Namun, berdasarkan indeks korupsi dari Corruption Perceptions Index 2022, Indonesia menduduki peringkat ke-110, jauh di bawah negara tetangga Malaysia yang berada di peringkat ke-65, apalagi negara kecil yang menempel dengan kepulauan kita yaitu Singapura yang berada di posisi 5 teratas.
Hal ini menunjukkan bahwa membangun budaya dan menyuntikkan nilai rasanya tidak bisa dilakukan lewat ajaran konsep dan teori semata, apalagi bila praktik di lapangan yang kita lihat sangat jauh berbeda dengan apa yang diajarkan di bangku-bangku kelas itu.
Pada saat sebuah organisasi sedang menyosialisasikan nilai human centric di organisasinya, pimpinan perusahaan tidak bisa menahan emosinya dan merusakkan komputer karyawan yang ditinggal pulang dalam keadaan masih menyala. Cerita ini dengan cepat beredar ke segenap insan di organisasi tersebut dan membuat sosialisasi nilai yang diupayakan oleh divisi SDM pun lenyap tertelan angin.
Membangun budaya memang sulit bila kita ingin budaya tersebut benar-benar meresap dalam jiwa segenap insan di organisasi. Budaya tidak teraba atau teraga dan karenanya sulit sekali dikendalikan.
Ada organisasi yang melatih orang-orang terpilih dengan harapan mereka menjadi agen-agen perubahan di seluruh penjuru organisasi. Ada yang membuat event-event besar untuk mengumandangkan budaya tersebut agar dikenal oleh seluruh karyawannya.
Ada juga yang membuat beragam program yang bertujuan menumbuhkan kebiasaan-kebiasaan baru yang selaras dengan perilaku dari budaya yang ingin ditanamkan. Beragam usaha dilakukan oleh organisasi untuk menumbuhkan budaya sesuai dengan harapan para founding fathers.
Direktorat Jenderal Pajak pernah mengeluarkan buku yang diberi judul Berkah, berisi tentang kisah bagaimana para karyawan menghadapi beragam tantangan dan mensyukuri perjalanan hidup mereka. Buku Berkah yang dimaksudkan untuk menyuntikkan nilai-nilai integritas ini memang terasa lebih menggigit ketimbang sekadar aturan do’s and don’ts yang biasa kita lihat di tembok-tembok kantor.
Ajaran mengenai kebaikan dan keburukan beserta dengan dampak-dampaknya sebenarnya kita dapatkan semenjak kecil dan masih bertahan dalam benak ingatan sampai sekarang melalui cerita-cerita. Pada masa kecil, kita menikmati kisah kecerdikan si kancil, Bawang Merah Bawang Putih, Malin Kundang, dan banyak cerita lainnya yang mengajarkan untuk mengenai nilai-nilai kehidupan.
Nilai-nilai keagamaan yang diajarkan kepada kita pun banyak yang dilakukan melalui cerita-cerita kehidupan para nabi dan orang suci. Tanpa kita sadari, cerita-cerita ini tertanam dengan kuat dalam ingatan kita, bahkan mungkin memengaruhi cara kita berperilaku dan mengambil keputusan.
Cerita-cerita seperti ini juga tidak mengenal batas. Kisah-kisah Mahabarata serta 1001 Malam dari negara-negara seberang lautan pun sudah kita kenal jauh sebelum jaman media sosial dan berpengaruh dalam banyak aspek budaya kita.
Kita lihat betapa kuatnya sebuah cerita menyebar dan mengubah pandangan hidup seseorang, bahkan menggerakkannya. Mengapa kita tidak menggunakan cerita untuk mengembangkan budaya organisasi kita?
Nyata dan asli
Kisah-kisah hidup perjuangan para founding fathers sebenarnya merupakan materi yang sangat bagus untuk menggugah semangat para karyawan. Chairman Kawan Lama Group Bapak Kuncoro Wibowo melalui bukunya, Cahaya Makna Kehidupan, menyampaikan cerita bagaimana membangun bisnisnya dari sebuah kios perkakas kecil menjadi megastore.
Cerita mengenai masa kecilnya yang selalu duduk sekeluarga untuk makan malam bersama dengan momen sang ayah memberikan wejangan-wejangan dan pengajaran hidupnya menjadi sebuah kebiasaan yang dibawa sampai sekarang bersama dengan keluarga besar Kawan Lama Group.
Kebersamaan itu menjadi penting karena baginya Kawan Lama adalah sebuah bisnis untuk keluarga dengan misi membawa kehidupan yang lebih baik. Ia juga menceritakan bagaimana ibunya yang setiap akhir minggu memasak makanan mengundang teman-teman dan tetangga untuk bercengkerama sambil makan bersama. Dari sinilah bibit keterampilan networking yang menjadi kunci kesuksesan bisnis Kawan Lama pun bertumbuh.
Tentunya mengungkapkan cerita pribadi dan membuka diri kita mengandung risiko. Kita tidak tahu dan tidak bisa mengontrol bagaimana reaksi orang-orang. Namun, efek positifnya pastilah lebih besar karena bagaimana lagi kita meyakinkan orang lain tentang dampak positif dari nilai yang ingin kita tegakkan selain dengan menggunakan diri sendiri sebagai contoh nyata?
Heroic dan WOW
Masihkah kita ingat pahlawan-pahlawan masa kecil kita dan betapa kita berusaha untuk meniru mereka? Mulai dari gaya berpakaian, perkataan sampai pada perbuatan mereka. Kisah mereka yang melakukan sesuatu yang luar biasa bagi orang lain, kesediaan untuk berkorban, kebaikan hati, selalu menginspirasi.
Hal inilah yang dilakukan oleh manajemen Hotel Ritz Carlton dalam menularkan nilai-nilai pelayanan mereka kepada semua jaringan Hotel Ritz Carlton di seluruh dunia. Dalam rapat harian yang dilakukan oleh seluruh karyawan Ritz Carlton, kisah-kisah mengenai bagaimana seorang insan di Ritz melakukan upaya extra mile dalam memberikan servis WOW yang akan membuat tamu jatuh hati kepada Ritz dibagikan secara luas.
Jadi, seorang petugas housekeeping di Ritz London akan mendengarkan cerita yang sama dengan seorang penjaga pintu di Ritz Hong Kong mengenai bagaimana seorang chef di Ritz Bali mengupayakan bahan makanan khusus bagi tamu hotelnya dengan meminta ibu mertuanya yang sedang berada di Singapura membelikan untuknya dan menerbangkannya ke Bali.
Dengan pelayanan spektakuler seperti ini, tidak saja keluarga tersebut akan selalu menginap di seluruh jaringan Hotel Ritz di mana pun mereka bepergian, mereka juga tentunya akan mengajak teman dan keluarganya melakukan hal serupa.
Penyebaran cerita seperti ini tidak saja membuat rekan-rekan lain mendapatkan contoh nyata mengenai penerapan nilai-nilai pelayanan organisasi, tetapi juga merupakan pemberian apresiasi kepada si pelaku. Siapa yang tidak bangga mengetahui bahwa perjuangannya mendapatkan pengakuan seperti itu dari organisasi? Cerita heroik seperti ini akan berkembang bagai virus dan dengan mudah memengaruhi budaya.
Melalui cerita, para karyawan akan lebih terbuka dan bersemangat mendiskusikan tentang nilai-nilai organisasi dan bagaimana mereka dapat menerapkannya dalam peran mereka masing-masing.
Eileen Rachman & Emilia Jakob
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING
Baca juga: