Orangtua perlu waspada, anak-anak juga berisiko mengalami stres. Dalam suatu survei di Amerika Serikat beberapa tahun lalu, diketahui sedikitnya 72 persen anak-anak mengalami stres. Hal ini dapat dilihat dari perilaku yang cenderung negatif selama si kecil beraktivitas. Bila kondisi ini tak segera ditangani dapat memicu situasi lebih buruk lagi, semisal menurunkan konsentrasi belajar hingga menggerus prestasi akademik.

Orangtua bisa memperhatikan perilaku anak setiap hari. Bila si kecil tampak enggan bermain dengan teman-temannya, susah tidur, atau mudah marah, bisa jadi ia tengah dilanda stres. Orangtua perlu segera mengajak si kecil berbicara dan kesabaran akan menjadi kunci penting untuk mengungkap ketidaknyamanan yang dirasakan anak. Jika ini berhubungan dengan situasi di sekolahnya, orangtua perlu berbicara dengan guru.

Menurut beberapa pakar tumbuh kembang anak, sedikitnya ada lima faktor yang memicu stres pada anak. Berikut kelima faktor itu, disarikan dari Nakita.

Tekanan lebih

tekanan-lebih
(Foto-foto: Klasika Kompas/E. Siagian)

Sekitar 20 tahun lalu, kegiatan taman kanak-kanak (TK) lebih banyak diisi dengan bermain, bernyanyi, atau menggambar. Pelajaran menghitung bisa saja diberikan tapi porsinya amat sedikit. Kini, ada juga TK yang memberikan pekerjaan rumah untuk anak, mirip tahapan di sekolah dasar. Kondisi ini dianggap memberi tekanan lebih kepada anak yang secara usia belum sesuai. Anak pun bisa mengalami stres.

Rutinitas padat

Dunia anak-anak adalah bermain. Namun, banyak orangtua yang berusaha membekali si kecil dengan beragam aktivitas yang dianggap penting, seperti kursus musik atau les bahasa. Akibatnya, si kecil mengalami rutinitas yang padat. Hal ini akan memicu munculnya stres pada anak. Orangtua sebaiknya lebih peka terhadap kondisi anak.

Bullying

bullying
(Foto-foto: Klasika Kompas/E. Siagian)

Bullying pada anak tak selalu berupa kekerasan fisik dan verbal, tapi juga secara daring. Anak-anak yang terlanjur gemar bermain gawai dan akrab dengan media sosial, berisiko membaca konten atau komentar-komentar negatif atau lelucon yang sifatnya merendahkan. Ini juga dapat membuat anak menjadi stres.

Kurang istirahat

Beragam hiburan di televisi dan internet berpotensi mengurangi waktu istirahat anak. Ini akan memengaruhi emosi dan memorinya. Ujung-ujungnya akan membuat anak mengalami stres.

Konflik rumah tangga

Konflik rumah tangga akan sangat memengaruhi kejiwaan anak. Pertengkaran orangtua atau bahkan berujung perceraian akan memberi tekanan serius pada psikis anak. Dalam kasus ini, anak bisa mengalami stres lebih berat.

Nah, pandemi Covid-19 juga bisa memicu stres pada anak. Sebab, si kecil lebih banyak beraktivitas di rumah. Ia tak lagi memiliki kebebasan untuk bertemu dan bermain bersama teman-temannya. Bahkan bertatap muka dengan guru pun lebih banyak dilakukan secara daring.

Oleh sebab itu, orangtua atau keluarga terdekat perlu kreatif menciptakan suasana menyenangkan bagi anak. Agar buah hati senantiasa gembira dan tetap bersemangat belajar. [*]

Baca juga : Makanan Bergizi untuk Merangsang Kecerdasan Otak Anak