Banyak yang menganggap bahwa pekerjaan dalam dunia dengan kecanggihan teknologi seperti sekarang ini membuat kita tidak lagi membutuhkan keterampilan-keterampilan seperti komunikasi, negosiasi, membina hubungan interpersonal ataupun pemahaman emotional intelligence.

Namun, kenyataan berkata lain. Menurut pemimpin sebuah perusahaan teknologi informasi (TI) yang menjual perangkat lunak, soft skills menjadi penting karena knowing how to code will only get you so far. Oleh karena itu, ia menuntut agar keterampilan kepemimpinan dan soft skills lainnya dari para supervisor dan manajer dapat ditingkatkan.

Sascha Giese, seorang pakar TI, juga menekankan pentingnya soft skills pada para pekerja IT. Dengan berkembangnya sektor TI di semua lingkungan, keterampilan-keterampilan teknis memang terasa semakin dibutuhkan orang. Pengetahuan dan keterampilan yang spesifik semakin dicari sehingga para profesional yang bergerak di bidang ini merasakan betapa mereka sangat dibutuhkan di lingkungan kerja.

Namun, semakin lama masa kerja serta semakin besar tanggung jawab, semakin terasa pentingnya keterampilan yang bersifat lebih holistis dan yang lebih menekankan keterampilan nonteknikal. Mau tidak mau, cepat atau lambat, para profesional teknik ini harus menghadapi publik. Mereka tidak mungkin hanya bersembunyi di balik layar komputer. Mereka tentunya perlu memahami sasaran organisasi, beradaptasi dan berkreasi sambil tetap mengembangkan kapabilitas teknisnya. Soft skills aren’t optional—they’re essential.

Masing-masing dari kita perlu berpikir bagaimana menjadi a well-rounded professional. Tidak ada eksekutif yang sukses tanpa memiliki keterampilan soft skills yang kuat. Bila hanya berfokus pada kemampuan teknis, kesuksesan akan terasa pincang. Mungkin kita pernah mendengar adanya pemimpin yang sangat cerdas, bahkan jenius, tetapi tidak berhasil membina organisasi dan para suksesornya dengan baik. Hal ini dikarenakan kemampuan soft skills-nya yang tidak berkembang.

Bisa jadi ia sukses menjadi seorang kontributor pada organisasinya, tetapi timnya tidak happy bekerja di bawah kepemimpinannya, yang pada akhirnya berdampak pada kontribusi mereka dan performa organisasi. Untuk itu, ia memerlukan soft skills yang sering kita pandang enteng. Soft skills aren’t soft!

Tidak hanya dalam organisasi. Seorang profesional, katakanlah seorang dokter yang tidak bisa berkomunikasi, tidak hanya tidak disukai pasiennya, tetapi juga akan mengalami kesulitan mendapatkan pengetahuan tambahan dari teman-teman sejawatnya. Dalam suatu riset yang diadakan oleh para perekrut, 94 persen percaya, seorang profesional yang dilengkapi dengan soft skills memiliki kesempatan yang jauh lebih besar untuk dipromosikan ke posisi pemimpin dibandingkan dengan mereka yang hanya memiliki keterampilan teknis.

Pengembangan keterampilan teknis berbeda dengan soft skills. Keterampilan teknis perlu diperbaharui dari waktu ke waktu, sementara soft skills semakin hari akan semakin kental, hidup terus dan bisa diasah sesuai kebutuhan dan tingkat tanggung jawabnya.

Menjadi atasan

Ketika seorang programmer ditunjuk untuk memimpin timnya, ia baru sadar, tugas ini tidak sama dengan tugas-tugas terdahulunya. Memenuhi target melalui rekan-rekannya ternyata tergantung pada banyak hal di luar hal teknis.

Tiba-tiba ia harus menjaga motivasi timnya, berkomunikasi secara intensif menjaga engagement kelompok dan inovasi setiap individu dalam timnya. Tiba-tiba ia menyadari, situasi emosional memang harus bisa ia kuasai. Belum lagi, bila ia harus mempresentasikan hasil kerja timnya kepada manajemen dan pelanggan. Ia juga harus dapat menilai manusia yang begitu kompleksnya ketika ingin merekrut anggota baru untuk timnya. Manajer yang sukses dapat dipastikan memiliki kapasitas komunikasi yang kuat. Ia tahu apa yang harus dikatakan dan bagaimana mengatakannya.

“Becoming the best self”

Terkadang kita mengasumsikan, kepemimpinan itu erat hubungannya dengan tim, anak buah, dan followers. Padahal, seorang kontributor individual pun membutuhkan keterampilan kepemimpinan. Seorang profesional yang memiliki kapasitas empati, inteligensi emosi dan komunikasi pasti akan bernilai tinggi walaupun ia bukan seorang manajer.

  • Situs tenaga kerja terbesar LinkedIn mengatakan, soft skills terkuat yang dibutuhkan seorang profesional sekarang ini adalah sebagai berikut.
  • Kreativitas: kekuatan untuk menciptakan ide-ide segar dan membawanya ke dalam organisasi.
  • Persuasi: membutuhkan tingkat keterampilan yang sangat halus mengingat manusia tidak senang dipengaruhi walaupun mereka senang membeli.
  • Kolaborasi: untuk membawa tim ke dalam hubungan yang lebih kohesif. Dinamika tim yang beraneka warna tentunya membutuhkan keterampilan komunikasi yang sangat kuat.
  • Adaptibilitas adalah keterampilan abad ke-21. Perubahan berkecepatan tinggi membuat kita tidak bisa melihat masa depan dengan jelas. Kemampuan kita bergerak cepat di atas perubahan membutuhkan keberanian, observasi yang jeli dan kemampuan berubah secepat kilat
  • Inteligensi emosi adalah kapasitas untuk menjaga awareness, mengontrol dan mengekspresikan emosi dengan tepat, serta mengelola hubungan interpersonal secara luwes dan empatetik. Saat sekarang, EQ lebih dipentingkan daripada IQ.
  • Motivasi diri: banyak hal yang mungkin tidak sesuai dengan harapan kita. Di sinilah letak tantangan untuk tetap bersemangat dan dapat menaklukkan tantangan tersebut. Kita perlu belajar mengatur energi, resilience dan komitmen kita, di samping juga mengatur pola hidup sehat.
  • Manajemen waktu: kinerja yang prima sangat berkorelasi dengan bagaimana seseorang memanfaatkan waktunya. Orang yang sukses akan melakukan perencanaan, prioritas pekerjaan, dan mengatur energinya dengan berbeda.
  • Storytelling: dengan kekuatan bercerita, orang dapat “menggoyang” orang lain untuk bertindak. Dengan bercerita, kita dapat masuk ke dalam pemikiran pendengar dan menggerakkan hatinya.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

HR Consultant/Konsultan SDM