Biasanya, situasi burnout ini lebih sering terjadi dalam kurun waktu yang singkat. Namun, dalam kondisi pandemi ini, kita mengalami kekhawatiran dan ketakutan yang tak kunjung reda selama hampir 2 tahun. Terkadang, kita tidak menyadarinya hingga timbul gejala-gejala, baik fisik maupun mental dari burnout ini.
Majalah The Harvard Business Review baru-baru ini mengadakan survei berkaitan dengan burnout dan wellbeing sepanjang pandemi. Ternyata, 85 persen responden mengatakan, wellbeing mereka merosot di 2 tahun terakhir ini. 62 persen merasa bahwa mereka dikejar tenggat dan harus terus berusaha menggarap beban kerja yang terasa bertumpuk. Banyak keluhan mengenai kesulitan dalam membina hubungan karena pembatasan-pembatasan. Rasa lelah dan sikap sinis meningkat. Para milenial adalah pihak yang paling banyak menderita. Mungkin karena kebutuhan sosialisasi yang paling besar ada pada mereka.
The psychology of uncertainty
Perubahan-perubahan drastis seperti wafatnya anggota keluarga ataupun teman terdekat dapat memberikan rasa shock. Banyak anjuran untuk tetap bersyukur dan berani menghadapi perubahan ini, tetapi hal ini lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Sementara itu, kepanikan terhadap musibah yang bertubi-tubi ini justru berkembang lebih cepat daripada virusnya sendiri.
Bagian otak yang bertugas mengurus metode pertahanan diri kita, berusaha mendefinisikan keadaan apa yang aman dan mana yang tidak aman. Namun, situasi yang serba tidak jelas ini membuat otak kita tidak pernah mendapatkan jawaban jelas. Biasanya ia kemudian mengambil kemungkinan terberat dan mengingatkan diri kita tentang kemungkinan tersebut hingga menimbulkan rasa takut. Penelitian bahkan mengatakan bahwa tingkat stres kita lebih kecil dalam menghadapi kesakitan yang sudah pasti dibandingkan dengan ketidakjelasan apakah kita akan merasakan kesakitan atau tidak.
Mindset is everything
Cara pandang kita terhadap suatu gejala adalah kekuatan yang sebenarnya bisa kita kontrol. Kepanikan kita dapat dijawab dengan rasionalisasi yang lebih masuk akal. Masalah deadline dengan pekerjaan bertumpuk dapat kita urai, delegasi, ataupun bicarakan. Tidak semua hal adalah disrupsi bila kita dapat mengurai dan memahaminya. Para ahli molekul menemukan bahwa pikiran negatif atau pesimistis dapat memperpendek ukuran kromosom kita dan dengan sendirinya dapat memperpendek usia kita juga.
Berhenti sejenak
Kita semua mengalami situasi di mana pekerjaan menumpuk sampai sulit sekali mengambil cuti. Terkadang hal ini juga terkait rasa bersalah dan kekhawatiran dianggap tidak berkontribusi. Beragam dilema ini dilatarbelakangi oleh uncertainty yang semakin tidak jelas akibat bekerja yang dilakukan di rumah ini.
Kekhawatiran tentang kemungkinan pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat. Padahal, bukankah kita sendiri dapat menakar produktivitas? Tugas pimpinan perusahaan melalui pengelola SDM-nya adalah mengingatkan setiap individu dalam organisasi bahwa mereka harus sesekali mengambil jarak dari pekerjaan. “We can make workers comfortable enough to pause, take a breath and step back for a little while.”
Berlibur untuk meredakan ketegangan
Kondisi WFH ketika kita selalu berada di tengah keluarga sering kali membuat kebutuhan untuk berlibur bersama terasa tidak begitu mendesak. Padahal, dalam bekerja di rumah, kebanyakan dari kita berada dalam mode always-on schedule. Tanpa kita sadari, keadaan inilah yang sering menyebabkan ketegangan meningkat. Pergi berlibur dengan anak-anak dan menjauh dari pekerjaan dapat berdampak positif dan menyegarkan pikiran kita.
Di sinilah perusahaan perlu memikirkan program-program yang dapat membawa para karyawan keluar dari rutinitas kerja yang sekarang tidak berbatas ini, seperti olah raga bersama, trekking, atau menggarap hobi, seperti kursus memasak, home decorating, ataupun berkebun.
Atasan dapat mengedarkan kalender cuti kepada setiap anggota timnya untuk mendorong mereka yang enggan berlibur akan melakukannya karena melihat teman yang lain sudah menyusun jadwalnya. Seorang teman membagikan voucer salon kepada karyawan wanitanya sehingga dengan sendirinya mereka dapat menikmati me time dan melupakan pekerjaan.
Pada masa pandemi ini, merancang liburan saja sudah membangkitkan ketegangan. Mencari tempat yang berzona hijau, ditambah dengan beragam persiapan protokol kesehatan yang harus dipikirkan agar perjalanan tidak berbuah bencana. Sebenarnya liburan itu sendiri juga tidak berarti harus bepergian ke suatu tempat rekreasi. Sekadar lepas dari pekerjaan secara total sudah dapat digolongkan sebagai liburan. Mengeksplorasi tempat-tempat menarik di sekitar rumah pun dapat menjadi salah satu pilihan menyegarkan yang bisa kita lakukan.
Ada beberapa hal yang perlu kita pertimbangkan saat liburan.
Pertama, kita perlu menentukan waktu untuk dapat benar-benar disconnect dari kantor. Untuk menjaga tata karma, kita tentunya perlu membuat pesan otomatis di e-mail kita mengenai durasi waktu berlibur dan rekan yang dapat dihubungi bila memerlukan tanggapan segera. Kita juga perlu mempersiapkan beragam informasi, data mengenai pekerjaan agar tidak menyusahkan rekan kerja yang ditinggal. Terkadang kita memang tidak bisa memutuskan hubungan sampai 100 persen. Dalam hal ini, kita dapat membuat batasan-batasan seperti kapan akan membalas pesan-pesan yang mungkin memang membutuhkan tanggapan segera. Agar semua ini berjalan lancar, koordinasi, dan perencanaan, memang perlu dilakukan dengan saksama.
Yang jelas kita memang perlu mewaspadai agar gejala burnout tidak terjadi pada diri kita, ataupun anggota tim lain. Dalam jangka panjang, kita juga perlu mempersenjatai diri dengan sense of fullfillment yang kuat.
Eileen Rachman & Emilia Jakob
HR Consultant/Konsultan SDM
Baca juga : Mengelola Produktivitas di Hybrid Office