeluhkan sulitnya membagi waktu antara bekerja dan mengurus anak, mereka kerap kali memberi tanggapan, seperti “Cobalah untuk menggunakan pengasuh”. Dalam kasus tersebut, alih-alih menyarankan cara manajemen waktu yang baik, mereka seolah menyalahkan pilihan pola pengasuhan si ibu.

Meningkatnya Mom Shaming di Media Sosial

Pada masa pandemi, penggunaan media sosial meningkat tajam. Hal ini terlihat dari trafik penggunaan aplikasi WhatsApp dan Instagram yang naik 40 persen. Para ibu pun tak luput menggunakan media sosial untuk berbagi aktivitas sehari-hari atau ilmu parenting. Ironisnya, hal semacam ini justru menjadi sasaran empuk bagi pengguna media sosial lainnya untuk melakukan kritik secara terbuka.

Mom shaming sering menyasar artis atau ibu-ibu yang populer di media sosial. Terkadang, perkataan yang dilontarkan pun sangat buruk hingga mengganggu mental si ibu. Seperti yang dialami Meghan Markle, ketika ia terlihat tidak seimbang saat menopang leher anaknya, Prince Archie. Kesalahan kecil yang sebenarnya wajar dilakukan, berimbas pada banyaknya komentar buruk yang ia dapatkan. Meghan dikatakan tidak memiliki sisi keibuan hingga tidak pantas menjadi ibu dari seorang pangeran.

Mom shaming diketahui juga bisa berakibat fatal jika mental si ibu memburuk secara drastis. Sebagai orang awam, kita tidak boleh menghakimi pilihan orang lain dalam bertindak. Hargailah segala keputusan yang para ibu ambil karena kita tak tahu kesulitan apa yang telah ia lewati.

Informasi lebih lanjut seputar mom shaming bisa kalian dengarkan melalui siniar Semua Bisa Cantik di Spotify pada episode “Mom Shaming: Body Shaming yang Rentan dialami oleh para Ibu”. Dengarkan episode selengkapnya dengan mengakses tautan berikut https://spoti.fi/34Biylo.


Penulis: Nika Halida Hashina & Ristiana D. Putri

Baca juga : Rendah Hati, Hulu dari Segala Kebaikan Anak.