Pada dasarnya, semua orang kerap cemas sebab ini adalah reaksi normal untuk menghadapi situasi yang membuat kita tertekan. Terkadang, kita juga perlu untuk menyamarkan tekanan itu jika berada di situasi tertentu. Waspadai serangan duck syndrome!
Misalnya, rekan kantor atau teman kuliah tetap berpakaian rapi, tersenyum, hingga menunjukkan sikap ramah saat kita bertemu. Namun, siapa tahu jauh di dalam, mereka sedang menghadapi masalah berat yang membuatnya tertekan.
Fenomena yang ternyata dikenal sebagai duck syndrome itu pun dijelaskan Ernestine Oktaviana SPsi, Konselor Dear Astrid, dalam siniar Anyaman Jiwa bertajuk “Istilah Duck Syndrome Gen Z” yang dapat diakses melalui dik.si/AJDuckSyndrome.
Apa itu duck syndrome?
Sindrom ini terjadi ketika kita menciptakan ilusi kehidupan yang sempurna, tapi sebenarnya sedang tertekan di dalam untuk mempertahankan semuanya. Penamaan istilah ini berasal dari gagasan tentang bebek yang mengayuh dengan cepat di bawah permukaan air, tetapi tampak tenang di permukaan.
Mengutip Psych Central, meski duck syndrome, bukanlah kondisi kesehatan mental, namun sindrom ini dapat menjadi tanda bahwa seseorang sedang mengalami kekalutan mental. Orang tersebut berusaha mencari solusi supaya tetap stabil fisik dan mentalnya. Namun, ketika berhadapan dengan orang-orang, ia tak memperlihatkannya.
Istilah sindrom ini pertama kali diperkenalkan di Universitas Stanford karena mayoritas penderitanya adalah kalangan mahasiswa. Meski mereka tertekan menghadapi segudang tugas dan ujian, saat berada di kelas, para mahasiswa tetap berpenampilan rapi. Namun, kini istilah ini tak terbatas hanya di mahasiswa saja.
Mengapa bisa menderita duck syndrome?
Ada banyak penyebab seseorang menderita sindrom ini. Pertama adalah perasaan cemas saat orang-orang tahu kehidupan kita yang tak sempurna. Hal ini disebabkan orang tersebut merasa tidak ada yang bisa memahami atau pernah mengalami kejadian buruk, seperti di-bully.
Kedua, penelitian Dewi (2021) mengungkapkan penyebab lainnya penderita sindrom ini adalah dipaksa oleh lingkungan untuk selalu adaptif dan responsif menghadapi berbagai situasi. Situasi yang penuh tekanan, persaingan, dan konflik, membuat seseorang harus bertindak untuk segera mencari solusi.
Misalnya, saat anak tak menunjukkan hasil yang memuaskan, orangtua cenderung menekan mereka untuk bekerja lebih giat. Jika nilai ujiannya jelek, orangtua memaksa anak untuk belajar lebih keras lain. Apabila ingin mengeluh, orangtua cenderung akan memukul atau melontarkan kalimat kasar ke anak.
Tanda dan gejala duck syndrome
Mengutip Medicine Net, Meski bukan suatu kondisi medis, duck syndrome sering menunjukkan bahwa penderitanya memiliki masalah kesehatan mental, seperti depresi dan cemas. Hal inilah yang membuat tanda dan gejalanya bisa bervariasi.
Namun, secara umum penderita sindrom ini menunjukkan tanda dan gejala sebagai berikut.
- Sering membandingkan diri dengan orang lain dan merasa diri lebih buruk dari orang tersebut.
- Sulit mengungkapkan atau menceritakan masalah pada orang lain dan lebih senang memendamnya sendiri hingga berdampak pada kesehatan fisik dan mental.
- Merasa seolah-olah gagal memenuhi tuntutan hidup.
- Takut dikritik sehingga merasa harus selalu tampil menjadi sosok yang sempurna.
- Merasa orang lain memanipulasi situasi untuk menguji pekerjaan penderitanya.
Lantas, bagaimana jika terlanjur mengalami duck syndrome? Adakah cara mengatasinya? Kalian bisa mendengarkan informasi selengkapnya melalui siniar Anyaman Jiwa bertajuk “Istilah Duck Syndrome Gen Z” di Spotify.
Di sana, ada banyak pula informasi dan kisah seputar kesehatan mental untuk menunjang kehidupan sosial, romansa, dan kariermu!
Ikuti siniarnya agar kalian tak tertinggal tiap ada episode terbarunya. Akses sekarang juga episode ini melalui tautan berikut dik.si/AJDuckSyndrome.
Penulis: Alifia Putri Yudanti dan Ikko Anata
Baca juga: The New Normal, Berubahnya Gaya Hidup