Sudah sebulan lebih kita berada dalam kondisi menjaga jarak membatasi interaksi fisik. Banyak dari kita yang awalnya merasa nyaman-nyaman saja bekerja dari rumah dengan dukungan akses internet. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, ternyata situasi ini menekan emosi juga.

Beberapa anak kecil berusaha lari ke jalan ingin menikmati bermain dengan teman-temannya. Orangtua yang tinggal di rumah pun harus memutar otak bagaimana meneruskan mata pencaharian yang semakin sulit ini. Apalagi ternyata muncul pengumuman pemerintah yang memperpanjang seruan tinggal di rumah. Situasi ini dirasakan hampir di seluruh dunia, dengan ketegangan dan bahkan shock.

Pada awalnya, semua orang mengikuti dengan tegang pengumuman perkembangan jumlah penderita, berapa yang sembuh dan berapa yang meninggal. Kita semua berada dalam kekhawatiran yang sangat mendalam, apalagi bila mendengar orang yang kita kenal menjadi korbannya.

Semula kita pergi tidur dengan harapan virus ini akan hilang dalam waktu cepat. Namun, harapan ini ternyata tidak kunjung terkabulkan, bahkan semakin parah. Diperparah pula dengan kondisi finansial yang tidak menentu. Ada yang tidak jelas apakah masih bisa meneruskan bisnisnya, ada yang terkena pemotongan gaji, bahkan ada yang dirumahkan tanpa gaji. Ini benar-benar adalah masa gelap yang belum pernah dialami kita semua.

Pertanyaannya, apakah kita tidak berusaha mengolah batin untuk menerima kenyataan jika isolasi ini akan berlangsung lebih lama daripada perkiraan kita? Selain itu, bagaimana cara hidup kita bila semua ini benar-benar berakhir? Apakah kita akan kembali hidup seperti sedia kala? Apakah kita tidak berusaha beradaptasi dengan keadaan ini dan keluar dengan semangat baru?

Life lessons

Dari setiap krisis, sebenarnya kita bisa mendapatkan pelajaran hidup tertentu, yang bila dipelajari dapat mengubah hidup kita menjadi lebih baik. Ini adalah kesempatan kita untuk belajar dan berubah. Bisakah kita menganggap bahwa krisis ini adalah uang sekolah yang demikian besar nilainya agar kita naik kelas menjadi manusia dengan mutu yang lebih baik?

Krisis ini memang membuat orang berhenti, bukan hanya berhenti bepergian maupun beribadah bersama. Namun, di sini, kita berhenti untuk berefleksi dan memikirkan apa yang benar-benar esensial. Kita memang tidak bisa lagi berkumpul dan makan bersama merayakan perayaan agama, tetapi diajak untuk berdialog lebih intens dengan pencipta kita. Kita seolah diultimatum oleh semesta untuk mempelajari cara hidup baru.

Ayo belajar

Pelajaran pertama dalam kondisi sekarang ini sebenarnya adalah memperkuat rasa syukur bahwa kita masih bisa melihat udara luar dan bisa bernapas dengan lancar. Kita memang merasa rindu dengan kehidupan sebelum ini, tetapi sekarang kita belajar untuk lebih menghargai kehidupan.

Kita juga lebih menghargai arti kemanusiaan dan kesehatan sehingga bersedia mengurung diri tidak keluar rumah demi kesehatan masyarakat luas. Selain itu, kita juga belajar arti kebersihan yang dulu sering diabaikan seperti mencuci tangan maupun tidak berbagi makanan dengan sendok yang sama dengan yang masuk ke mulut kita.

Inilah masa ketika kita benar-benar kembali ke keluarga inti, menghargai kebersamaan serta komunikasi satu sama lain. Inilah saat yang baik untuk belajar mengerem, melepas, dan menyalurkan emosi pada saat yang tepat. Pertemanan yang biasanya kita anggap sudah lumrah, sekarang terasa demikian berharga.

Melalui hidup di rumah, kita merasakan betapa mudah, murah, sehat, dan lezatnya makanan rumah. Teman saya membuat roti setiap pagi. Kita belajar menyadari betapa roti segar ini ternyata membangkitkan mood juga untuk merasa segar. Kehidupan domestik seolah lahir kembali dan penghuninya pun menikmatinya.

Kita juga terenyak menyadari betapa selama ini sudah membeli terlalu banyak, jajan terlalu banyak dan mengonsumsi barang yang tidak kita butuhkan. Kita tidak tahu bagaimana kita akan memakai semua pakaian, sepatu, tas dan aksesori yang dimiliki. Sementara itu, kita sekarang hanya membutuhkan beberapa potong baju. Dari situasi ini, kita juga belajar bahwa sebetulnya kita bisa menabung lebih banyak, asalkan bisa menahan nafsu untuk membeli yang memang kita butuhkan, bukan sekadar kita inginkan.

Hal yang juga tidak kalah pentingnya adalah betapa kita jadi lebih bisa menghargai alam. Burung yang bebas bernyanyi, polusi berkurang, dan langit pun cerah. Tidakkah kita setuju bahwa semesta sedang mendapat kesempatan untuk berbenah, dengan bantuan manusia yang juga sedang berusaha membenahi diri sendiri.

“The new normal” setelah Covid-19

Banyak meme di media sosial yang menanyakan apa yang akan Anda lakukan bila ancaman Covid-19 ini berlalu. Jawabannya macam-macam. Ada yang akan segera pergi ke salon kecantikan langganan ataupun sekadar meneguk kopi di kafe kesayangannya. Pertanyaannya, apakah kita tidak ingin meneruskan gaya hidup lebih sehat yang sudah dipelajari dari masa isolasi ini?

Beberapa kebiasaan yang sudah terbentuk akan menjadi the new normal setelah krisis ini. Orang yang cerdas akan mengubah gaya hidup yang berlebihan dan tidak perlu. Orang pun akan lebih menghargai lingkungan. Kita sudah memasuki dan menikmati kehidupan stay at home dan berkeliaran layaknya digital nomad.

Hal-hal yang dipelajari pada masa isolasi yang membuat hidup kita lebih balance tentunya bisa diteruskan. Kita sudah menjangkau konser-konser dunia dan lokakarya-lokakarya dunia melalui Zoom dan IG live. Ini bukti bahwa kita yang tadinya terpaksa digital sekarang sudah berselancar dengan gelombang digitalisasi ini.

Tampaknya, kita sudah memasuki landasan kehidupan yang berbeda dan sekaranglah waktunya memanaskan mesin untuk tinggal landas di track yang berbeda: the new normal.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 2 Mei 2020.