Menghadapi era digital, saat ini, banyak organisasi yang berlomba-lomba melakukan transformasi digital untuk dapat membawa organisasi mereka tetap bertahan dalam kompetisi bisnis yang semakin menantang. Para pemimpin pun sadar bahwa kunci sukses dalam transformasi ini sebenarnya adalah transformasi manusia-manusia di dalamnya. Digital transformation is not about technology, it is about people. Para pemimpin bisnis ini juga melihat kesuksesan organisasi yang mengedepankan user experience dan data driven customer experience dalam interaksi organisasi mereka dengan para pelanggannya melalui produk dan servis yang mereka berikan. Namun, sejauh mana organisasi telah membangun employee experience dalam strategi manajemennya? Mengingat peran penting karyawan sebagai kunci utama kesuksesan organisasi pada saat ini maupun masa mendatang, sejauh mana kita telah benar-benar mendalami employee experience ini dan mewujudkannya dalam berbagai keputusan strategis kita? Ataukah tanpa disadari kita masih menggunakan pendekatan-pendekatan yang sama seperti zaman dulu meskipun sudah mengagung-agungkan slogan people centered dalam organisasi?

Apa sebenarnya yang diinginkan karyawan?

Covid-19 membuat karyawan lebih banyak memikirkan “aku”-nya sendiri; kebutuhannya akan keseimbangan kesejahteraan fisik dan psikis, jarak rumah-kantor yang semakin mengganggu sampai pada makna pekerjaan bagi eksistensinya di dunia ini. Namun, individu bekerja ini juga menyadari bahwa mereka pun harus berproduksi di dunia kerja.

Dalam dunia kerja yang mereka jalani ini juga terdapat individu-individu lain, yaitu tim kerja serta para pelanggannya. Jadi, ada tiga dimensi yang perlu kita pertimbangkan: aku, kita, dan dunia kerja. Mengapa “kita” harus diperhitungkan? Sikap pemimpin, atasan, rekan kerja, sangat berpengaruh pada emosi dan mental individu. Budaya kerja perusahaan atau lembaga sangat dipengaruhi oleh sikap manusia di dalamnya.

Tiga unsur ini perlu berjalan secara sinkron dan harmonis. Individu memberikan dirinya kepada kelompok dalam bentuk engagement sekaligus berkontribusi kepada pekerjaan. Hubungan kerja dengan sesama anggota timnya akan memberikan rasa aman pada individu. Sementara itu, pekerjaan memberikan tantangan yang membangkitkan motivasi, sekaligus juga memberikan reward pada individu. Pemimpin yang baik perlu menjaga agar ketiga unsur ini berkontribusi satu sama lain secara berkesinambungan.

Dengan demikian, kita memang perlu selektif dalam menyaring calon karyawan yang akan bergabung dengan organisasi kita. Mengingat setiap individu memiliki nilai hidupnya sendiri sehingga proses penggabungannya akan mempengaruhi ekosistem yang sudah terbangun dalam organisasi. Kita memang perlu menghargai diversifikasi. Namun, kita pun perlu memastikan bahwa individu yang bergabung dapat beradaptasi baik dengan lingkungan.

Generasi karyawan, baik sekarang maupun masa mendatang, membutuhkan transparansi, pengukuran yang jelas terhadap kinerjanya, umpan balik yang obyektif, serta kepedulian terhadap komunitas yang lebih luas dari organisasinya sendiri.

Kita memang tidak akan lepas dari mesin dan sistem dalam mengelola employee experience ini. Untuk itu sistem performance management harus kita evaluasi apakah sudah benar-benar dapat secara obyektif mengelola kemajuan kinerja dan pengembangan talenta.

Menghayati “employee experience

Dahulu, kita mengenal konsep kepemimpinan yang visioner dan karismatik. Saat sekarang, implementasi dan turun ke lapangan adalah salah satu kunci menuju kesuksesan di samping kemampuan berpikir strategis. Pemimpin perlu terampil mengelola manusia di sekitarnya, sampai menyentuh pada masing-masing individu yang ada. Dalam hal ini, ada beberapa tambahan pendekatan yang dapat dilakukan oleh pemimpin.

Pertama, meluangkan quality time dengan anak buah. Hal ini tidak lagi menjadi kegiatan yang good to have saja. Berbicara dengan anak buah adalah suatu keharusan. Hanya melalui bicara dari hati ke hati, kita dapat mengenal setiap individu secara mendalam, mendapatkan informasi mengenai lingkungan kerjanya sambil juga membuka kesempatan bagi mereka untuk mengenal diri kita, nilai-nilai dan komitmen kita secara lebih mendalam. Program memperbaiki hubungan ini menjadi program wajib yang tidak bisa ditawar-tawar. Genuine connection fosters loyalty, and offering help is something they’ll remember forever.

Kedua, membudayakan supportive closeness yang tulus. Budaya saling membantu layaknya saudara akan membuat karyawan merasa mereka tidak sendiri dalam situasi krisis sekalipun. Tidak ada saling tuduh menuduh ketika terjadi kesalahan dan membantu mereka untuk dapat tetap berkontribusi meskipun sedang memiliki masalah di luar pekerjaan. Karyawan merasa memiliki psychological safety dalam pekerjaannya.

Ketiga, menerapkan konsep well-being, baik pada kehidupan pribadi maupun karyawan. Karyawan yang tercukupi kesejahteraan batinnya dengan keseimbangan hidup yang baik bersama dengan keluarganya akan bekerja dengan passion yang lebih kuat.

Keempat, membiasakan proses pemberian umpan balik sebagai agenda pengembangan. Umpan balik pun dapat bersifat dua arah, tidak hanya dari atas ke bawah, tetapi juga dari bawah ke atas. Dengan meminta masukan dari para karyawan, baik untuk pimpinan maupun organisasi, ini akan membuat para karyawan juga lebih terbuka untuk menerima umpan balik yang diberikan kepadanya dengan tujuan pengembangan dirinya. Lambat laun pemberian umpan balik yang diwarnai dengan ketulusan seperti ini pun akan menjadi sebuah kebutuhan dalam proses pengembangan.

Kelima, tekankan pada kemajuan. Masa-masa menekankan pada governance sudah berlalu. Governance sudah menjadi suatu standar dan saat ini kita membutuhkan growth mindset dari setiap karyawan untuk membawa organisasi terus bergerak maju.

Dialog antara pimpinan dan karyawan adalah kunci. Dengan terbangunnya rasa percaya, kita pun bisa mengingatkan karyawan bahwa kewaspadaan harus dipertahankan setiap saat. “Openness and meaningful, two-way dialogue is the only way to give employees confidence that their company is taking the actions it should.”

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Baca juga : Budaya Apresiatif

Memaknai Nilai Korporasi