Pagi pertama di daerah Bangsring, Banyuwangi, Jawa Timur, itu elok seperti puisi. Sinar matahari yang lembut jatuh memulas embun pada pucuk-pucuk daun. Angin mengajak dahan-dahan rimbun menari, menciptakan musik alam. Nun di arah timur, lautan membentang tepat di bawah sisi bukit dengan Pulau Bali di kejauhan.
Setelah menghabiskan malam di kamar yang apik dengan penataan yang begitu baik, membuka pintu kamar penginapan Bangsring Breeze akan menyibakkan keindahan yang lain. Perpaduan lanskap bukit, lautan, taman, dan arsitektur tropis bergaya etnik membuat mata tak pernah puas menyesap pesonanya. Seperti sihir yang tak berhilir. Angin semilir—seperti nama tempat ini—senantiasa menciptakan suasana teduh.
“Selamat pagi. Baru datang semalam, ya? Maaf ya, saya malah sudah tidur ketika kalian datang,†sapa hangat Jannah, pemilik resor Bangsring Breeze, Selasa (26/7). Seketika jarak antara tamu dan pemilik resor mencair.
Jannah, yang berdomisili di Bali dan kebetulan sedang berkunjung ke Banyuwangi, memang ingin resornya menjadi rumah bagi siapa saja yang datang. Sejak pertama menginjakkan kaki di tempat ini, hal itu sudah terasa. Tak ada meja resepsionis. Pegawai resor langsung membantu membawakan tas dan mengantar ke kamar, menjelaskan semua yang perlu diketahui, lantas mengucapkan selamat beristirahat dan membiarkan tamu menikmati “rumah†anyarnya.
Saat ini, baru ada lima kamar yang disewakan di Bangsring Breeze. Secara umum, atmosfer yang ingin dibangun adalah etnik dan rustic. Bangunannya diinspirasi bentuk joglo dengan atap pencu yang mengerucut ke atas. Furniturnya berbahan kayu dengan finishing yang tidak seluruhnya dicat, pernak-pernik pajangannya bergaya etnik, dan runner tempat tidurnya menggunakan bahan batik.
Meski begitu, setiap kamar didesain dengan detail yang berbeda. Kamar garden bungalow misalnya, memiliki kekhasan pada kamar mandi dengan atap terbukanya. Dinding kamar mandi dan lantainya disusun dari batu-batu alam. Di dinding itu, tanaman rambat yang cantik membuat suasana makin asri.
Kamar garden suite berbeda lagi. Pembatas dindingnya sebagian besar kaca dengan gorden yang bisa dibuka penuh. Begitu gorden disibak, kamar seolah tiba-tiba dikitari taman dan tanaman gantung yang menjuntai ke bawah. Sementara itu, villa suite menawarkan atmosfer yang lebih modern dengan pemilihan furnitur dan model kamar mandinya. Semua ruangan menciptakan atmosfer yang nyaman untuk bersantai atau beristirahat.
Ketika pagi menjelang, para tamu atau staf mulai beraktivitas dan saling sapa. “Oh ya, kami punya sepeda yang bisa dipakai untuk berkeliling desa. Di belakang penginapan ada ladang, kebun jati, dan kebun kopi,†kata Tanti, salah satu pegawai Bangsring Breeze.
Bersepeda di pagi hari pun menjadi kegiatan yang tak boleh terlewatkan ketika bermalam di Bangsring Breeze. Kita bisa melihat lebih dekat kehidupan penduduk. Bertemu petani yang berladang atau membajak tanah dengan sapinya. Jika terus mengayuh, kita akan disambut jajaran hutan jati yang berbaris rapi menggantikan pemandangan ladang. Kebun kopi masih berjarak sekitar tiga kilometer dari hutan jati.
Ketika kembali ke penginapan, tamu dapat bersantai di banyak spot cantik di Bangsring Breeze. Restoran bergaya lokal, teras kamar, atau bale-bale di pinggir kolam renang. Jika ingin menyegarkan tubuh dan pikiran, berenang menjadi pilihan yang menyenangkan. Di awal pagi pun, air di kolam renang ini cukup hangat.
“Untuk dasaran kolam renangnya, saya menggunakan batu alami yang menyerap panas pada siang hari. Di malam hari, batu-batu itu mengeluarkan panas yang disimpannya sehingga air hangat,†terang Jannah.
Konsep lokal
Bangsring Breeze mulanya adalah rumah keluarga milik pasangan Jannah yang berasal dari Jember dan Jeroen Michiel van der Kooik dari Belanda. Hunian ini adalah perwujudan mimpi mereka.
Waktu kecil Jannah kerap menggambar lanskap rumah impiannya yang berdiri di kaki gunung dengan pemandangan lautan dan pulau-pulau kecil. Sementara itu, Jeroen selalu mengangankan tinggal di tempat yang berangin.
Bangsring Breeze yang terletak di pesisir timur Banyuwangi menjadi tempat terealisasinya angan-angan itu. Bagi Jeroen, Bangsring semakin istimewa karena dari sana ia bisa menyeberang ke Pulau Tabuhan, dengan angin yang bagus untuk melakukan hobinya berselancar angin dengan layang-layang.
Setelah rumah impian mereka itu jadi, kerabat atau teman ikut jatuh cinta pada tempat ini dan bertanya bisakah mereka menginap di sana. Bermula dari situ, Jeroen dan Jannah mulai menyewakan kamar mereka yang belum banyak. Untuk menguatkan rasa lokal, pasangan ini juga menghadirkan budaya lokal di dalam Bangsring Breeze.
“Banyuwangi dulu adalah tempat jayanya Kerajaan Blambangan. Kami ingin para tamu bisa mengetahui sedikit cerita itu. Maka kami menjadikan nama-nama tokohnya sebagai nama kamar, misalnya Kenchana Wungu, Andjasmara, atau Wikramawardhana. Saya juga menerjemahkan cerita Damarwulan ke dalam bahasa Inggris di website Bangsring Breeze,†cerita Jeroen.
Segala sesuatu di Bangsring Breeze dipertimbangkan dengan detail, termasuk logonya yang lantas diukir di kayu sebagai gantungan kunci kamar. “Jannah punya ide yang sangat bagus untuk menggunakan bentuk gunungan wayang kulit. Ini merepresentasikan kosmos, keseluruhan semesta,†kata Jeroen.
Di logo itu, ada dua huruf B yang menyimbolkan Bangsring Breeze. Ular diukir sebagai lambang binatang yang melindungi sekaligus simbol Banyuwangi. Ada juga bentuk ombak karena Pantai G-Land di Banyuwangi. Lengkungan gunung di bagian tengahnya melambangkan Ijen, gunung vulkanik yang memberikan kesuburan bagi tanah sekitarnya. Ukiran dua tangan menyimbolkan semesta. Kehidupan yang selaras antara manusia, hewan, dan tumbuhan.
Rumah bernama Bangsring Breeze ini adalah tempat yang tepat untuk tetirah. Tempat untuk mendaraskan syukur atas anugerah alam yang begitu indah, sembari berjanji merendahkan hati. [FELLYCIA NOVKA KUARANITA]
noted:Â Semilir Sihir dari Pesisir