Namun, bila uang menjadi tujuan utama seseorang bekerja, kita tentunya berasumsi bahwa kelompok dalam tekanan ekonomi yang tinggi akan memiliki motivasi paling tinggi untuk bekerja. Kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari, banyak yang mengeluhkan sulitnya mencari asisten rumah tangga (ART) dan tak jarang ART keluar masuk seolah mereka tidak membutuhkan uang.
Dalam sebuah studi terhadap 2.000 pekerja yang dilakukan oleh Perkbox menemukan, gaji atau pendapatan berada pada posisi keenam alasan individu bekerja.
Kita harus ingat bahwa manusia adalah makhluk multidimensional. Dengan kebutuhan yang beraneka ragam, motivasi manusia juga tidak sesederhana yang kita sangka. Banyak unsur yang memengaruhinya. Motivasi individu tampak dalam sekumpulan emosi, seperti gairah, kesenangan, keinginan, passion, dan harapan.
Emosi ini muncul dalam beberapa trait dan kompetensi, seperti optimisme, kepercayaan diri, ambisi, dan ketangguhan. Bila motivasi melemah, emosi dan kompetensi ini pun tertutupi oleh emosi lain, seperti rasa takut, cemas, sedih, dan keraguan yang mengacaukan motivasi awal. Jadi, bagaimana kita memahami motivasi yang ternyata sulit diraba ini?
Psikolog Frederick Herzberg mengemukakan two factor theory yang menjadi dasar motivasi individu dalam bekerja. Pertama, hygiene factor yang berkenaan dengan lingkungan kerja, seperti peraturan dan kebijakan perusahaan serta gaji dan segala macam tunjangannya. Bila unsur-unsur ini tidak terpenuhi, timbul ketidakpuasan.
Namun, bukan berarti kalau semuanya terpenuhi individu akan merasa puas karena hygiene factor memang harapan individu akan hal-hal yang mereka rasa patut diterima. Adanya tunjangan kesehatan tidak akan meningkatkan motivasi individu dalam bekerja, tapi bila karyawan tidak memiliki tunjangan kesehatan, ia akan merasa organisasi tidak memedulikan kesejahteraan karyawannya.
Faktor kedua, motivators yang berkaitan langsung dengan pekerjaan itu sendiri. Misalnya, apa makna pekerjaan tersebut bagi individu, apakah kontribusinya akan dikenali dan diakui, fleksibilitas dalam waktu dan tempat bekerja, sampai pada bagaimana kesempatannya untuk maju dan berkembang.
Motivators ini bukanlah hal-hal yang menjadi tuntutan yang umum diminta oleh individu. Namun, keberadaannya dapat membuat organisasi tampil berbeda dari organisasi lainnya sehingga menjadi pilihan utama bagi individu.
Kedua hal itu tentunya sangat penting untuk diperhatikan secara seimbang. Ibarat sebuah restoran yang menyediakan added value berupa cashback, tempat yang instagramable, pelayanan yang ramah, tetapi makanannya sering tidak tersedia dan rasanya pun sulit diterima oleh lidah. Pastinya akan ditinggalkan oleh pelanggannya.
Sebagai pemimpin, kita perlu memperhatikan beberapa hal yang dapat memastikan individu memiliki motivasi untuk meningkatkan performa kerja mereka.
The right people in the right seats
Jim Collins dalam bukunya Good to Great menekankan pentingnya untuk memastikan kombinasi antara kompetensi serta minat yang dimiliki individu dengan tanggung jawab pekerjaan yang dijalaninya. Ini untuk memperbesar kesempatan sukses mereka di organisasi. One employee’s nightmare is another’s dream job.
Individu dengan tingkat prudence yang rendah akan frustrasi bila melakukan pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan ketelitian dan kesabaran. Sementara itu, mereka yang memiliki prudence tinggi justru akan kesulitan bila berhubungan dengan lingkungan kerja yang membutuhkan fleksibilitas. Kecocokan individu dengan sifat alami dari pekerjaannya akan membuat individu menikmati pekerjaannya sehingga ia merasa seperti sedang “bermain”.
Ia akan bersemangat mencari cara yang lebih baik untuk semakin meningkatkan kontribusinya. Di sinilah pentingnya untuk melakukan pengukuran kompetensi meliputi kapabilitas, kepribadian, dan nilai-nilai yang dimiliki individu sebelum menempatkannya dalam peran tertentu. Penilaian kompetensi yang dilakukan secara fair juga akan membuat individu merasa dihargai.
“The why”
Kita bisa jadi tidak begitu menikmati pekerjaan yang kita lakukan. Namun, bila menghargai dampak yang dihasilkan dari pekerjaan kita yang ternyata sesuai dengan nilai maupun tujuan hidup yang ingin kita raih, tentunya akan membuat kita terdorong untuk melakukan yang terbaik dalam pekerjaan itu.
Seorang perawat yang ingin membantu pasien menjadi sembuh akan tetap bersemangat dalam pekerjaannya meskipun ia tidak terlalu menikmati pekerjaan membersihkan pasien. Untuk itu, organisasi pun perlu memahami alasan individu bergabung dengan organisasinya, apakah nilai-nilai yang dimiliki oleh individu selaras dengan nilai-nilai organisasi. Apresiasi organisasi terhadap individu juga harus sejalan dengan nilai-nilai ini.
Zappos terkenal dengan keberaniannya untuk memegang teguh nilai yang dimilikinya. Sampai-sampai mereka akan memberikan 1.000 dollar AS kepada karyawan yang baru menjalani masa orientasi jika karyawan tersebut merasa bahwa nilai yang dimiliki Zappos tidak selaras dengan nilai dirinya dan memutuskan untuk mengundurkan diri.
Keselarasan nilai ini selain membuat individu merasa ia berkontribusi bagi organisasi juga memberikan makna bagi dunia. Ketika situasi berjalan tidak sesuai dengan harapan individu, kekuatan nilai ini akan menjadi suntikan energi yang tiada habisnya.
Pengembangan sebagai gratifikasi
Kita tahu bahwa segala sesuatu yang baru dapat merangsang produksi endorfin yang membuat kita bergairah. Memiliki kesempatan untuk mempelajari hal baru, mendapatkan pengalaman baru, juga akan meningkatkan motivasi individu untuk berbuat lebih.
Bayangkan sebuah organisasi dengan individu yang termotivasi untuk terus berkembang dan berkontribusi lebih banyak lagi. Semakin dalam kita mempelajari dan mengolah kepuasan kerja, semakin erat hubungan organisasi dengan individu dan dengan sendirinya akan menumbuhkan motivasi internal mereka.
“Motivasi adalah sebuah motor. Jika tidak dimulai, Anda tidak akan berhasil.”
Eileen Rachman & Emilia Jakob
HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM