Banyak orang berusaha menghindari kegagalan. Dalam organisasi pun bila terjadi kegagalan, banyak kemudian yang mencari siapa yang harus bertanggung jawab. Kegagalan dianggap seperti aib dan jarang dibahas secara positif.

Setiap dari kita pasti pernah mengalami setidaknya satu kegagalan dalam hidup ini. Apalagi bagi mereka yang menjalankan bisnis, kegagalan seharusnya justru masuk pada salah satu agenda bisnis karena statistik menunjukkan bahwa 90 persen dari bisnis baru gagal dalam jangka waktu 5 tahun. Bisa dibayangkan, bila kita terpuruk jatuh karena satu kegagalan, bisa-bisa dunia ini penuh dengan orang yang terpuruk.

Dalam setiap kegagalan, kita memiliki kecenderungan mencari siapa yang bertanggung jawab, untuk kemudian disudutkan. Sikap dan reaksi seperti ini dapat menyebabkan orang takut melakukan kegagalan dan memang bisa membuat orang lebih berhati-hati. Namun, seberapa sering kita mempelajari apakah kesalahan yang terjadi itu memang seperti adanya? Ataukah ia merupakan puncak dari sebuah gunung es yang terdapat banyak potensi masalah di bawahnya yang bilamana tidak ditangani dengan segera akan menimbulkan masalah yang jauh lebih besar?

Misalnya, seorang sopir mengalami kecelakaan. Ia bisa dipersalahkan karena tidak sigap menginjak rem. Bila selesai sampai di situ saja, kita akan melewatkan fakta bahwa sopir tersebut mengalami kelelahan akibat jam kerja berkepanjangan yang disebabkan mismanagement dari atasannya yang tidak kompeten, tetapi memiliki hubungan baik dengan pemilik perusahaan. Mismanagement seperti ini bukan tidak mungkin dapat mengakibatkan kecelakaan yang lebih besar lagi pada masa mendatang.

Ada manajemen sebuah hotel terkenal yang memiliki kebiasaan berbeda. Bila biasanya kita mengenal hall of fame, tembok yang berisi foto orang-orang yang sukses, berhasil membuat inovasi, di hotel ini justru ada hall of failure yang memampang sosok-sosok yang pernah mengalami kegagalan di lingkungan hotel. Dari sini, kita melihat ada kebiasaan memandang hal ini secara berbeda dengan justru merayakan kegagalan.

Kita juga melihat kisah sukses pemimpin-pemimpin besar organisasi maupun dunia, yang tidak luput dari kisah-kisah kegagalan. Mulai dari yang mengalami drop out sekolah, terkena PHK, sampai pada keterpurukan bisnis. Bisa dikatakan justru kegagalanlah yang membentuk mereka hingga dapat mencapai kesuksesan.

Jadi, sebenarnya pola pikir mengenai kegagalan perlu ditinjau kembali. Pertama, kegagalan tidak selalu buruk. Kita mengalami krisis ekonomi yang mengancam perkembangan bisnis kita, perubahan peraturan pemerintah, kekurangan sumber daya yang dapat diandalkan, dan lainnya. Namun, belum tentu kejadian-kejadian itu berakibat buruk. Bisa saja hal ini merangsang perubahan, mendorong lahirnya inovasi-inovasi.

Kedua, belajar dari suatu kesalahan perlu ditindaklanjuti dengan upaya perbaikan. Analisis yang bunyinya hanya “lalai menjalankan prosedur” atau bahkan mencari pembenaran seperti “pasar belum siap menerima produk kita”, tidak membawa manfaat apa-apa bila tidak dikukuhkan dengan suatu prinsip dan tindak perbaikan.

3 kategori kegagalan

Sebenarnya, kita dapat menggolongkan kesalahan ke dalam tiga kategori.

Pertama, kesalahan yang seharusnya dapat dicegah. Contohnya, pelanggaran prosedur,  ketidakpatuhan terhadap disiplin yang sudah digariskan, dan ketidakmampuan menjalankan tata laksana yang sudah jelas. Dalam hal ini, manajemen perlu meninjau kembali standar prosedur yang ada beserta perangkat penunjangnya untuk menghindari kesalahan terjadi lagi. Setelah itu, lakukan perbaikan prosedur yang benar-benar dapat menghindari kesalahan serupa pada kemudian hari.

Kedua, kegagalan yang complexity related. Dalam kasus kecelakaan pesawat, membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan tahunan untuk sampai pada kesimpulan penyebab pasti musibah, mengingat banyaknya unsur yang terlibat di dalamnya, dari unsur manusia, kecanggihan teknologi, hingga unsur-unsur di luar kontrol manusia seperti cuaca. Perlu penelaahan yang mendalam sebelum menarik kesimpulan yang tepat. Terburu-buru menarik kesimpulan akan membawa kita pada solusi yang tidak tepat untuk mencegah kesalahan pada masa depan.

Ketiga, kegagalan yang cerdas. Organisasi yang cerdas memang sudah mengantisipasi hal ini yang berguna untuk mendapatkan pengetahuan baru yang belum ada best practice-nya selama ini, dan justru dibutuhkan untuk menyongsong pengembangan masa depan. Profesor Sim Sitkin menyebutnya sebagai intelligent failures.

Beragam penemuan baru di bidang kesehatan, pengobatan, dan teknologi pasti melalui serangkaian trial and error yang dilakukan para peneliti dan pengembang produk di organisasi tersebut. Di sinilah kegagalan membudaya dan dianggap sebagai upaya kemajuan. Perusahaan seperti IDEO yang semenjak awal memang menawarkan inovasi, bahkan menjadikan sikap ini sebagai salah satu kompetensi utamanya.

Lingkungan kerja yang psychologically safe

Tentunya tidak semua jenis bisnis bisa memiliki ideologi seperti perusahaan IDEO: fail often in order to succeed sooner. Namun, perusahaan bisa membangun semangat untuk berani mencoba, bereksperimen, dan terus mencari cara baru yang lebih baik di antara insan-insannya. Pimpinan perusahaan selalu harus menekankan, “We’re in the discovery business, and the faster we fail, the faster we’ll succeed.”

Perusahaan dengan budaya pembelajar yang menganggap kegagalan adalah pembelajaran bisa melawan budaya mencari kambing hitam. Tidak lekas memalingkan muka pada kegagalan, tetapi justru mempelajarinya dengan saksama dan kontekstual sehingga pelajaran yang didapat dari kegagalan akan optimal.

“Kegagalan seharusnya menjadi guru kita, bukan sesuatu yang menentukan hidup kita. Kegagalan adalah penundaan, bukan kekalahan. Ini jalan memutar sementara, bukan jalan buntu. Kegagalan adalah sesuatu yang dapat kita hindari hanya dengan tidak mengatakan apa-apa, tidak melakukan apa-apa, dan tidak menjadi apa-apa.”  

Denis Waitley

 

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

 

Baca juga:

Organizational Intelligence

Evaluasi Diri