Siapa yang tidak kaget saat melihat seseorang memperlihatkan alat vital atau bagian tubuh sensitif lainnya di depan umum? Meski hal ini jarang dijumpai, perilaku tersebut benar-benar ada dan merisaukan masyarakat. Ini terjadi di berbagai negara. Gangguan mental atau emosional tersebut dikenal dengan ekshibisionisme atau gangguan ekshibisionis.

Charles Lasegue disebut-sebut sebagai orang pertama yang memperkenalkan istilah ekshibisionisme. Dokter asal Perancis ini menggambarkan fenomena kelainan mental tersebut pada 1877. Ia meyakini bahwa perilaku ekshibisionisme hanya dimiliki kaum Adam yang ditandai dengan dorongan kuat untuk memperlihatkan alat kelaminnya.

Gangguan kesehatan mental tersebut biasanya berawal sejak usia remaja setelah pubertas. Tanpa memedulikan konsekuensi sosial dan hukum, di tempat umum, seperti di pusat belanja, stasiun, terminal, dan area bandara, penderita ekshibisionis memperlihatkan area sensitifnya demi melampiaskan hasratnya.

Sejumlah faktor yang menjadi pemicu seseorang mengalami kelainan ekshibisionis, di antaranya penyalahgunaan alkohol, gangguan kepribadian antisosial, pelecehan seksual selama anak-anak, minat pada pedofilia, ketertarikan seksual pada masa kecil, dan penyimpangan seksual lainnya.

Seseorang yang memiliki fantasi atau perilaku berulang untuk meningkatkan gairah seksual dengan cara memperlihatkan alat kelamin pada orang lain setidaknya selama kurun waktu 6 bulan ada kemungkinan mengalami gejala ekshibisionisme. Penderita tersebut biasanya merasa tertekan karena tidak dapat menjalankan kehidupannya secara normal.

Menurut Psychology Today, prevalensi gangguan mental ini tidak diketahui secara pasti, tetapi diperkirakan menimpa sekitar 2-4 persen populasi laki-laki di dunia. Kondisi ini semakin berkurang seiring bertambahnya usia. Sementara pada perempuan, kasus ini jarang terjadi.

Parafilia

Ekshibisionis dan Gangguan Parafilia Lainnya

Gangguan ekshibisionis merupakan salah satu gangguan parafilik atau parafilia. Parafilia merupakan salah satu gangguan emosional yang melibatkan perilaku, dorongan, atau fantasi yang dapat membangkitkan gairah seksual. Kelainan ini tidak boleh dianggap remeh karena dapat memicu efek akut pada penderita.

Selain ekshibisionis, gangguan parafilia lainnya di antaranya adalah voyeuristic disorder atau gangguan voyeuristik. Orang yang mengidap gangguan ini biasanya sering mengamati orang tanpa busana demi memenuhi hasrat seksualnya. Langkah untuk mengobati gangguan ini umumnya melalui psikoterapi dan pemberian obat-obatan antidepresan.

Meski prevalensi dari penyakit tersebut tidak diketahui secara pasti. Faktor risiko diduga karena latar belakang penderita yang kelam, di antaranya pelecehan seksual, penggunaan obat yang salah, serta hiperseksual.

Baca juga:

Belajar Mindfulness untuk Mengelola Stres

Transvetisme

Ada juga transvestic disorder atau gangguan transvetisme, yakni perilaku pria yang gemar berpakaian dan berdandan bak seorang perempuan untuk membangkitkan gairah seksualnya. Sejumlah pengidap transvestic juga mengalami autogynephilia.

Pengobatan psikoterapi dan kelompok sosial pendukung, serta pemberian obat-obatan seperti antiandrogen merupakan upaya untuk membantu mengobati gangguan tersebut.

Gangguan perilaku lainnya yang juga masuk ke dalam kategori parafilia di antaranya pedophilic disorder, frotteuristic disorder, sexual sadism disorder, sexual masochism disorder, dan fetishistic disorder.

Apa pun jenis dan namanya, gangguan mental atau emosional tidak boleh dipandang sebelah mata. Menjaga kesehatan mental dan menerapkan pola hidup sehat merupakan salah satu upaya preventif menghindari gangguan parafilia.

Bila terdapat gejala yang mengindikasikan ke arah gangguan tersebut, penderita dianjurkan untuk segera berkonsultasi dengan dokter, psikolog, atau psikiater guna mendapatkan penanganan yang tepat.