“Dear Sir, I’m an architect, but not an ordinary one.” Kalimat itu tertera dalam surat Friedrich Silaban ketika ia mengajukan pelayanan jasanya pada PBB di akhir 1960-an. Silaban memang tak pernah mencecap pendidikan formal arsitektur, tetapi karya dan sikapnya tentang arsitektur jelas menunjukkan dedikasinya yang tidak main-main.

Silaban, yang hidup pada rentang 1912–1984, merupakan lulusan Koningin Wilhelmina School, sebuah sekolah teknik di Jakarta. Di sini, ia mempelajari ilmu bangunan (bouwkunde). Pengetahuan yang didapatnya dari sekolah ini membuatnya terpikat pada arsitektur. Namun, ia tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi karena masalah biaya.

Meski begitu, persinggungan Silaban dengan JH Antonisse, arsitek Belanda yang mendesain skema Pasar Gambir di Koningsplein, Batavia, membukakan jalan untuk mendalami arsitektur lebih jauh. Beberapa waktu setelah bekerja di Departemen Umum (kantor Antonisse) di bawah pemerintahan kolonial, Silaban berkesempatan mengikuti kuliah tahun terakhir di Academie voor Bouwkunst atau Akademi Seni Bangunan di Belanda.

Pekerjaannya juga membawa Silaban ke banyak negara. Di sana, ia mengamati dan mempelajari kebudayaan serta karya-karya arsitektur. Dari kunjungannya ke India, ia membuat catatan menarik. Silaban menemukan bahwa di India, faktor iklim dan geografislah yang menciptakan arsitektur yang mampu melewati berbagai zaman, selaras dengan kehidupan sehari-hari penghuninya. Ia lantas belajar menerapkannya juga di Indonesia.

Tentang rumah

Salah satu pengaplikasian konsep arsitektur Silaban yang paling jujur terdapat di rumahnya sendiri. Rumah yang dibangun pada 1958 itu terletak di Jalan Gedung Sawah II, Bogor.

Alkisah, suatu hari Sukarno, presiden pertama Indonesia, berniat mengunjungi rumah Silaban. Sebelum menjadi seperti sekarang, rumah itu begitu sederhana. Silaban kurang percaya diri menyambut Sukarno di rumah seperti itu. Oleh karena itu, ia meminta Sukarno menunda kedatangannya. Ia lantas merancang dan membangun ulang rumahnya. Pada 1959, ia mempersilakan Sukarno masuk ke rumahnya.

Rumah itu merupakan salah satu karya arsitektur yang penting. Paad 2007, Modern Asian Architecture Network (MAAN) Indonesia bekerja sama dengan Universitas Tarumanegara dan Center for Sustainable Urban Regeneration Universitas Tokyo mengadakan lokakarya internasional yang berfokus pada Friedrich Silaban. Rumah Silaban pun didokumentasikan dan studi mengenai rumah tersebut dibukukan dalam Rumah Silaban. Buku ini merupakan salah satu pintu memahami pemikiran arsitektur Silaban.

“Di rumah ini, saya dibesarkan dalam napas, keringat, dan energi arsitektur,” tulis Panogu, anak Silaban, dalam Rumah Silaban. Ya, dari paparan buku tersebut, terasa benar bahwa setiap sudut rumah dirancang dengan pertimbangan matang.

Silaban yang mengamini ide modernis percaya bahwa bangunan semestinya sederhana, jernih, dan jujur. Rumahnya merupakan wujud kepolosan dinamis dari garis horizontal yang dipotong garis vertikal tipis. Sumbunya mengikuti arah timur-barat, begitu pula sirkulasi ruangnya. Ruang-ruang diatur dengan sederhana di bawab atap besar dengan serambi panjang.

Bagi Silaban, atap merupakan bagian terpenting. “Atap seharusnya tidak didefinisikan ruang dalam karena ruang dalam justru terlindungi oleh atap itu sendiri,” begitu katanya. Ia menganalogikan atap dengan topi. Ruang yang berada di antara kepala dan topi adalah ruang arsitektural yang tercipta karena atap. Di bawah atap bangunan rumahnya, Silaban juga membuat celah antara pintu dan langit-langit, membiarkan cahaya alami masuk. Elemen ini sekaligus membawa suasana ringan.

Pada ruang keluarga rumah Silaban, bentuk murni atap berhasil menghadirkan perasaan lapang. Selain itu, pintu kaca yang menghubungkan ruang dalam dan ruang luar pun membuat ruang tampak lebih leluasa. Transparansi itu mengurangi kepadatan dinding sehingga ada keterhubungan antara interior dan eksterior.

Silaban yang begitu memperhatikan adaptasi bangunan terhadap iklim juga berpendapat beranda merupakan kebutuhan utama. Rumahnya memiliki dua beranda, di depan dan di belakang. Emper dibuat lebar. Dia mencatat, emper yang panjang adalah elemen penting bagi arsitektur tropis untuk menangkal sinar matahari langsung, melindungi dari hujan, dan mengarahkan aliran udara di bawahnya.

Tak sekadar bagian dari bangunan, beranda juga memiliki fungsi sosial yang penting bagi Silaban. Ruang di bawah emper itu menjadi tempat yang bersahabat untuk mendorong interaksi sosial, menciptakan kehidupan sosial di ruang luar pada iklim tropis.

Dengan segala buah pikirannya, arsitek Silaban yang tidak biasa telah menjadi salah satu peneroka atau peletak dasar-dasar arsitektur Indonesia modern. Ia sekaligus menegaskan, semangat arsitektur lahir bukan semata-mata dari bentuk, melainkan masyarakat dan kondisi sosial geografis yang melingkupinya. [*/NOV]

Galeri

noted: silaban peneroka arsitektur indonesia