Bulan lalu, ketika suasana silaturahmi seharusnya terasa kental, kita dibuat tercengang dengan beberapa adegan marah-marah yang tidak terkontrol.

Ada ibu yang marah-marah ketika sebuah taman hiburan ditutup dan ada pengendara yang mengeluarkan kata-kata kasar, baik secara verbal maupun nonverbal ketika diminta petugas untuk putar balik. Puncaknya adalah petugas pemerintah yang dikeroyok oleh pengendara motor ketika meminta mereka untuk tidak meneruskan perjalanan.

Kita tentunya sangat prihatin dengan kejadian ini. Banyak di antara kita sebenarnya berempati dengan para pemudik yang begitu berhasrat pulang kampung. Namun, sangat disayangkan bila bentuk protes atau penderitaan itu kemudian berubah menjadi kemarahan agresif.

Menghadapi kesulitan hidup yang berkepanjangan seperti dalam pandemi ini memang membuat orang merasa perlu marah-marah. Namun, kemarahan ini tidak bisa dilampiaskan juga mengingat semua orang mengalami nasib yang sama.

Sense of normality dan rutinitas yang terhenti membuat kita rasanya ingin memberontak. Tidak pelak lagi, kadar kemarahan kita meningkat pada masa pandemi ini. Akibatnya, suasana menjadi semakin tegang, frekuensi pertengkaran suami istri, anak dengan orangtua, atasan bawahan pun semakin meningkat. Semuanya ini seolah-olah membuat kita sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah susah semakin susah lagi.

Kemarahan adalah emosi yang vital

Bayangkan orang yang dalam hidupnya tidak pernah marah. Alangkah hambar hidupnya. Sebaliknya kita bisa membayangkan hidup dengan orang yang berkarakter “senggol bacok”. Setiap ada provokasi emosinya memuncak. Ini pun terasa mengganggu karena kita akan lelah untuk senantiasa menjaga stabilitas emosinya agar tidak terkena hadiah luapan emosi darinya.

Kemarahan sebetulnya berguna buat kita. Marah-marah bisa membuat kita sadar terhadap batas dan prinsip kita. Kita bisa tahu bahwa ada hal yang tidak sesuai dengan prinsip yang kita anut. Di sinilah sebenarnya alarm berbunyi bagi kita untuk melakukan dialog diri dan melakukan refleksi mengenai apa yang salah dengan diri kita.

Bila kita mengacuhkan alarm rasa ini, sedikit demi sedikit gejala ini memang mereda. Namun, kekesalan, konflik, atau kegeraman akan menumpuk di dalam benak. Kemarahan itu seperti layaknya pegas yang bisa kita tekan dan tahan. Namun, bila kekuatan menahan semakin pudar seiring berjalannya waktu, pegas tersebut bisa lepas dan melesat menghantam segala yang ada di depannya. Tidak ada jalan lain selain mengolah keinginan marah-marah ini.

Dari jaringan otak ke ekspresi linguistik

Ketika kita terprovokasi oleh sesuatu hal yang membuat homeostatik kita terganggu, terjadilah proses-proses mental di otak yang menimbulkan kemarahan. Pada binatang, reaksi ini langsung berbentuk aksi. Sementara pada manusia, ada komponen otak yang disebut arousel component yang membuat kita seolah-olah meregang syaraf, tetapi juga ada cognitive component yang bisa meningkatkan perhatian kita pada ancaman dan menganalisisnya untuk menentukan bagaimana kita akan bereaksi terhadapnya.

Ini berbeda dengan binatang. Binatang yang marah akan mengeluarkan satu reaksi, sementara manusia dapat memilih beragam jenis reaksi, bahkan tidak bereaksi sekalipun. Inilah yang dinamakan anger regulation. Seseorang yang terprovokasi dapat menunda kemarahannya, berdiskusi dengan dirinya sendiri untuk mengatur reaksinya sebelum menyalurkan kemarahannya dalam bentuk yang sama sekali berbeda, demi situasi yang menguntungkan dirinya. Inilah yang dinamakan low road of brain activity.

Bahasa banyak berperan dalam ekspresi kemarahan. Dari analisis bahasa, seorang individu dapat menginterpretasikan kadar rasa marah lawan bicaranya. Manusia juga dapat mengatur tata bahasanya sesuai dengan kadar kemarahannya, membiasakan dirinya untuk tidak berkata kasar, sarkastik, sinis, dan mulai mengatur kecepatan skala peningkatan emosinya atau ekspresi kemarahannya. Rasa homeostatis ini juga dapat memengaruhi kondisi fisik dan mental, seperti motivasi, empati, adaptasi, dan bahkan well being.

Mengelola rasa ingin marah-marah

Sebagai makhluk tertinggi di dunia, kita sebetulnya bisa bersyukur bahwa kita memiliki kemampuan untuk mengatur kemarahan kita. Ketika situasi dan provokasi menyerang, kita masih bisa menganalisis dan memilah sebelum memutuskan apakah kita akan langsung bereaksi, menyimpannya di dalam hati, atau bahkan berkompromi. Ketika ingin mengekspresikan rasa marah pun, kita masih bisa memilih bagaimana cara yang tepat untuk mengekspresikannya.

Teknik jitu dalam mengatur emosi kita dapat dilakukan dengan metode RAIN (recognise, accept, investigate, dan nurture).

  • Recognise: kenali rasa marah Anda, kenali reaksi biologis yang muncul, dan cari tahu apa penyebab kemarahan Anda. Pilah-pilah mana yang mau ditanggapi dan yang mau diredam.
  • Accept: terima kenyataan tentang kemarahan ini dan katakan pada diri sendiri bahwa kita memang memiliki hak untuk marah.
  • Investigate: teliti apa saja reaksi dalam tubuh ketika rasa marah muncul. Mana yang sangat mengganggu, mana yang bisa diredakan. Atur napas, berlatih menenangkan diri sambil memahami rasa marah ini.
  • Nurture the anger: berkawan dengan kemarahan. Kita juga perlu belajar untuk bersikap positif pada diri kita sendiri sekalipun dalam keadaan marah. Kita perlu menghindari kegiatan self criticism dan menyalahkan diri sendiri pada saat marah. Orang yang bisa menghibur diri kita pada saat kita marah adalah diri kita sendiri. Bila bisa mengikuti irama emosi kita, emosi bisa mereda dengan halus bagaikan gelombang yang mendarat di pantai.

Menghadapi situasi pandemi ketika rasa marah dan frustrasi datang secara berkesinambungan, kegiatan pengelolaan emosi ini perlu secara rutin dilakukan. Untuk mengurangi provokasi, kita perlu berfokus pada apa yang bisa kita lakukan dan bukan kepada apa yang tidak bisa dilakukan. Untuk menguatkan fisik dan membangun emosi positif, olahraga teratur juga akan sangat membantu.

 

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

HR Consultant/Konsultan SDM

Baca jugaSense of Belongingness Karyawan WFH