Dalam dunia pekerjaan pun hal ini bisa terjadi. Begitu mudahnya membuat grup WA terkait dengan aktivitas pekerjaan ataupun proyek tertentu. Mereka yang menderita FOMO akan stres bila tahu bahwa ia tidak tergabung di grup WA tertentu. Namun, penderita FOMO ini memang tidak ingin ketinggalan berita apa pun, baik hal itu berhubungan langsung dengan dirinya maupun tidak.
Apakah ini gejala kehidupan modern? Apakah ini gejala penyakit jiwa atau apakah ini suatu alarm yang mengingatkan kita tentang sesuatu? Bagaimana kita memutuskan siklus kebutuhan ini?
Media sosial dan FOMO
Bila Anda merasa terjebak FOMO, pertanyakan apakah gejala ini muncul setelah era media sosial atau sebenarnya sudah berjalan cukup lama meskipun dalam bentuk yang berbeda. Apakah Anda sering memaksa diri mengikuti berbagai acara yang sebenarnya tidak dinikmati, tetapi khawatir ketinggalan gosip-gosip terbaru dari acara tersebut?
Apakah Anda sering kecewa dan terus memikirkan situasi ketika tidak diundang untuk berpartisipasi dalam suatu acara ataupun kegiatan? Media sosial memang membuat munculnya FOMO semakin intens, tetapi sebenarnya hal tersebut bisa saja sudah terjadi sebelumnya.
Love and belonging berada dalam level tiga hierarki kebutuhan Maslow setelah kebutuhan dasar untuk bertahan hidup seperti makanan, berpakaian, tempat berlindung, dan kebutuhan akan rasa aman dengan memiliki pekerjaan, kesehatan, maupun sumber dana lainnya.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perasaan terhubung dengan orang lain dapat menurunkan tingkat stres dan pada akhirnya menaikkan daya tahan tubuh. Sebaliknya, rasa keterasingan membuat manusia merasa terancam sehingga membuat sistem saraf menjadi gelisah dan menumbuhkan rasa ketidaknyamanan bagi kita.
Mereka yang mengalami ini kemudian berusaha untuk mencari pelepasannya melalui media sosial-media sosial. Sekadar di-tag atau di-mention oleh temannya di media sosial menimbulkan rasa senang. Ketika ada orang yang menyukai postingan kita dengan memberikan tanda like atau bahkan comment dapat memberikan rasa senang yang menaikkan hormon dopamin kita.
Namun, sayangnya, semakin intens kita ingin mencari rasa senang ini, lama-kelamaan justru semakin meningkatkan kecemasan ketika tag, like, dan comment itu tidak ada. Rasa itu kemudian berkembang sampai merasa bahwa hidup orang lain lebih menyenangkan daripada diri kita dan kita terus membuka media sosial untuk melihat-lihat kehidupan orang lain. Di sinilah lingkaran setan bekerja sampai menjadi sebuah ketergantungan yang sulit dilepaskan.
Apalagi pada masa sekarang saat perputaran informasi sedemikian cepatnya dan berubah terus, hampir mustahil bila kita ingin selalu update dengan beragam informasi terbaru. Menambah frekuensi penggunaan media sosial justru akan menambah tingkat kecemasan kita.
Hasil penelitian mengatakan bahwa rata-rata manusia dewasa muda menghabiskan 147 menit sehari untuk bermain media sosial. Inilah yang menyebabkan kita selalu update dengan segala kejadian di dunia ini, dengan apa yang dilakukan orang lain, baik sahabat, rekan kerja, tetangga, maupun tokoh-tokoh publik.
Banyak juga yang kemudian tidak ingin merasa ketinggalan dengan ikut mendokumentasikan dan menyebarkan setiap aktivitasnya. Bahkan, sampai tidak memikirkan dampak postingan yang dilakukannya terhadap keselamatannya, hanya agar ia merasa dirinya sebagai bagian dari aktivitas lingkungan sosialnya.
Walaupun citra kehidupan orang di media sosial tidak menggambarkan kehidupannya secara utuh karena biasanya yang ditampilkan hanya bagian terbaiknya saja, kita tetap sulit menghentikan pemikiran yang membandingkan diri dengan orang lain. Montesquieu, penulis yang juga ahli filsafat mengatakan, “If one only wished to be happy, this could be easily accomplished; but we wish to be happier than other people, and this is always difficult, for we believe others to be happier than they are.”
Social comparison ini memang distruktif untuk rasa wellbeing kita. Para penderita FOMO umumnya terus berfokus keluar dirinya sehingga tidak pernah mengolah dirinya sendiri dan kehilangan sense of self yang autentik. Mereka sibuk membandingkan kehidupan nyatanya dengan kehidupan sosial media orang lain, sampai akhirnya menjadi asing dalam dunianya sendiri.
Mengubah fokus dan lebih bersyukur
Meskipun kita sadar hal ini membuat hidup kita semakin menderita, mengubah kebiasaan dan pikiran kita tidaklah mudah. Paul Dolan, penulis buku Happiness by Design: Change What You Do, Not How You Think, mengatakan, kebahagiaan kita terletak pada alokasi perhatian kita. Apa yang kita fokuskan akan memengaruhi tingkah laku dan kebahagiaan kita. Karena kemampuan fokus kita hanya terbatas pada beberapa hal saja, bila bisa mengurangi fokus kita pada hal-hal yang membuat galau dan sebenarnya tidak penting, kita memiliki ruang lebih besar untuk memikirkan hal-hal yang penting bagi kita.
Jadi, bagaimana kita bisa mengalihkan perhatian kita menghindari adiksi media sosial ini, sementara hidup menurut kita lumayan membosankan dan monoton? Start your day with learning, not scrolling.
Pandanglah sekeliling Anda. Apakah masih ada hal yang belum Anda syukuri? Rumah? Pekerjaan? Keluarga? Teman? Bayangkan bila hal-hal ini diambil dari kita. Bagaimana perasaan kita? Oleh karena itu, syukuri dan nikmatilah apa yang kita miliki saat ini dalam genggaman kita.
Pada dasarnya, rasa bersyukur adalah kunci kebahagiaan. Semakin seseorang bersyukur, semakin ia kebal terhadap depresi, kecemasan, dan rasa iri.
Meskipun sense of belonging memang merupakan salah satu kebutuhan manusia, kita tidak selalu perlu be connected. Sesekali kita memang perlu tahu apa yang terjadi dengan orang-orang di sekeliling kita, tetapi sesekali menikmati kesendirian, asyik juga.
Eileen Rachman & Emilia Jakob
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING
Baca juga : Mentalitas Silo