Ada perusahaan yang sama sekali tidak percaya pada produktivitas atau kegiatan bekerja dari rumah (work from home/WFH). Ketika pengumuman Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pertama kali dibuat, perusahaan ini diam-diam masih meminta 30 persen karyawannya untuk masuk, kemudian bertambah lagi menjadi 40 persen, dan terakhir bahkan mencapai 50 persen.

Konsep bekerja di perusahaan ini adalah masuk kerja tepat waktu dan terlihat sibuk bekerja. WFH membuat pimpinan perusahaan panik dan menerapkan sistem kontrol ketat yang menghasilkan ketegangan di antara karyawannya. Memang bekerja di rumah dapat membuat karyawan dengan mudah teralihkan perhatiannya, menunda, juga mungkin kurang serius menghadapi pekerjaan. Namun, tidakkah di kantor pun kita dapat menjumpai orang-orang yang hanya fisiknya berada di sana, sementara pikirannya entah melayang ke mana?

Dengan situasi yang masih seperti sekarang ini, mau tidak mau perusahaan harus menerima metode bekerja yang tidak bisa dihindari ini. Pertanyaannya adalah apakah kita dapat meningkatkan produktivitas dalam situasi WFH, atau paling tidak hybrid, setengah WFH dan setengah bekerja dari kantor (work from office/WFO) ini?

Kantor versus rumah

Penelitian oleh Stanford University terhadap 16 ribu karyawan yang bekerja dari rumah menemukan, ternyata produktivitas mereka meningkat sebanyak 13 persen dengan WFH. Produktivitas ini diukur dari meningkatnya percakapan, baik melalui telepon maupun audio visual, suasana kerja yang lebih nyaman, sampai berkurangnya waktu istirahat dan absen karena sakit.

Sebenarnya, ada beberapa faktor yang membedakan WFH dengan WFO secara signifikan.

Pertama, hilangnya waktu perjalanan rumah pulang-pergi ke kantor. Apalagi di Jakarta yang sebelum pandemi ini isu kemacetan senantiasa menghantui. Ada yang bisa menghabiskan waktu 6 jam hanya di perjalanan. Hal ini tentunya tidak terjadi bila kita dapat mengakses kantor dengan satu klik saja. Selisih waktu yang ada dapat dimanfaatkan untuk kegiatan produktivitas lain maupun kegiatan penghilang ketegangan seperti berolahraga atau bercengkerama dengan keluarga.

Namun, di sisi lain, WFH memang mengurangi interaksi sosial yang biasa kita temui di kantor. Di kantor, kita dapat mengobrol santai dengan rekan di dapur, toilet, maupun lift. Membangun hubungan informal terasa lebih sulit sekarang ini karena sering kali peserta langsung “meninggalkan ruangan” setelah topik pembahasan selesai.

Jadi, bagaimana caranya agar kita dapat tetap nyaman dengan situasi hybrid ini? Minimnya interaksi sosial yang berlangsung dalam waktu yang cukup lama terus menerus tentunya akan membawa dampak yang serius terhadap kesehatan mental para karyawan. “The loneliness of working at a home office affects productivity and job satisfaction”. Apalagi bila kantor ternyata menjadi satu-satunya sumber interaksi sosial dari karyawan.

The hybrid paradox

CEO Microsoft Satya Nadella mengatakan, kita memang menghadapi situasi yang dilematis. Para karyawan memang banyak kehilangan dinamika kehidupan kantor, tetapi kembali ke kantor dan meninggalkan kenyamanan bekerja dari rumah pun akan menjadi masalah. Mengukur produktivitas dari individu yang bekerja di rumah pun cukup sulit, sementara bekerja bersama di kantor juga memiliki banyak manfaat intangible, tetapi berpengaruh terhadap produktivitas.

Hal ini berarti bahwa kita perlu memiliki pendekatan baru untuk mengelola produktivitas dalam bekerja di dua dunia ini. Melihat tren masa sekarang, kendala yang kita alami, dan minat para milenial yang akan menempati 70 persen dari populasi kantor, kita perlu membuat pengukuran produktivitas yang sama sekali berbeda.

Prioritas pertama adalah wellbeing karyawan. Dalam situasi yang bisa dikatakan krisis ini, kita perlu mewaspadai burn out karyawan. Begitu pula sikap apatis yang mematikan kreativitas dan inovasi.

Bekerja remote dan in person bisa jadi membingungkan kesehatan mental individu. Banyak yang mengeluhkan bahwa WFH ini terasa lebih berat daripada WFO karena bekerja seolah tidak lagi mengenal waktu 9 to 5. Banyak rapat yang diselenggarakan selewat jam kerja, belum lagi pesan yang bertubi-tubi masuk dari berbagai Whatsapp group dan terasa menuntut untuk dibalas segera karena khawatir dianggap tidak responsif.

Hal ini pada akhirnya malah membuat pekerjaan yang sedang digarap tidak kunjung selesai. Situasi seperti ini tidak terjadi di kala WFO karena dengan fisik berada di kantor, kita tidak perlu bolak balik memeriksa ponsel untuk melihat apakah ada yang membutuhkan kita, mengingat kalaupun genting pasti rekan kerja atau atasan dapat segera menghampiri meja kerja kita.

Di sinilah manajemen perlu turun tangan mencari cara menyeimbangkan keadaan ini.

Kolaborasi

Studi di Microsoft menyimpulkan, motivasi terbesar karyawan ingin kembali ke kantor adalah kerinduan akan kolaborasi dan koneksi sosial. Namun, keadaan ini hanya memungkinkan bila semua orang pergi ke kantor secara berbarengan. Dengan sistem kantor hybrid, perlu ada kesepakatan kelompok kapan dan bagaimana karyawan akan melakukan pertemuan atau rapat sehingga tujuan untuk membangun ikatan emosional pun dapat tercapai agar kolaborasi dapat terjadi secara otomatis, dan brainstorming pun tidak diwarnai ketegangan.

Inovasi

Dalam praktik yang lalu, tim biasanya melakukan brainstorming secara berkelompok untuk berinovasi. Situasi ini tentunya dapat menghambat jalannya inovasi bila beranggapan bahwa brainstorming sulit dilakukan jika tidak berkumpul bersama. Inovasi pun sebenarnya perlu dilakukan dalam proses untuk menghasilkan inovasi itu sendiri. Bagaimana agar proses brainstorming dapat tetap berjalan secara efektif dalam keadaan hybrid ini. Kita tentunya dapat memanfaatkan beragam teknologi yang sudah begitu canggih untuk membantu dalam pekerjaan kita.

Pada akhirnya, kita semua perlu menyadari, kita bisa mengaku sukses bila pekerjaan menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari yang sebelumnya, tidak hanya diukur dari angka pendapatan, tetapi juga dari kualitas sumber daya manusia (SDM), kebahagiaan karyawan, kehendak mereka untuk menjaga agility dan kreativitas, serta berkolaborasi dan berinovasi.

 

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

HR Consultant/Konsultan SDM