Suara ambulans semakin sering terdengar, ditambah maraknya berita tentang saudara, teman, dan kolega yang terpapar. Berita buruk lain datang dari mereka yang terpaksa kehilangan pekerjaan atau berkurang pendapatannya. Pada saat sudah memiliki harapan untuk menuju kehidupan normal, kita kembali harus mengekang keinginan untuk keluar dan bertemu langsung dengan keluarga, teman, dan kolega. Kemampuan daya lenting kita untuk menjaga kesehatan mental agar mampu bangkit setiap kali mengalami kesulitan terus diuji.
Bagaimana kenyataannya?
Berdasarkan penelitian “Resiliensi Orang Indonesia” oleh panitia Dies Natalis ke-61 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, ternyata rata-rata resiliensi orang Indonesia tergolong rendah. Riset terhadap 5.817 peserta secara daring ini juga menemukan adanya gangguan yang dapat menurunkan kesehatan mental, antara lain sulit berkonsentrasi, tidak merasa puas dengan apa yang dijalani, merasa kehilangan peran, sulit mengambil keputusan, dan menyelesaikan masalah.
Dengan tekanan yang sedemikian besarnya, tak jarang orang mengalami burn out atau bahkan depresi. Sementara bisnis tetap harus berjalan, pekerjaan tetap harus diselesaikan. Diam menunggu tidak membuat periuk nasi terisi dengan sendirinya. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana kita bisa tetap waras dan produktif
Menambah saldo emosi positif
Ada orang yang sudah terlatih untuk menghadapi kesulitan semenjak masa kanak-kanak, tetapi banyak yang mungkin belum berpengalaman mengalami situasi pahit. Apa pun pengalamannya, setiap individu perlu mengembangkan kemampuan menanggapi situasi sulit dan bangkit kembali. Mereka yang terlatih menghadapi situasi sulit sedikit demi sedikit tentunya akan memiliki mental resilient yang lebih kuat ketika menghadapi kesulitan besar.
Konon, orang yang resilient memiliki kecenderungan untuk melihat segala sesuatunya dari sisi positif. Karena itu membangun emosi positif menjadi hal penting untuk dilakukan di masa ini. Ibarat tabungan, kita perlu terus menambah saldo kita dengan emosi positif dan mengurangi emosi negatif yang menguras saldo energi kita. Pada saat terpuruk, kita sering lupa memelihara diri kita sendiri. Kita kehilangan selera makan, tidak berolah raga, dan kurang tidur. Padahal kegiatan fisik seperti berolahraga dapat membangkitkan hormon endorfin sehingga membuat kita semakin bersemangat dan positif dalam menghadapi berbagai tantangan.
Makan yang sehat dan tidur yang cukup sangat penting agar kita dapat tetap menjaga kesehatan fisik. Pada akhirnya perasaan bahagia dan kepuasan akan bangkit dan tumbuh. Mendekatkan diri pada yang Ilahi lewat kehidupan doa dan kontemplasi atau melakukan meditasi akan sangat membantu untuk menenangkan kegelisahan diri yang terus bergejolak. Keluh kesah, gerutu, sikap skeptis, dan sikap negatif lainnya dapat ditekan saat kita melakukan kegiatan yang positif. Dengan memenuhi kebutuhan diri, energi kita bisa kembali ke situasi sebelumnya.
Melihat hal-hal lebih yang kita miliki daripada melihat kekurangan kita adalah salah satu hal yang dapat dilakukan untuk menaikkan tingkat kepuasan, baik terhadap kehidupan, pekerjaan, maupun relasi kita dengan orang lain. Alih-alih membandingkan diri dengan orang lain, mestinya kita lebih banyak mensyukuri apa yang ada. Hal ini tentunya dapat menjadi pengaman emosi diri kita tatkala menghadapi kesulitan atau kegagalan.
Pentingnya dukungan sosial
Keberadaan dukungan sosial sangat membantu kita dalam kesulitan. Keluarga dan teman dekat dapat menjadi penyeimbang di kala kita merasa buntu menghadapi berbagai macam permasalahan. Dalam kegiatan terapi kelompok, selain mendapatkan dukungan, tak jarang kita mendapati bahwa orang lain ternyata memiliki masalah yang jauh lebih besar, sehingga alih-alih terpuruk sendirian dalam masalah pribadi, kita malah tergerak untuk berbuat lebih bagi orang lain.
Mengambil kesempatan membantu orang lain dapat membuat kita bakat resilient lebih kuat dan berdaya. Tidak tertutup kemungkinan kita bahkan dapat menemukan bakat terpendam yang menjadi kekuatan baru kita. Riset menunjukkan bahwa penghargaan diri alias self esteem sangat memengaruhi energi kita untuk bangkit kembali.
Mengubah perspektif
Banyak orang berpikir dan terpaku pada satu solusi dalam menghadapi masalahnya sehingga ketika solusi itu tidak tersedia di depan mata, ia seperti menghadapi jalan buntu. Padahal, kita tahu bahwa “ada banyak jalan ke Roma”, bukan? Kita perlu belajar membuat dan mengasah kemampuan pemecahan masalah kita.
Perspektif bahwa hidup merupakan rangkaian latihan pemecahan masalah membuat kita terus mencari cara penyelesaian masalah dan bergerak maju ke masa depan. Kita menjadi termotivasi untuk terus belajar pengetahuan dan keterampilan baru yang membuat kita semakin piawai dalam menghadapi berbagai tantangan. Ini membantu membentuk watak resilient kita.
Kita juga dapat melihat masalah sebagai kesempatan baru untuk menemukan makna hidup kita. Seperti kata Frankl, seorang psikiater yang menjalani kehidupan di kamp Auschwitz pada masa Nazi, “We cannot avoid suffering, but we can choose how to cope with it, find meaning in it and move forward with renewed purpose.” Banyak yayasan kanker yang digerakkan oleh mereka yang kehilangan orang-orang yang dikasihinya karena kanker.
Pahami juga bagaimana peran kita terhadap permasalahan tersebut. “Simply waiting for a problem to go away on its own only prolongs the crisis.” Sebaiknya kita langsung mengambil langkah bila menemukan sedikit celah untuk penyelesaiannya. Hanya dengan mencoba dan bersikap proaktiflah kita dapat mencapai apa yang kita mau.
“Do not judge me by my success, judge me by how many times I fell down and got back up again.”
― Nelson Mandela
Eileen Rachman, Linawaty Mustopoh, dan Emilia Jakob
EXPERD
HR Consultant/Konsultan SDM
Baca juga : Politik Kantor Tak Selamanya Negatif