Bekerja secara digital mungkin tidak terbayangkan 20 tahun yang lalu ketika kita baru mengenal internet. Meskipun saat itu kita sudah melihat di film-film seperti Star Wars, yaitu orang bisa berkomunikasi nirkabel, tetapi bagi kita saat itu, magic-nya komunikasi seperti sekarang yang memungkinkan orang bekerja dari mana saja selama ada internet masih seperti mimpi.

Sekarang, muncul istilah digital nomad yang merujuk pada mereka yang bisa bekerja di mana saja tidak terikat pada waktu dan tempat. Tiba-tiba gelombang Covid-19 datang. Kita semua dipaksa bekerja secara virtual. Untungnya, perkembangan teknologi sudah demikian maju. Namun, alat-alat digital ternyata tidak menyelesaikan semua masalah. Kontak hati masih terasa canggung dilakukan melalui dunia maya ini.

Perusahaan yang tadinya sudah menganut open office cenderung lebih menikmati komunikasi secara visual, offline, yang atasan dengan mudah bisa menjangkau anggota timnya. Istilah management by wandering around yang sering digunakan dalam dunia hospitality dan dianut oleh manajer-manajer yang pragmatis, ternyata tidak bisa dilakukan secara daring. Di sini, tantangan terbesar perusahaan mulai terasa, yaitu produktivitas, efektivitas, dan efisiensi tidak mudah teraga oleh manajemen.

Gaya kerja tim yang beragam dengan irama yang belum tentu sama, membuat manajemen sulit menentukan arah. Banyak manajemen yang kemudian menerapkan disiplin mati. Semua yang dikerjakan oleh setiap individu perlu dilaporkan secara ketat. Namun, hal ini pun dirasa tidak 100 persen efektif karena tidak memberikan gambaran kinerja perusahaan secara keseluruhan.

Ada juga kantor yang menggunakan komunikasi audio visual hampir sepanjang hari. Situasi ini benar-benar membuat tegang. Belum lagi tidak stabilnya jaringan ataupun kesulitan menjangkau pusat data sehingga pekerjaan tidak bisa diselesaikan secara tuntas dan tepat waktu. Jadi, sepertinya, memindahkan work from office ke work from home ini tidak sesederhana yang kita pikirkan. Perusahaan yang sudah bagus koordinasinya pun belum tentu bisa menjamin empowerment karyawannya.

Transformasi tetap harus dirancang

Manajemen tidak bisa hanya tinggal diam dan menunggu kantor digital ini dapat secara otomatis membenahi diri dengan metabolismenya sendiri. Karena pertemuan-pertemuan terjadi secara digital dan terpisah-pisah, rencana kerja harus sangat jelas dan sering ditinjau kembali. Setiap orang perlu tahu ke mana organisasi akan dibawa, apa yang menjadi prioritas organisasi, serta kesadaran untuk berkontribusi secara nyata terhadap organisasi.

Ketidakmampuan menggunakan alat tulis dan komunikasi digital tidak bisa lagi dijadikan alasan bagi siapa pun untuk tidak berkinerja. Dalam hal ini, manajemen juga perlu cepat mendeteksi, pelatihan apa yang perlu diberikan pada setiap karyawan agar mereka terampil mengoptimalkan seluruh fitur alat-alat elektronik ini.

Informasi yang memang selalu menjadi komoditi terpenting dalam mendukung kinerja perusahaan, perlu dipantau para atasan, manajer, dan penyelia, agar kita yakin bahwa semua karyawan tidak ada yang ketinggalan informasi terbaru. Kita perlu mengingat bahwa sebuah perusahaan atau lembaga adalah kumpulan manusia, baik itu di kantor maupun terpisah-pisah. Mereka harus bekerja menuju sasaran yang sama, update dengan perkembangan dan juga perlu berkawan dan menghargai satu sama lain. Manajemen tidak bisa berlama-lama meraba kondisi manajemen perusahaan tanpa revisi visi, misi dan nilai-nilainya.

Positive coping

Hal yang juga perlu diperhatikan adalah kesehatan mental karyawan. Keterpaksaan menjalankan distancing ini pasti berbeda dengan ketika mengembangkan digital office yang tidak mendesak seperti sekarang. Ketegangan ini perlu diwaspadai dan ditangani dengan saksama.

Beberapa kantor mengharuskan karyawannya menggunakan seragam atau baju kerja selama jam bekerja. Rutinitas ini sebenarnya membantu karyawan untuk membedakan waktu kerjanya. Jadi, ia pun bisa beristirahat di luar jam kerjanya dengan baju santai. Kita juga perlu mempersingkat waktu video conferencing dan terampil menetapkan prioritas.

Coping alias penyesuaian diri bisa dilakukan dengan berbagai cara, ada yang negatif dan ada yang positif. Ada yang berlebihan, ada yang pas sesuai dengan porsinya. Seorang teman meredakan ketegangan dengan berolahraga, tetapi ia melakukannya terlalu sering sehingga mengalami cedera. Teman lain selalu mencari makanan ketika ia sedang menghadapi komputer dan tidak berpuasa. Ini adalah dampak yang perlu disiasati, baik secara individual maupun korporasi. Untungnya banyak sesi pelatihan mindfulness, baik berbayar maupun tidak untuk menjawab ketegangan situasi ini.

Hal yang juga perlu dipikirkan dalam menguatkan emosi para karyawan adalah menggantikan kehidupan sosial di kantor dengan kegiatan-kegiatan sosial digital. Ada kantor yang menyelenggarakan karaoke pada istirahat makan siang atau setelah jam kerja. Ada juga beberapa kegiatan melukis dengan cat air secara digital dan kegiatan-kegiatan relaksasi otak di luar pekerjaan.

Penggunaan komputer secara eksesif sekarang bisa menyebabkan kita mengalami cedera pada tulang punggung atau lengan. Karenanya kita perlu mengupayakan posisi duduk yang ergonomis dan menyusun posisi layar komputer, keyboard, serta kursi dengan benar. Dengan penanganan yang tepat, membangun kantor yang berjalan sinkron antara yang di dunia nyata maupun maya bisa menciptakan kantor the new normal.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 23 Mei 2020.