Ketika ancaman resesi membayang di depan mata, tenaga-tenaga kerja potensial justru melepaskan posisi mereka. Sementara itu, kita semua tahu bahwa kinerja terbaik membutuhkan tim terbaik. Artinya, persaingan untuk mendapatkan talenta terbaik akan semakin sulit. Organisasi harus berjuang keras untuk mendapatkan talenta terbaik yang ada di pasaran dan mempertahankannya baik-baik.
The new age workforce
Bila pada masa lalu kebesaran organisasi dan penawaran gaji menjadi daya tarik utama para talenta, pada masa sekarang fleksibilitas bekerja juga menjadi daya tarik utama para talenta.
Begitu banyak talenta terbaik yang mundur dari perusahaan besar seperti Twitter ketika metode bekerja penuh waktu di kantor menjadi suatu keharusan. Mindset mereka sudah bergeser dengan mengutamakan work life balance sebagai salah satu nilai penting dalam hidup mereka.
Dalam salah satu penelitian Gallup, terlihat bahwa hanya 12 persen tenaga kerja ingin kembali bekerja secara penuh waktu di kantor. Selebihnya memilih bekerja secara hibrida sehingga mereka dapat memiliki kebebasan waktu yang lebih besar untuk mengatur tanggung jawab mereka antara di rumah dengan pekerjaan.
Tidak ada pilihan bagi organisasi, selain benar-benar mempertimbangkan pengaturan kerja bagi para profesional ini. Proses penanganan talenta, pengembangan, dan sikap manajemen ke karyawan perlu lebih atraktif dan menjadikan nilai-nilai hidup karyawan sebagai fokus utama.
Transparansi juga menjadi salah satu hal yang penting bagi para karyawan masa kini. Kejelasan mengenai compensation and benefit, program pengembangan, sampai jalur karier menjadi hal yang prioritas bagi mereka.
Budaya organisasi yang masih kental atmosfer like and dislike, ketika karyawan lebih banyak berfokus pada melayani kebutuhan atasan karena adanya berbagai kemudahan bagi mereka yang dekat dengan manajemen, lambat laun akan ditinggalkan oleh para talenta terbaik mereka. Ingat bahwa people quit bosses, not companies.
Para talenta terbaik ini juga membutuhkan organisasi yang memiliki purpose yang jelas dan bermanfaat bagi sesama. Mereka akan mempertimbangkan “nilai” organisasi dari bagaimana mereka diperlakukan oleh organisasi bahkan mulai dari proses rekrutmen mereka. Semakin transparan, cepat, dan informatif pihak perekrut, semakin kuat daya tarik mereka untuk bergabung. Proses yang bertele-tele dan tidak jelas akan membuat kandidat merasa tidak dihargai.
Fokus ke talenta
Dalam beberapa dekade terakhir ini, kita memahami pentingnya customer experience dalam merebut hati pelanggan produk kita. Hal yang sama seyogianya harus terjadi terhadap talenta-talenta kita. Memang dalam neraca perusahaan, talenta tidak pernah tercatat sebagai aset, bahkan dianggap sebagai beban.
Namun, coba Anda bayangkan bilamana “key person” Anda tiba-tiba menghilang? Siapa yang akan menjaga produktivitas organisasi tetap berjalan seperti biasa? Siapa yang akan memastikan pencapaian target terjadi? Bukankah talenta adalah juga periuk nasi yang sangat penting bagi organisasi? Mengapa mereka tidak kita jadikan prioritas?
Namun, bagaimana kita dapat mengubah mindset yang tadinya menganggap talenta sebagai beban bulanan, menjadi aset tetap? Bagaimana kita mengubah organisasi menjadi talent centric?
Yang jelas, kita harus menggeser fokus kita sedikit lebih jauh. Tidak hanya mencari the right man in the right place, tetapi juga menciptakan the right company bagi para talenta agar mereka justru yang mencari kita.
Pertama, kita perlu meyakini prinsip bahwa karyawan yang bahagia akan lebih produktif dan pada akhirnya mendatangkan keuntungan lebih banyak, baik kuantitas maupun kualitas kontribusinya. Mereka yang bahagia akan lebih lentur dalam pemikirannya dan terbuka menghadapi berbagai tantangan dengan sikap yang lebih positif.
Kedua, organisasi perlu menunjukkan perhatiannya pada perkembangan karier karyawannya. Tidak semua orang ingin naik pangkat dan menduduki jabatan tinggi. Namun, pada umumnya orang ingin berkembang menjadi lebih baik lagi, baik dalam hal keterampilan, kematangan soft competency, relasi, maupun finansial.
Oleh karena itu, kesempatan pembelajaran perlu terus didorong oleh organisasi baik secara formal maupun non formal melalui diskusi-diskusi di lapangan. Culture of feedback perlu digaungkan sehingga pertukaran masukan-masukan dapat berjalan lancar tanpa kekhawatiran terhadap penilaian.
Menjaga orientasi ke talenta
Sebenarnya kita bisa melihat banyak organisasi sudah mengumandangkan perhatiannya pada talenta mereka. Namun, dalam praktiknya, kebiasaan-kebiasaan lama seringkali terulang kembali, apalagi pada masa ketika tekanan meningkat.
Seperti halnya perkawinan, setiap pihak perlu menjaga komitmennya agar suasana positif tetap terjaga. Tanggung jawab menjaga komitmen menumbuhkan organisasi yang talent centric pun perlu dilakukan setiap insan dalam organisasi, mulai dari pimpinan sampai lini terbawah sekalipun. Kesediaan untuk membuka diri, berdiskusi mengenai hal-hal yang dianggap penting oleh para individu, harapan-harapan mereka perlu dilakukan secara berkala.
Pimpinan dan manajemen pun perlu memahami beberapa hal berikut ini.
- Apakah visi dan sasaran perusahaan digambarkan dengan jelas sehingga semua orang paham dan bergerak ke arah yang sama?
- Apakah banyak atau masih ada ide perbaikan yang tidak dipedulikan?
- Bagaimana turn over karyawan, apa yang menyebabkan mereka mengundurkan diri?
- Apa pendapat karyawan tentang pencapaian atau tidak tercapainya target perusahaan?
Pertanyaan-pertanyaan ini perlu menjadi bahan pembahasan yang serius, tanpa ada pihak yang menjadi kambing hitam. Kita perlu terbuka terhadap masukan-masukan baru, “brutal facts” yang justru bisa memicu perbaikan pada masa depan.
Pada akhirnya, kita harus ingat pada tujuan semula untuk mengutamakan manusia dan fokus pada human experience yang menyeluruh. “The Agile way is customer centric, purpose driven, capability based, and talent oriented.” – Pearl Zhu
Eileen Rachman & Emilia Jakob
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING
Baca juga : Mentalitas Silo