Apa yang membuatnya berhasil? Tentunya banyak hal yang menentukan keberhasilannya. Namun, pemimpin ini mempunyai versatility (keserbabisaan) yang kuat. Sejak pandemi, kita mengalami perubahan yang ekstrem dan orang-orang yang serbabisa inilah yang mampu menghadapi perubahan ini.
Dalam artikel di Harvard Business Review berjudul “The Best Leaders Are Versatile Ones”, Robert B Kaiser mengatakan, keserbabisaan dalam kepemimpinan adalah aspek terpenting dalam menghadapi situasi sekarang. Pemimpin yang serbabisa juga mampu mengembangkan tim yang lebih solid dan berprestasi.
Saat sekarang, kita hidup dalam komunitas global, tidak berbatas. Oleh karena itu, kita tidak bisa menganggap bahwa perbedaan latar belakang sebagai suatu kendala. Ini memang sudah menjadi tantangan kita. Kita harus bisa mengelola manusia dari berbagai latar belakang dan dengan tingkatan keterampilan yang berbeda. Tentunya, keterampilan pemecahan masalah dan pengelolaannya perlu lebih serbabisa, “wellrounded”.
Contohnya, bila kita bekerja di lingkungan yang sangat kooperatif dan penuh konsensus, sikap asertif tidak akan mempan. Sebaliknya, berusaha untuk melakukan rekonsiliasi secara berlebihan dalam menghadapi keterlambatan proyek serius dengan rekan yang konfrontatif tidak akan mencapai apa pun. Pendekatan yang bervariasi yang di-adjust cocok untuk situasi inilah yang namanya versatility. Menurut Maxine A Dalton dalam buku Becoming a More Versatile Learner, banyak manajer yang bila menghadapi situasi tertentu hanya menggunakan taktik yang dirasanya nyaman bagi dirinya. Dengan demikian, mereka tidak belajar dari setiap aktivitasnya. Kita sebagai pemimpin perlu menentukan sasaran, apakah memang akan mempelajari lapangan dengan lebih saksama dan menyesuaikan pendekatan kepemimpinan kita atau tidak. Sikap fleksibel yang tampaknya sederhana pasti akan sangat sulit dilakukan oleh para pemimpin yang memang tidak mau mengubah pendekatannya. You have to understand different ways of learning and thinking. Being open and aware during this process will not only make it less painful but will also shorten the learning curve. In business as well as life, progress is everything. Learn to evolve.
Apakah semua pemimpin berbakat untuk menjadi versatile leader? Banyak orang tetap berpendapat bahwa kepemimpinan sudah ditentukan oleh bawaan lahirnya, cara asuh, dan pengalamannya. Namun, riset baru yang diterbitkan sebuah jurnal di Consulting Psychology menggambarkan bahwa ada pemimpin yang bisa memilih gayanya ketika ia menghadapi situasi khusus, contohnya ketika menghadapi Covid-19.
Pemimpin riset tersebut, Robert Kaiser, mengatakan bahwa pemimpin yang serbabisa ditandai oleh campuran antara forceful, enabling, strategic, dan operational leadership yang bisa survive di situasi semacam pandemi. Seorang pemimpin yang serbabisa akan membantu timnya untuk beradaptasi terhadap perubahan, melanjutkan produksi, terutama dalam masa krisis.
Dalam keadaan yang berubah-ubah, diperlukan campuran dari beberapa gaya kepemimpinan. Forceful leadership, yaitu ia menggunakan power-nya untuk mengambil alih, mengambil keputusan, dan menuntut anak buahnya untuk mencapai tujuan. Sementara itu, enabling leadership adalah bila melibatkan anak buah, ia banyak mendengar dan bahkan banyak membantu anak buah mencapai tujuannya. Gaya strategic leadership dikeluarkan pemimpin bila sedang memikirkan jangka panjang, menumbuhkan organisasi, dan mendorong berpikir inovatif. Gaya operasional berhubungan dengan kegiatan sehari-hari, yaitu pemimpin juga tetap memonitor tugas tugas dan prosedur kerja.
Hasil risetnya pun mengatakan bahwa manajer dengan campuran empat gaya lebih efektif daripada yang misalnya hanya menggunakan dua gaya.
Bisakah menjadi lebih versatile?
Tanpa menunggu jabatan pemimpin, setiap individu bisa berupaya menjadi lebih versatile yang artinya lebih well rounded dan lebih berani keluar dari zona amannya. Ada beberapa kebiasaan yang bisa kita praktikkan agar lebih siap menghadap ke berbagai arah dan menyambut tantangan yang berbeda-beda.
Pertama, jangan selalu bertahan pada rute pergi pulang kantor yang sama.
Dunia kita berada memang diwarnai perubahan yang konstan. Mana mungkin kita hanya menggunakan satu pendekatan. Ini sama saja dengan mengenal satu satunya rute untuk menempuh jalan kita menuju tempat kerja, misalnya. Kita perlu berkelana, mendapatkan pengalaman baru, mengunjungi orang-orang yang berbeda cara hidup dan kebiasaan sehingga semua pengalaman ini ada dalam khasanah pengalaman kita. Pengalaman inilah yang menjadi landasan kuat ketika kita akan mengubah pendekatan.
Kedua, biasakan memutakhirkan pengetahuan kita.
Dengan tidak meng-update keadaan terkini dunia, kita kehilangan akses di luar atau di atas frame of reference kita. Padahal, dalam mengambil keputusan, kita tidak bisa hanya mengandalkan apa yang diketahui dan disadari. Erik Huberman, CEO Hawke Media, mengatakan, “Smart business leaders are looking back on some of the big (and small) news stories of the past year to see what kinds of lessons they might offer.”
Ketiga, menjadi pembelajar seumur hidup.
Mindset mahasiswa sebenarnya bisa kita jaga dan pertahankan seumur hidup. Buat kita, belajar itu memang kewajiban. Tidak ada salahnya bahwa mentalitas belajar ini kita pertahankan. Dengan mempertahankannya, growth mindset kita akan bertambah kuat.
Keempat, buka mata kita pada hal-hal yang berkenaan dengan budaya.
Kita bisa sesekali mengunjungi museum dan pameran budaya ataupun membaca novel. Sebagian CEO sukses biasanya adalah pembaca novel yang rutin. Pengalaman ini akan menambah dan memperluas konteks kita dalam memahami masalah.
Dengan keempat strategi ini, kita akan tumbuh menjadi orang yang lebih serbabisa. Bila biasanya kita berfokus bagaimana menjadi seorang yang lebih agile, tanpa mengetahui formula yang pasti, menjadi orang yang lebih versatile ini lebih bisa diimplementasikan dan praktis. Selamat mencoba.
Eileen Rachman & Emilia Jakob
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING
Baca juga: